Sunday, September 15, 2013

Senja di Nusa Dua

Terbit, tenggelam
Merona, memudar
Semburat jingga di langit merah
Dua kekasih di laut asmara

Aku, kamu
Ada sayang telah larut
Ada rindu yang tak harus disebut

Dan di Nusa Dua, aku melukis kita
Yang terus bercinta, di batas senja.



Nusa Dua, 28 Juni 2013

A. A.



Friday, September 6, 2013

Samudra Rindu

Ada kerinduan tak terbatas
Yang meretas
Hingga ke penghujung batas

Kuharap tak lekas hadir
Rintik mengganti deras
Hujan menghapus panas

Seperti ini, seperti ini jiwaku terlahir baru
Seperti samudra yang begitu biru hingga membuat haru
Seperti kesedihan yang hanyut lalu berlalu

Percik air menyadarkanku
Kau nampak luas di celah mata yang sempit
Keindahan yang tak sekedar indah
Kau berlari, berdansa
Menggerakkan lengan dan kaki di angkasa biru
Menjadi ikan yang terbang, menjadi burung-burung yang berenang

Kau ialah laut yang tak pernah surut
Dan aku, bias senja tak tereja
Yang kan menyambutmu, yang kan menyambutku
Pada titik yang satu
Yang kita sebut itu rindu.



Pantai Pandawa, 20 Agustus 2013.

A. A.
 
 


Thursday, August 1, 2013

Pintu Kaca


            Aku tahu, ada sesuatu yang menunggu di balik pintu kaca itu. Dunia yang terang dan luas, seperti yang dikatakan para musafir. Mereka bilang, aku bisa belajar tentang hidup di luar sana. Tawa dan tangis, gembira dan sedih. Semua yang ingin kutahu ada di balik pintu kaca itu.
            Perlahan, kuturun dari kasur. Kulangkahkan kaki menuju pintu kaca. Jantungku berdegub. Inilah saatnya melihat dunia luar, batinku. Kusibakkan gorden pintu. Dan seketika mataku berbinar. Jadi... ini dunia luar... Kulihat anak-anak kecil berlarian sambil membawa bola. Dari belakang, seorang wanita tergesa-gesa mengejar mereka. Sepertinya itu ibu mereka. Di tengah taman, sebuah keluarga sedang mengadakan piknik. Mereka semua terlihat akrab dan bahagia. Lalu di sudut taman, tampak sepasang kakek-nenek sedang berjalan-jalan sore. Si kakek menggenggam tangan si nenek. Keduanya tersenyum satu sama lain. Romantis.
Samar, cahaya matahari menembus pintu kaca. Ia lembut dan hangat. Seolah mengajakku keluar dari ruang sempit yang terus mengurungku.
            Ya, aku ingin! seruku.
            Dengan terburu-buru, aku membuka pintu itu. Terkunci.
Segera kukeluarkan kunci dari dalam saku. Kucoba sekali lagi membukanya. Tak bisa.
Aku mulai panik. Dengan sekuat tenaga aku menendangnya, memukulnya, mendobraknya. Masih tak bisa.
Kenapa? Kenapa?! Kutabrakkan diriku ke pintu kaca. Dan seketika, aku terpelanting ke lantai. Jatuh tersungkur. Kucoba untuk bangkit namun tak bisa. Tak ada tenaga lagi untukku mencoba.
Oh ya Tuhan... Kenapa... Air mata perlahan jatuh dari kedua mataku. Dalam hitungan detik aku menangis sejadi-jadinya. Kuteriakkan sumpah serapah dan segala makian yang entah kutujukan pada siapa. Aku terus menangis sampai tak ada lagi air mata yang lagi keluar. Aku tersungkur, lelah dan pasrah.
“Kau tak akan keluar... Karena apa? Karena kau takut hidup di luar sana...” bisik seseorang di telinga.
Aku tersontak kaget. Siapa itu?! Tunjukkan dirimu! Aku menoleh ke kanan dan kiri namun tidak menemukan siapapun.
“Aku? Aku adalah dirimu...” bisiknya lagi, “Kau takkan pernah bisa keluar. Karena kau takut. Kau takut akan pedih yang kelak mampir di tubuhmu. Kau takut akan sakit yang kelak mampir di hatimu. Dan kau... Kau terlalu pengecut untuk sekedar menjalani hidup. Hahaha... Hahahahaha...”
Perlahan bisikan itu menghilang. Begitu pula dengan suara di luar. Teriakkan anak-anak. Celotehan keluarga. Tawa kakek-nenek. Hening. Tak ada suara lagi yang aku dengar.
Kusenderkan tubuhkku pada dinding. Dalam diam, kucoba mencerna kata-katanya. Ia benar. Aku ingin pergi ke luar sana. Aku ingin berjalan, berlari, menikmati mentari dan apapun yang ada di luar sana. Namun jauh di dalam hati, aku sebenarnya tak mau.
Aku takut. Aku takut dengan cobaan. Aku takut dengan rintangan yang kelak menghadang. Aku takut dengan segala sakit dan perih yang pasti akan kurasa. Aku takut dengan apa yang mungkin terjadi di depan sana. Lagipula aku merasa nyaman di sini. Aku merasa bahagia meski hidupku dibatasi oleh ruangan 3x3 meter persegi. Aku merasa tak butuh sesuatu yang baru di hidupku.
Mungkin ini yang terbaik untukku. Mungkin ini yang seharusnya aku jalani.
Hidupku, memang di sini.

