Monday, December 31, 2012

Dialog di Kafe


"Bagaimana kopinya?"
"Harum. Enak."
"Tidak seperti kisah cintamu ya?"
"Hahaha kurang ajar..."
"Tapi iya kan?"
"Sudah, jangan memancingku menyembur kopi ini ke mukamu."
"Coba saja."
"...."
"By the way, tahun 2012 sebentar lagi berakhir. Apa saja yang sudah kamu lakukan?"
"Maksudmu, resolusi 2012 yang sudah tercapai?"
"Dan yang belum tercapai."
"Mau menyindirku lagi?"
"Sudah, sebutkan saja."
"Memulai kebahagiaan, mengakhiri kebahagiaan, kembali jatuh cinta, mengkhianati yang mempercaya, dikhianati yang dipercaya. Lalu, sendiri. Lagi."
"Mellow amat. Siapanya Aurel Hermansyah?"
"Nyet!"
"Bercanda, Tuan."
"Ah, iya. Menulis blog, mengganti isinya dengan berbagai cerpen dan tulisan-tulisan semacamnya."
"Cerpen bercurhat?"
"Berisik. Toh, followers Twitterku dan pembaca Blogku suka."
"Jadi, bercurhat?"
"Hmm..."
"Kamu percaya kan, fiksi ialah separuh dari realita, begitu juga sebaliknya. Tidak ada yang benar-benar utuh fiksi, utuh realita. Mereka bilang, itulah mengapa harapan diciptakan. Agar sesuatu yang tak nyata suatu saat bisa menjadi realita."
"Yep."
"Dan setiap cerpenmu, tidak memiliki akhir. Menggantung tanpa tahu bagaimana akhir perjalanan si tokoh."
"Iya. Lalu?"
"Tidak ada lalu, yang ada hanyalah kini. Kini, kamu jelas-jelas menulis hidupmu menjadi fiksi, namun mengubah beberapa hal menjadi lebih baik, berharap suatu saat akan benar-benar terjadi. Iya, berharap. Kamu berharap bisa hidup di dalam fiksi yang kamu tulis. Kamu berharap tidak lagi sendiri. Kamu berharap bisa hidup lebih bahagia."
"Kamu sok tahu."
"Dan diliat dari tulisanmu akhir-akhir ini, sepertinya kamu sedang berharap kepada seseorang."
"Kamu sangat sok tahu."
"Siapa itu Rena?"
"Teman..."
"...Yang membuatmu tersenyum ketika melihat senyumnya, yang membuat jantungmu berdegup ketika menggenggam tangannya, yang membuat kamu bisa merasa bahagia lagi?"
"Hmm..."
"Kena deh. Hahaha!"
"Dia sudah punya kekasih."
"Lalu?"
"Aku tidak mau macam-macam. Aku tidak mau berbuat dosa lagi."
"Lalu kenapa berharap?"
"Entahlah. Sifat buruk manusia? Mengharapkan sesuatu yang tidak seharusnya diharapkan?"
"Mungkin kamunya saja yang goblok."
"Terus gimana dong?!"
"Yo mbuh. Aku tidak tahu. Aku ini sosok imajiner yang diciptakan oleh otakmu. Jangan tanya aku."
"Tsk."
"Ingat. Jangan memberi cinta pada orang yang tidak sepatutnya menerimanya. Jangan lagi."
"Iya."
"Good."
"Apa pendapatmu tentang Rena?"
"Perjuangkan."

Aku kembali pada kesadaranku. Orang itu sudah menghilang.

Mengharapkan sesuatu yang tidak seharusnya diharapkan?
Benar? Salah? Atau malah tidak ada jawabannya?
Memperjuangkan hal yang entah benar entah salah. Dosa?

Mungkin benar, manusia itu bodoh.
Demi sesuatu, mereka rela melawan.
Demi sesuatu, mereka rela melanggar.
Demi sesuatu, mereka rela memperjuangkan.
Demi seseorang.
Apa pun resikonya. Mereka rela berdosa.
...Atau hanya aku yang bodoh dan membuat teori asal-asalan itu?

Aku mendengus kesal.
Kubuka laptop, lalu mulai mengetik beberapa kalimat pada MS Word. Bercurhat.

