Hai, apa kabar?
Aku rasa, mungkin kamu sedang bersenda gurau dengan teman-temanmu. Mungkin juga saat ini di sampingmu, sedang duduk seorang lelaki yang tidak aku tahu. Mungkin kalian baru saja kenal, atau mungkin kalian sudah lama kenal dan saat ini kembali mendekat. Sepertinya, lelaki ini berhasil membuat bibir manismu kembali tersenyum dan jantungmu kembali berdebar. Aku turut bahagia. Nyatanya, aku memang mendoakan kamu bahagia.

Aku?
Aku masih sama seperti dulu, menikmati secangkir kopi hangat di setiap malamku. Meski selalu saja ada yang terasa kurang. Iya, kurang kamu.

Kamu pernah berkata, kopi tidak sehat bagi tubuh. Namun entah kenapa, aku menginginkannya lagi. Aku ingin merasa hangat, aku ingin merasa dekat. Hanya dengan ditemani secangkir kopi dan rindu, aku sanggup merasakan kamu, ada. Aku menikmati setiap sesapan hangatnya masuk ke dalam diri, mengalir ke penjuru nadi, dan menjaga agar aku terbangun dari mimpi.
Maaf, rinduku telah menjadi candu.

Kamu tahu? Meski kamu tak ada, kehangatanmu selalu terasa. Agar semakin nyata, aku sengaja memutar lagu-lagu yang gemar kita senandungkan. Sesambil meresapi, terbayang akan banyak memori.
Aku teringat akan kebiasaan kita, saling bertukar cerita, bersama dengan lelucon-lelucon garing milikmu yang sanggup membuatku tertawa. Lalu, kamu membuatku cemberut, meski dalam hati aku tersenyum, karena yang membuatku cemberut ialah kamu bukan yang lain. Dan pada akhirnya, malam ditutup dengan sebuah pelukan serta kecupan. Hangat.

Kita pernah sedekat jengkal, sebelum sejauh bintang.

Aku benci untuk merindukanmu.
Aku benci untuk mengingat obrolan-obrolan kita.
Aku benci untuk melihat kenangan muncul dibalik sesapan kopi malam.
Aku benci untuk menoleh ke belakang, ketika kamu masih setia.
Aku benci untuk berkhayal jika kamu ada di depanku, tertawa bersama.
Aku benci untuk berpura-pura tidak berharap.

Kerinduan ini, seperti ampas hitam di sudut cangkir. Pahit.
Aku merindukanmu dalam diam. Tanpa ada yang memahami, hanya sendiri yang mengerti. Kini, meminum kopi menjadi lebih dari sekedar hobi. Meminum kopi ialah caraku membohongi diri.
Aku baik-baik saja. Yah, nyatanya tidak. Semakin lama aku menikmati, semakin aku tenggelam dalam memori. Tapi, mungkin ini yang aku butuhkan. Karena hanya dalam ingatan, aku dan kamu masihlah kita.

Mungkin akan ada waktunya aku berhenti menyeduh kopi, dan mengerti arti menggigil. Dan mungkin akan ada waktunya aku paham, bahwa selamanya kamu hanya nyata dalam ingatan. Entah, namun bagiku itu bukanlah derita. Bukankah kebahagiaan selalu ada setelahnya? Yah... mungkin.
Tapi biarlah aku sekali lagi menikmati secangkir hangatku, sambil tetap mendoakan kamu. Aku berharap kamu bahagia dengan hidupmu. Semoga kamu dikelilingi teman-teman yang tulus mempedulikanmu, keluarga yang dengan hangat menyayangimu, serta dukungan dari orang-orang terdekat yang selalu mengalir untukmu. Dan mungkin saat ini atau nanti, akan hadir lelaki yang sanggup membahagiakan kamu lebih daripada aku.

Tiga puluh menit berlalu. Sudah dua cangkir aku habiskan, dan sepertinya akan ada yang ketiga. Sejenak aku berdiri, melemaskan otot, sambil kuperhatikan sekeliling. Sepi, hanya ada aku ditemani binaran bintang-bintang. Dalam kesunyian, sesaat aku paham. Rindu ini, ialah kopi yang yang tetap hitam dan manis dalam segala memori yang menyimpan waktu, di mana ingatan selalu tersenyum bahagia. Aku tersenyum. Kuputuskan untuk beranjak dari kursi lalu menyeduh kopi.
Usai meracik kopi, aku kembali ke beranda. Sayup-sayup terdengar suara jangkrik, terangkai menjadi melodi indah. Aku duduk, dengan jemari menggengam lengan cangkir. Aku nikmati keheningan malam ini.

Kusesap kopi perlahan, sambil berharap, tidak ada rindu yang ikut menguap.