***

Senja berganti menjadi malam. Cahaya bulan menembus pintu kaca itu. Cantik, juga indah. Kuintip dunia luar. Sepasang kekasih tengah berjalan-jalan menikmati malam. Sejenak si lelaki memeluk pasangannya erat. Mereka saling berpandangan. Dan entah siapa yang memulai, mereka berciuman.
Aku tersenyum kecil. Kulangkahkan kaki ke tempat tidur. Kurebahkan tubuhku lalu memejam. Aku berdoa, supaya aku bisa tertidur dan bermimpi. Karena aku hanya bisa bermimpi. Tanpa pernah tahu, apa itu hidup.

Friday, July 12, 2013

Sebelum Senja | (Lomba menulis cerpen)

Hai.

Sebelumnya, maaf.
Beberapa minggu ini saya jarang sekali menulis di sini. Kepala saya terdistraksi oleh godaan liburan serta godaan menulis secara offline. Yah, walaupun sebenarnya itu memang niat saya. Sebelum kembali menulis, saya ingin menikmati keindahan-keindahan kecil yang saya temukan lalu mencatatnya. Berharap, keindahan kecil ini dapat menjadi sebuah tulisan besar nantinya. Jadi, sekali lagi saya minta maaf.

Agar blog ini masih bernafas, saya mengadakan lomba menulis cerpen. Hadiahnya memang tidak banyak, hanya pulsa sebesar 50.000 rupiah. Namun sekiranya cukup untuk menghubungi kekasihmu, kan? Hahaha.

Langsung saja. Jadi, kau tidak akan menulis cerpen secara utuh, namun diminta untuk mengembangkan potongan cerpen di bawah ini. Kau dapat melanjutkan potongan tulisan ini menjadi genre apa saja; romantis, misteri, thriller, sci-fi, apapun. Yang perlu diingat, potongan cerita ini beralur maju, jadi tidak mungkin untuk menulis sebuah prekuel. Namun menggunakan alur campuran tetap diperbolehkan, dengan catatan bagian paling akhir harus tetap beralur maju. Potongan cerita ini menggunakan POV orang pertama, jadi dimohon untuk menggunakan POV orang pertama juga.

Copy-paste potongan cerita ini di awal ceritamu, lalu mulailah menulis. Setelah kau selesai menulis, dimohon untuk mempublisnya di blog/wordpress/tumblr. Untuk formatnya, ketik "Sebelum Senja" sebagai judul cerita lalu sertakan "lanjutan dari www.adityadinata.blogspot.com/sebelum-senja" di bagian akhir ceritamu. Tweet link cerita pendekmu dengan format "Sebelum Senja - (url). Cc: @AdotAdinata @celotehsaya." Dan tulisan paling lambat dipublis dan di-tweet pada tanggal 19 Juli 2013, pukul 18.00.

Kriteria penilaian adalah:
1) sinkronitas antara potongan cerita dengan cerita lanjutanmu,
2) keunikan cerita,
3) gaya bahasa dan tentunya diketik sesuai EYD.

Sekian dan selamat menulis.

:)
***

http://s5.favim.com/orig/74/book-coffee-photography-read-Favim.com-766778.jpg

"Silakan kopinya."
"Makasih mbak."
Seraya si pelayan pergi, kusesap perlahan cappuccino pesananku. Hangat.