***

District, 31 Desember

Saturday, December 29, 2012

Kamu, Film, dan Senyum Yang Tak Kunjung Hilang



"Jadi, bagaimana filmnya? Bagus kan..."
"Biasa saja."
"Kamu tuh, semua-semua dibilang biasa."
"Iya biasa, kisah pertemanan antar 5 sahabat dengan roman di sana-sini dan ending yang mudah ditebak."
"Baiklah Tuan Peramal, kalau menebak film bisa, kenapa menebak isi hati perempuan tidak bisa?"
"Dua pernyataan yang tidak berkorelasi, Nona Ingin Tahu."
"Jangan menghindar."
"Aku sayang kamu."
"Gampar nih."
"Hahaha... tapi teknik pengambilan gambarnya keren."
"Iya. Aku jadi ingin naik gunung."
"Okay. Selain cantik, berpipi bulat, dan mudah teralihkan, kamu juga mudah terpengaruh film ya?"
"Iya. Dan menyebutku cantik tidak cukup untuk membuat aku memaafkanmu."

Rena menjitak kepalaku pelan. Suasana teater yang mulai sepi, seketika ramai karena tawa kami berdua. Beberapa orang yang sedang mengantri melirik kami. Perempuan mungil dengan kemeja motif bunga dan rok hitam selutut, serta laki-laki dengan rambut berantakan dan jaket jeans yang terlihat kumal. Kontras.

Aku tidak peduli. Aku merasa nyaman.

"Film tadi, bagian apa yang paling kamu suka?"
"Nggak tahu."
"Maksudnya?"
"Nggak tahu. Aku kurang menikmati filmnya."
"Yah..."
"Kamu?"
"Banyak. Bagaimana si gendut berjuang demi skripsi dan memutuskan untuk tinggal di Indonesia bersama teman-temannya. Bagaimana yang tinggi, besar, berotot itu bisa mengalahkan rasa gugup dan menyatakan cintanya. Bagaimana... siapa sih namanya, Genta ya? Iya, bagaimana Genta akhirnya mengungkapkan perasaan yang dipendam hampir 10 tahun, walau berujung pada penolakan. Ah iya, dan Zafran. Ganteng."
"Kamu tuh, kalau udah liat cowok ganteng aja..."
"Hahaha. Kamu, kenapa kurang menikmati filmnya?"
"Entahlah. Mungkin ada yang lebih menarik."
"Hah?"
"Aku ke toilet sebentar. Setelah itu makan yuk."

Tanpa menunggu jawaban, aku bergegas meninggalkannya.
  
"Film tadi, bagian apa yang paling kamu suka?"
Sambil mencuci muka, aku memikirkan pertanyaannya barusan.
Aku tersenyum.
Tidak ada yang kuingat betul dari film itu.
Mungkin ada yang lebih mena... Ah, memang ada yang lebih menarik.
Mengenggam tanganmu, membiarkanmu bersandar pada pundakku, dan memperhatikanmu sepanjang film berlangsung.
Mata yang berbinar, tawa setiap hal-hal konyol terjadi, serta senyum itu. Cantik.

Kamu, menarik aku. Mata, juga hatiku.

***

Urip Sumohardjo, 28 Desember

Wednesday, December 26, 2012

25 Desember 2012

Soekarno-Hatta International Airport, Jakarta, 25 Desember 2012.

"It's Christmas and we walk alone. Two strangers with no one to miss us..."
Suara musik berdentum keras dari headset seseorang. Pemiliknya sibuk menggumamkan lagu, seakan tidak peduli dengan situasi di sekelilingnya. Deras hujan yang turun tidak mengganggu keasikannya, malah menambah ramai melodi-melodi yang mengalun. Beberapa orang mulai menatapnya geli. Seorang lelaki, dengan tubuh tinggi dan rambut berponi seperti kebanyakan bintang Korea, dengan hoodie hitam dan skinny jeans hitam yang terlihat kusut, dengan headset yang terpasang di telinga dan gumaman lagu yang sedikit lebih keras dari yang sebelumnya.

Dengan kesendiriannya.

Sepertinya, mereka sedikit terganggu. Namun dasarnya keras kepala, dia benar-benar masa bodoh. Di dunianya kini, hanya ada dia dan headsetnya.
Tidak lebih.

***

"Pesawatnya delay ya?"
"Iya nih, Ma. Sekarang lagi hujan deres banget di Jakarta."
"Yaudah, kamu nunggu di dalem aja ya. Nanti kalau udah di pesawat hubungin Mama."
"Okay..."
"Urusanmu di Jakarta udah selesai semua, kan?"

Aku terdiam.

"Halo? Dit?"
"Iya, udah selesai semua, Ma. Kerjaan, ketemu temen-temen, semuanya. Semua yang ada di sini sudah selesai."
"Yaudah, Mama belanja dulu ya. Jangan lupa nanti ngabarin."
"Okay... Hati-hati, Ma."