Bagiku, kopi ialah pemanis di kala senja. Aku tidak paham dengan anggapan orang-orang yang membenci kopi hanya karena ia pahit. Pahitnya kopi mampu menyadarkanku bahwa hidup tidak selamanya manis. Kopi sanggup membuatku nyaman meski kepala sedang suntuk-suntuknya. Dan kopi ialah teman yang baik bagi mereka yang sedang sendiri. Seperti orang yang sedang menunggu. Seperti aku.

Kulirik jam tanganku.
Satu jam. Sudah satu jam aku berada di cafe yang bahkan sebelumnya belum pernah aku singgahi. Sejenak kuperhatikan sekeliling. Interior cafe ini cukup cantik. Dinding yang berlapis wallpaper berwarna coklat begitu serasi dengan lantai parquet. Jam antik serta meja-meja kayu yang tampak kuno menambah nuansa vintage. Lagu-lagu akustik John Mayer yang terus diputar membuatku percaya jika pemilik cafe ini memiliki selera musik yang bagus. Di sudut cafe, terlihat beberapa remaja sibuk bergurau satu sama lain. Di sudut yang lain, sepasang kekasih sedang asik bermesraan. Semua orang larut menikmati suasana. Kecuali aku.

"Semoga aku nggak salah tempat," batinku.
Kuingat-ingat lagi surat itu. Ya, surat aneh yang kudapat sehari yang lalu. Tidak ada nama pengirim, hanya berisi tulisan pendek mengenai permintaan untuk bertemu disertai alamat, tanggal, dan waktunya. Di baliknya terdapat sebuah foto seorang anak lelaki menggenggam tangan seorang anak perempuan. Semakin kuperhatikan, semakin aku yakin jika anak lelaki di foto itu aku. Berbagai macam pertanyaan seperti siapa pengirimnya, ada keperluan apa ia ingin menemuiku, dan kenapa ia bisa memiliki fotoku waktu kecil mengubur segala rasa takutku.

Dan di sinilah aku. Menunggu.
Kau tahu? Menunggu ialah pekerjaan yang mengesalkan. Menunggu membuatmu gelisah. Menunggu membuatmu resah dan tak nyaman. Dan kau hanya bisa menduga-duga tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

***

Suara bel menandakan pintu cafe itu terbuka. Seorang perempuan dengan kemeja flanel berjalan masuk. Ia terlihat seperti mencari sesuatu, atau mungkin seseorang.

.....

Friday, June 21, 2013

Beberapa Hal Yang Seharusnya Kuucapkan Sebelum Kau Pergi.


Hai.

Aku sedang menduga-duga. Saat ini kau mungkin sedang berlibur di pantai. Kau mungkin sedang bermain-main dengan pasir, menari bersama ombak, ataupun sekedar bersantai ditemani senja cakrawala. Kau tersenyum menikmati itu semua. Kau tertawa saat burung-burung camar datang ribut menyapamu. Kau seakan senang setiap kali angin pantai merusak sisiran rambutmu. Di setiap kali kau merasa lelah, sebatang pohon kelapa tua mempersilakan kau menyandarkan punggung di batangnya yang renta.
Karenanya, aku tidak perlu menanyakan kabarmu. Apapun itu, kau pasti bahagia. Kau harus, dan semestinya bahagia.

Aku? Aku baik-baik saja.
Aku masih menulis. Cerita pendek, cerita bersambung, cerita apapun selama aku sanggup menumpahkan emosi di dalamnya. Aku ingat, kau sering menertawakannya. Kau bilang tulisanku terlalu klise, terlalu melankolis. Lalu aku ikut tertawa. Tulisanku ialah separuh jiwaku, sanggahku. Fiksi ialah realita yang kudamba, dan setiap karakter yang kutulis ialah ekspresi dari perjalanan yang kulalui. Cinta, persahabatan, spiritual, dan sebagainya. Tetapi kau tetap tertawa. Kau tetap menganggap semua tulisanku terlalu klise, terlalu melankolis.

Mungkin kau tak pernah tahu. Dengan pena, aku mencoba menuliskan setiap detil kebahagiaan yang kugenggam. Aku mencoba mengungkapkan perasaanku dalam bentuk kalimat-kalimat yang tersusun menjadi paragraf bermakna. Harapanku, agar kelak kau membacanya. Agar kelak kau mampu memahami bahwa kebahagiaanku pernah nyata. Kau, wujud kebahagiaan itu.

Sebelumnya, maaf telah menulis surat ini. Aku tidak bermaksud mengganggu kebahagiaan yang sudah kau punya. Sungguh, aku bahagia melihatmu tersenyum, meski bukan karenaku lagi. Namun, ada beberapa hal yang mengganjal di kepalaku. Ya, ada beberapa hal yang seharusnya kuucapkan sebelum kau pergi.

Maaf jika aku tak pernah mengajakmu ke pantai. Aku tahu kau begitu menyukai laut, angin, senja. Kau bahkan seringkali memaksa untuk sekedar menemani. Tetapi aku tak pernah mau mengantarmu ke sana.

Maaf jika aku tak pernah memelukmu dari belakang. Tak pernah mengecup keningmu. Tak pernah mengajakmu berjalan-jalan menikmati sore. Tak pernah membuatkanmu lagu atau sekedar berdansa bersama. Tak pernah membuatkanmu kejutan di hari jadi kita yang pertama.
Maaf jika aku tak pernah menyayangimu dengan cara yang kau mau.

Di tiap senyummu, selalu ada air mata yang terus jatuh. Kau bahagia, namun kau tersiksa. Aku rasa aku hanyalah seorang yang ahli mengukir luka. Aku tak pandai membuatmu tertawa atau bahkan untuk sekedar tersenyum.
Maaf jika aku telah menyia-nyiakanmu.

Penyesalan selalu datang belakangan. Di saat merasa senang, kau justru merasa cepat bosan. Dan di saat kehilangan, kau justru mengejarnya, berharap bisa bersama-sama lagi.
Tapi itu sudah tak penting lagi. Waktu telah merenggut semuanya. Aku, kamu, kita hanyalah kepingan masa lalu. Mencoba bangkit, melangkah perlahan di atas pecahan-pecahan asa yang telah kandas.

Kau ingat? Aku pernah menulis sebuah cerita tentang seorang musafir yang menemukan arti rumah. Ia memang tidak kembali ke kampung halamannya, tetapi ia menemukan sesuatu lebih. Ia berdamai dengan hatinya. Ia kembali menemukan kebahagiaan dengan mengikhlaskan apa yang telah direnggut darinya.

Mungkin ini yang terbaik.
Kita ialah cinta yang saling benci. Dengan seenaknya kita mengobarkan kasih tanpa tahu kapan harus berhenti. Kita meledak-ledakkan emosi hanya untuk memuaskan ego sesaat. Dan yang tersisa dari kita hanyalah abu, menanti untuk dibuang.

Aku berdoa.
Semoga setelah ini kita akan benar-benar pulang ke rumah masing-masing.
Aku dengan kebahagiaanku. Kamu dengan kebahagiaanmu.
Tidak akan ada lagi tangis, tidak akan ada lagi perih di hati.

Terima kasih telah menerimaku
Terima kasih telah menyayangiku.


Terima kasih.


Selamat tinggal.

Sunday, May 19, 2013

Di Batas Malam


"Aku lebih suka lampu warna kuning daripada warna putih."
"Terus?"
Aku menggaruk kepala. "Oke. Selain di bidang cuek dan nggak peka, kamu jago di bidang apa lagi?"
"Tuh kan, aku salah lagi..."
Aku terbahak. "Kamu selalu salah. Oke?" selorohku sambil mengacak-acak rambutnya. Seiring dengan tawaku yang meledak, bibirnya semakin mengatup cemberut. Namun, satu hal yang harus kau tahu. Cemberut tidak mengurangi kecantikannya.

"By the way, kita mau ke mana?"
"Tempat tercantik yang harus kamu tahu."

Malam ini seharusnya tidak ada rencana apa-apa. Seharusnya dia belajar mempersiapkan ujian tengah semester esok pagi. Seharusnya aku masa bodoh dengan kuliah dan melanjutkan tidurku. Hanya saja, ide gila selalu muncul tanpa diduga. Bermodalkan nekat, aku mendatangi rumahnya dan mengajaknya pergi. Yang lebih hebat lagi, dia mengiyakannya. Entah yang mana yang lebih berhasil, rayuan gombal atau sebungkus nasi ayam McD. Yang jelas kini dia sudah berada di kursi penumpang.