"Semua yang ada di sini sudah selesai."
Aku mengulangi kalimat itu dalam hati.
Hmpft. Aku tersenyum. Kecut.

Sudah tiga hari aku berada di Jakarta. Tuntutan klien memaksaku membatalkan rencana berkumpul bersama keluarga besar. Seharusnya aku bisa beristirahat dengan tenang tanpa perlu lagi memikirkan presentasi dan meeting. Seharusnya aku bisa berlibur dengan keluarga, menemani keponakan berwisata di sekitar Malioboro dan tentunya mengunjungi Sekaten. Seharusnya aku bisa menghabiskan malam Natal bersama hangat dan secangkir coklat. Seharusnya.

Namun, tidak ada yang kusesali.
Dua hal. Ada dua hal yang membuatku ingin ke Jakarta selain memenuhi permohonan klien brengsek itu. Pertama, berkumpul dengan teman-teman lama. Kepala dan rinduku menagih canda, tawa, rokok, dan bir bersama mereka lagi. Lalu yang kedua, wanita itu.

Wanita itu.
Wanita yang dikenalkan kepadaku 6 bulan yang lalu. Wanita yang senyumnya mampu membuat waktu terpaku. Wanita yang peluknya bisa mendamaikan ragu. Wanita yang membuat aku tak sanggup menahan untuk mengecup lembut bibirnya. Wanita yang membuat aku lebih memilihnya daripada dia yang sudah aku punya.

Singkat cerita, kami saling jatuh cinta.
Kami bahagia, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang kami punya.
Aku memiliki hatinya, dia memiliki cintaku. Aku merasa hidup.

Detik berlalu, masalah muncul. Kesibukan, kesalahpahaman, keegoisan.
Dan, jarak. Kami semakin jauh.

Aku selalu berusaha agar tetap dekat, tetap erat. Menghubungi, menanyakan kabar, mengingatkan makan siang, membantu mengerjakan presentasi, menemani hingga ia terlelap.
Aku selalu bertanya, "Kapan kamu ada? Aku rindu." Dia selalu membalas, "Nanti, jika ada waktunya nanti." Aku hanya takut. Hingga suatu malam, ia mengirim pesan. "Aku jenuh". Ia merasa, tidak menemukan lagi rasa untukku. Ia merasa kosong.

Entah, mungkin inilah alasan utama aku mengiyakan permintaan klien dan membatalkan rencana bersama keluarga. Aku ingin bertemu dengannya, menyelesaikan masalah, lalu kembali mendekapnya seperti sedia kala.

-----

"Jadi, apa kabar?"
"Cukup baik tanpamu."
"Baiklah... Apa yang kamu rasakan? Apa yang kamu pikirkan?"
"Aku merasa kosong. Aku berpikir jika, sendiri ialah jawabannya. Lebih baik kita..."
"Lebih baik kita apa? Aku merasa masih ada yang bisa kita pertahankan, perjuangkan. Bukankah kita bahagia?"
"Tidak, tidak ada lagi yang bisa dipertahankan, diperjuangkan. Kita tidak bahagia. Kita pernah bahagia."
"Aku sayang kamu."
"Aku pun, dulu. Maaf. Aku tidak menemukannya lagi. Aku..."
"Apa karena jarak? Waktu? Apa aku kurang menyayangi kamu? Apa ada orang lain? Atau apa?"
"Bukan semua itu. Tapi kita, Dit. Aku yang terlalu takut, dan kamu yang terlalu anak kecil."
"Aku? Anak kecil? Tunggu dulu..."
"Iya, kamu seperti anak kecil. Kamu selalu mengharapkan aku ada, kamu selalu sedih saat berpikir suatu saat kita berpisah, kamu selalu meminta supaya kita selalu bersama."
"Aku tidak seperti anak kecil. Aku tidak aneh. Aku hanya terlalu jatuh cinta kepadamu."
"Dan aku terlalu takut. Aku belum siap. Aku mencoba berlari mengejarmu, namun kamu terlalu cepat. Aku tidak bisa menjangkaumu. Ditambah lagi, kelakuanmu yang selalu mengharapkan aku ada di tengah kesibukanmu. Dan setiap kamu susah dan pincang, kamu selalu mencari aku. Pertamanya aku tidak apa-apa, namun kelamaan aku tidak sanggup. Aku bukan kakimu, Dit. Aku tidak butuh anak kecil dalam hidupku."
"...."
"Maaf."
"Tidak apa-apa. Bisakah aku menghubungi kamu lagi?"
"Maaf, semua yang ada di sini sudah selesai. Selamat tinggal, Dit."