Di sisiku.
***
Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 10 malam. Hujan sejak satu jam yang lalu menyisakan rintik gerimis dan butir-butir embun di jendela mobil. Binar lampu kota sepanjang jalan turut menghiasi malam ini dengan cantik. Keduanya memang kombinasi yang tepat.
Aku selalu merasa ada yang berbeda dengan lampu kota yang berwarna kuning. Ia lembut, menenangkan. Atau seperti kata orang-orang pada umumnya; romantis. Beruntung aku tinggal di Jogjakarta, salah satu kota yang tepat untuk jatuh cinta. Lampu kota dan setiap sudut kotanya seperti memiliki sihir, menghipnotisku untuk jatuh cinta—jatuh dan jatuh semakin dalam. Tidak, aku tidak bermaksud untuk menjadi melankolis. Namun untuk kali ini, biarkan aku terhipnotis. Karena memang aku sudah jatuh cinta.

Kepada malam berarakan sunyi.
Kepada bias lampu kota yang menerpa kelam.
Kepada dia, purnama yang tak juga terbenam.

***
"Yak, sudah sampai, Nona."
Dia sedikit terheran. "Lho, ini... bukannya..."
"Udah, turun dulu aja." ujarku seraya meraih tangannya.

"Nah..." aku berdehem, "Selamat datang di tempat tercantik di Jogja, taman Grha Sabha Pramana."

Dia tertawa lepas.
Mungkin dia tidak pernah menyangka akan berada di sini, di antara lampu-lampu taman ditemani dingin malam.

"Kok kamu nyulik aku ke sini?" tanyanya sambil memperhatikan sekeliling.
"Menurutku, di antara semua tempat di Jogja, tempat ini yang paling romantis." jawabku. "Lampu kuning dan semua hal yang ada di sini, terutama sesaat setelah hujan. Cantik."
"Kamu sering ke sini?"
Aku menggeleng. "Sesekali. Namun aku benar-benar menyukai suasana di sini."
"Kamu... benar-benar cinta sama Jogja ya?"
"Nggak tahu. Walau aku baru tinggal di kota ini tiga tahun, Jogja tetap kota kelahiranku," aku mengambil jeda sebelum meneruskan kalimatku, "Banyak orang bilang, 'sempatkanlah untuk jatuh cinta di Jogja'. Dan ternyata mereka benar, ada yang berbeda ketika jatuh cinta di Jogja. Semua terasa menyenangkan."
"Bukankah ketika jatuh cinta semua terasa menyenangkan?"
"Di Jakarta, kamu nggak akan menemukan tempat seperti ini. Atau seperti jalanan Malioboro menjelang dini hari. Atau seperti pantai Indrayanti di malam tahun baru. Atau seperti Tugu Jogja saat senja."
Aku menghela nafas. "Jatuh cinta tidak selamanya menyenangkan. Apalagi jatuh kepada orang yang tidak tepat, serta pada tempat dan waktu yang tidak tepat pula."
"Jadi bersyukurlah kamu bisa tinggal di salah satu kota terindah yang jauh dari macet, ditambah lagi penuh dengan lelaki baik," tambahku sambil kembali mengacak-acak rambutnya.

Sesaat, taman yang nyaris seperti kuburan ini terasa lebih hidup. Malam ini Grha Sabha Pramana terlihat begitu anggun. Aroma petrichor yang menguar turut menambah sendu suasana. Namun, aku rasa ada sesuatu yang membuat tempat ini menjadi lebih romantis. Dia.

Di antara sepi, aku memperhatikan hal-hal kecil yang ada padanya; bias cahaya yang menerpa wajahnya, baju yang kebesaran namun sangat cocok untuk dia pakai, bibir tipis yang perlahan mengukir senyuman. Dia benar-benar tampak cantik malam ini. Aku tidak bisa berhenti mengaguminya.

"Hey, makasih ya." ucapnya memotong lamunanku.

Kini aku yang tertawa lepas. Aku tak bisa menyembunyikan rasa bahagiaku. Di antara segala kemungkinan yang mungkin terjadi, aku tak pernah menyangka sanggup berada di tempat ini, malam ini, bersama dengan dia.

Kau mungkin pernah berada di dalam situasi di mana kau sungguh begitu dekat dengan kedamaian. Cukup duduk berdua bersama dengan dia kau sudah merasa beruntung. Dia, seseorang yang membuatmu merasa lebih utuh. Seseorang yang sanggup melengkapi dirimu. Seseorang yang mampu membuatmu lebih mensyukuri hidup.
Ketika dia bahagia, kau pun turut bahagia. Ketika dia sedih, kau juga merasakan pilu yang sama.
Kau ingin sekali memeluknya erat. Kau ingin sekali berbisik di telinganya, "Tolong, tetap di sini".
Kau tidak pernah mau tertidur karena mimpi itu telah menjadi nyata.

Ya, karena perempuan ini, hidupku tak lagi sama. Karena Riani.
Aku mengenal Riani sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Saat itu aku baru saja pindah dari Jakarta dan tidak menahu tentang Jogja. Aku tidak pandai berbicara dan cenderung tertutup, sehingga cukup sulit bagiku untuk berkenalan dengan orang-orang baru. Tetapi Riani hadir. Dengan ramah, dia menjabat tanganku dan mempersilakan aku duduk di sampingnya. Dia mengajariku berbahasa Jawa dan bertingkah laku sopan layaknya orang Jogja. Dia mengenalkan aku pada keindahan Malioboro, Tugu, dan Kotabaru. Dia begitu bersemangat setiap kali mengajakku pergi untuk sekedar makan di pinggir jalan dan menikmati malam. Dia membuatku jatuh cinta kepada Jogja.

Dia... Dia berbeda.

"Diem aja Bang, kayak gagang pintu," selorohnya seraya menyentuh keningku.
"Woy!"
Dia tertawa. "Iya-iya, bercanda kali ah."

Seketika, Riani menarik tanganku.
"Hei... kau tahu, lampu-lampu ini seperti lighting dan taman ini panggungnya. Bagaimana kalau kita berdansa?"
Alisku kuangkat sebelah. "Berdansa?"
"Iya, berdansa."
"Tapi aku..."
"Ayolah," ajaknya dengan nada manja.

Belum-belum jemarinya sudah menggenggam tanganku erat.
"Setiap dansa pasti butuh lagu kan? Tenang... semua beres."
Sebuah lagu terputar dari handphone milik Riani. Aku mengikuti ketukan-ketukannya. Lagu ini terasa tak asing bagi telingaku. Secara tidak sadar, aku mulai menyanyikannya.

L is for the way you look at me
O is for the only one I see
V is very, very extraordinary
E is even more than anyone that you adore can...


"Ini..."
"L-O-V-E, Nat King Cole tahun 1965," jawab Riani cepat.
"Seleramu bagus."

Riani tidak menanggapi pujianku. Dia sudah hanyut dalam dunianya sendiri. Diiringi melodi-melodi lembut, Riani mulai berdansa. Riani begitu ringan menggerakan tangan dan kakinya, seolah dia sedang melayang di udara. Riani berdansa seperti peri dalam dongeng, cantik dan anggun. Riani begitu mempesona. Setiap gerakannya berhasil menghipnotis tubuhku untuk ikut berdansa bersamanya. Di atas panggung imajiner ini, kami terus berdansa. Lampu-lampu taman menjadi penonton atas pertunjukkan kami berdua. Aku dan Riani seperti sepasang kekasih yang sudah tidak lama bertemu, melampiaskan rindu dan haru dengan berdansa bersama.

"Kamu bener. Tempat ini romantis."
"Dan juga malam ini. Sama-sama romantis."
"Kamu tahu apa yang harus kita lakukan lagi kan?"
"Apa?"
"Berdansa lebih lama."

Riani melingkarkan kedua tangannya di pinggangku. Perlahan, dia kembali menggerakkan tubuhnya, memimpin dansa di antara kami berdua. Kubiarkan tubuhku bergerak mengikutinya. Riani tersenyum saat kucoba menggenggam tangannya. Dan senyum itu... oh Tuhan, ingin rasanya aku memundurkan waktu untuk kembali melihat senyum itu. Tanpa pikir panjang, segera kupeluk dirinya. Erat.
Pelukan itu begitu hangat dan nyaman. Aku dan Riani sama-sama tidak lagi berdansa maupun berbicara. Kami sama-sama hanyut dalam keheningan ini. Tanpa perlu banyak kata, kami sama-sama paham, kami telah jatuh satu sama lain. Dan kini kami hanya ingin menikmati malam.

Kami hanya ingin menikmatinya, berdua.

Love is all that I can give to you
Love is more than just a game for two
Two in love can make it
Take my heart and please don't break it
Love was made for me and you.


***

Malam ini Grha Sabha Pramana terlihat begitu anggun. Aroma petrichor yang menguar turut menambah sendu suasana. Lampu taman membuat cantik sudut-sudut yang redup. Bersamaan dengan itu, bulan dan berbagai konstelasi bintang di langit sana ikut berdansa bahagia.
Semuanya nampak romantis.
Di antara sepi, aku masih memeluknya. Erat. Dan entah siapa yang memulai lebih dulu. Namun yang kuingat, kedua bibir kami sudah saling bertemu.