----

Aku tersadar dari lamunan. Lagu di headset sudah berganti, bukan lagi The Christmas Song - Owl City. Orang-orang terlihat sibuk mencari tempat duduk di sekitar terminal yang semakin padat. Hujan di luar sudah lumayan reda, sepertinya pesawat sudah boleh diberangkatkan sebentar lagi.
Kurebahkan punggungku. Kucoba menenangkan hati sebelum aku benar-benar beranjak dari kota ini.

"Kamu seperti anak kecil"
Kalimat itu kembali terngiang di telinga.
Aku terdiam. Tidak, aku tidak seperti anak kecil. Mengharapkan dia ialah benar, karena setiap orang patut untuk merindu. Maksudku, apa yang salah dari orang yang terlalu jatuh cinta?
Mungkin, kami memang tidak cocok. Mungkin, kami tidak bahagia. Mungkin, hanya aku yang bahagia. Mungkin, aku bukanlah kebahagiaannya.

Atau mungkin, jarak. Jarak tidak selalu berarti berbeda tempat atau waktu. Berbeda ide, berbeda paham, dan berbeda cinta juga termasuk jarak. Seberapa dekat kalian dengan pasangan, jika tetap merasa jauh, berarti benar hati kalian berjarak. Dan mungkin ini yang terjadi pada aku dan dia. Kita berbeda paham dalam mendefinisikan bahagia.

Kita kalah telak, pada kekal jarak.

***

"Kepada para penumpang QZ7525 tujuan Jogjakarta diharap segera mempersiapkan diri untuk memasuki pesawat"
Orang-orang berkerumun menuju Gate 1 untuk mengantri. Mereka terlihat senang dan tidak sabar untuk segera pulang. Seorang laki-laki, dengan headset dan hoodie hitam, melangkah mendekati penjaga gate. Sambil tersenyum, ia menyerahkan tiket dan berjalan menuju pesawat.
"Semoga tidak ada yang lagi yang tertinggal." gumamnya.

*****

Sunday, December 23, 2012

:)

  
Kepada waktu yang terus berlalu, aku semakin paham bahwa rinduku ada selalu.
Kepada jarak yang tak juga mendekat, aku percaya pelukan akan mempertemukan kita, rekat.
Kepada rindu-rindu yang menjadi doa, aku berharap semesta turut mengabulkanya.
Rindu ini kulipat dan kusimpan rapat-rapat; hingga hati tak lagi kuat, hingga inginku memelukmu dengan teramat. 
Dan pada setiap kata rindu yang kau bisikkan padaku, kan kubalas satu-persatu.
Kau tahu? Sebelum denganmu, merindu dan dirindu belum pernah sebahagia ini.
Ya, aku merindukanmu dalam setiap satuan waktu.


"...What we ever had, is real."

Delapan Belas

18.
Angka magis.

1, menunjukkan kelurusan, ketegasan, kesetiaan.
Sesuatu yang unik, tunggal, partikular.
Sesuatu yang definit eksistensinya.
Sesuatu yang sederhana; tidak berbelit, tidak berkelok.
Sesuatu yang baru; awal segala awal.
Sesuatu yang satu.

8, menunjukkan kestabilan, keabadian, ketidakberujungan.
Sesuatu yang lembut, tak bersudut.
Sesuatu yang tidak memiliki awal, tidak memiliki akhir.
Sesuatu yang bukan terakhir, namun tak berakhir.
Sesuatu yang menjadikannya siklus; berulang, berulang, berulang.
Sesuatu yang delapan.

18.
Setelah 17, sebelum 19.

Mereka bilang, 18 ialah anugrah.
Mereka bilang, 18 ialah lambang kedewasaan.
Mereka bilang, 18 ialah transisi emosi, evolusi di setiap sisi.
Mereka bilang, 18 ialah kepercayaan dari-Nya; untuk mendengarkan bukan didengarkan, untuk membahagiakan bukan dibahagiakan.

Selamat berumur 18, Aditya Adinata.
Sepertinya aku telat mengucapkannya padamu. Namun tidak apa-apa, bukan?
Aku harap kesibukanku yang membuat kamu bahagia bisa memaafkanku.
Dan mari bersyukur,
atas setiap hadiah yang nyata maupun kasat mata,
atas setiap doa dan tawa yang saling melengkapi,
atas setiap kebahagiaan dan cinta yang terwujud.

Selamat berumur 18, Aditya Adinata.
Semoga 18 tidak hanya menjadi angka.
Semoga yang terucap dalam kata, dikabulkan semesta.
Semoga yang semoga, tidak berakhir semoga.

Selamat berumur 18, aku.

 (drawing by Salsabila Hanifah)