Ternyata yang mereka katakan itu benar.
Jatuh cinta di Jogja terasa menyenangkan.

Love was made for me and you
Love was made for me and you
Love was made for me and you... 

***

Sunday, April 28, 2013

Hai, Orang Asing.


Hal-hal unik tak bisa terhindarkan dalam suatu hubungan. Kau tahu; melakukan kegiatan yang menjadi hobi bersama, tawa bersama atas kejadian lucu, pertengkaran karena sesuatu yang sepele diikuti pelukan hangat yang menenangkan, obrolan-obrolan malam ditemani secangkir coklat hangat, dan kecupan lembut di kening serta di bibir.

Ya, hidup kadang tak terduga. Satu orang asing hadir, mengobrak-abrik isi kepalamu, lalu hidupmu tidak lagi menjadi seutuhnya milikmu. Ia datang, mengubah 'kau' menjadi 'kita'. Selayaknya 'kita', kau tak akan lagi sendiri. Kau akan melakukan kegiatan-kegiatan bodoh bersama dengan dia. Kau akan berbagi tawa dan peluk dengannya, merasa nyaman berdua. Kau akan benar-benar menyayanginya.

Namun seiring waktu, salah satu di antara kau dan dia akan pergi. Perlahan-lahan, hal berharga yang sudah kalian lakukan menjadi tidaklah lagi dirasa berharga. Bosan, berbeda keyakinan, tidak lagi diperhatikan, tidak lagi merasa nyaman, hadirnya cinta yang baru, atau lainnya, semua bisa menjadi alasan. Semudah itu, kalimat 'maaf, aku rasa kita tidak bisa lagi bersama' mengakhirinya.

Lagi.
Dari orang asing, kembali menjadi orang asing.

Sayangnya, walau kini sendiri, kenangan tentangnya akan selalu ada. Ia menjadi hantu, tinggal di sudut-sudut hati yang tak terurus. Dan tetap begitu, hingga kau menemukan orang asing lainnya yang mampu mengusir hantu-hantu kenangan tersebut dan menjadi penghuni baru ruang hatimu.

Dan tentang perjalanan ini, apa kau benar-benar tahu? Maksudku, apa kau pernah menengok ke belakang dan memahami satu demi satu apa yang sudah kau lakukan? Bagaimana kau dan dia bertemu? Bagaimana kau dan dia saling jatuh cinta dan saling memperjuangkan? Bagaimana kau dan dia memutuskan untuk berpisah?

***

I. Pertemuan
"Bagaimana kalian bertemu?"
Selalu ada jawaban menarik dari pertanyaan di atas. Oleh konspirasi semesta, dua orang yang tidak saling mengenal bisa saling bertemu di waktu dan tempat yang tidak diduga. Seperti dua orang yang sedang sama-sama bosan menunggu teman di dalam coffee shop, lalu salah seorang menanyakan jenis kopi apa yang baru saja ia pesan, dan obrolan hangat terjadi begitu saja. Atau seperti dua orang yang datang ke suatu pesta ulang tahun, berkenalan karena saling tertarik, dan berlanjut pada obrolan-obrolan malam. Atau seperti dua orang yang berkenalan dan menjadi sahabat, dan beberapa bulan kemudian, yang mereka rasakan bukan lagi rasa nyaman sebagai sahabat, namun rasa sayang sebagai sesuatu yang lebih dari sahabat. Atau yang lebih gila lagi, seperti dua orang saling berkenalan melalui social media karena sama-sama kagum dengan apa yang ia tulis di sana.
Kau dan dia tidak akan pernah tahu pada pukul berapa, di mana, dan dengan cara apa akan dipertemukan. Namun, saat merasakan ada sesuatu yang berbeda saat pertama kali menatapnya, kau pasti tahu. Kau telah jatuh cinta.

II. Pengejaran
Pengejaran? Ya.
Setelah bertemu dengan orang yang tepat, tentunya kau tidak berhenti pada hari itu saja. Kau akan dibuat penasaran. Kau akan meminta kontaknya, mengajaknya untuk keluar makan malam, dan melanjutkan obrolan-obrolan yang sempat tertunda. Kau akan meluangkan waktu untuk sekedar pergi bersamanya atau menghabiskan waktu dengannya di telepon. Kau akan membuka akun Twitternya, dan seperti penguntit, mencari tahu apa saja yang sedang ia lakukan dan ia rasakan. Kau tidak bisa berhenti memikirkannya.

Jika waktu dirasa sudah tepat, kalimat sederhana "Kamu mau jadi pacarku?" diikuti dengan "Ya" akan mengubah detail kecil. Kau dan dia resmi memiliki hubungan.

III. Bulan Madu
Mereka bilang, honeymoon adalah tahap yang paling menyenangkan.
Sebagai pasangan baru, kau dan dia selalu ingin menghabiskan waktu berdua. Kau dan dia selalu mencoba mengekspresikan rasa sayang kepada pasangan. Pelukan dan kecupan senantiasa menemani hari-harimu. Tawa dan bahagia tentu selalu ada di sampingmu. Rasa-rasanya, kau tidak ingin pernah melepaskannya.

Ingat lagi, saat kau masih bersama dengannya.
Apa saja yang sudah kau lakukan? Bagaimana kau dan dia tertawa bersama atas sesuatu yang menurut orang lain tidak begitu lucu? Bagaimana sebuah pelukan darinya sanggup menenangkan pikiranmu yang dipenuhi penat? Bagaimana sebuah chat darinya sanggup membuat senyummu tak berhenti terukir? Bagaimana hari-hari itu terasa begitu menyenangkan? Apa yang kau rasakan? Bahagia?
Namun, seperti pasangan pada umumnya. Setelah beberapa bulan, kau akan jenuh.

IV. Jenuh
Sebagai pasangan yang usai berbulan madu, kau dan dia akan menjalani hari-hari yang bisa dibilang... biasa saja. Kesibukan yang menuntutmu ada akan menggusur waktu-waktu kalian sebagai pasangan. Selanjutnya, kau tidak hanya nyaman sebagai sebuah pasangan, tetapi juga nyaman sebagai diri sendiri. Kau akan mengeksrepsikan dirimu lebih, bukan lagi afeksi. Euphoria yang sudah berlalu akan digantikan oleh hari-hari normal sebagai pasangan normal. Kebiasaan-kebiasaan kecil yang tak terlihat kini semakin jelas ada.

Sebut saja, sikap tak acuh.

Yang awalnya segera mengangkat telepon darinya, akan semakin ditunda-tunda. Yang awalnya meluangkan waktu untuknya, sekarang lebih memilih sibuk dengan dunianya sendiri. Yang awalnya selalu bersemangat mengajak dia pergi, kini lebih mengutamakan pergi bersama sahabat.

Sikap tak acuh menumbuhkan jarak.
Beruntung bagi mereka yang memiliki toleransi kepada pasangan. Bagi yang tidak?
Seiring waktu, jarak itu akan semakin jelas. Kau akan lupa apa yang dulu membuatmu dengannya tertawa bersama. Kau akan lupa mengapa kalian sanggup mengalah demi dia. Kau akan lupa bagaimana kalian melakukan apa saja untuk saling memperjuangkan. Kau dan dia akan menjauh.

V. Jauh
Kau dan dia akan menjauh.
Dua senyum yang menjadikannya tawa tak lagi terukir. Pelukan hangat yang menemani dingin malammu tak lagi hadir. Dan semua itu, hanya akan digantikan oleh mata yang mulai berair.
Kau tak bisa melakukan apa-apa selain turut hanyut dalam jenuh. Kau hanya sanggup menunggu dalam ketidaktentuan, tanpa sadar kakimu melangkah jauh perlahan. Setelahnya, kau dan dia akan sama-sama mengerti, sebuah 'kita' telah mati.

Jarak yang terjauh bukanlah dua yang dipisahkan daratan ataupun lautan.
Jarak yang terjauh bukanlah ucapan rindu yang hanya sanggup terdengar dari seberang sana.
Jarak yang terjauh bukanlah lengan yang tak lagi bersama merengkuh senja.

Jarak yang terjauh ialah hati yang tak lagi dekat.

VI. Pergi
Perasaan itu telah mati. Lalu, kau memutuskan untuk pergi.
Kau memilih untuk berpisah darinya. Kau memilih untuk berhenti memperjuangkan apa yang sudah kau dan dia miliki. Kau tetap memilih pilihan ini meski kata-kata "aku menyayangimu" darinya tidak akan lagi kau dengar. Kau tetap memilih pilihan ini meski peluknya masih bisa menjernihkan pikiranmu. Kau mengambil segala resiko untuk pergi karena kau rasa dia tidak lagi dia yang dulu. Kau rasa dekapnya tidak lagi sehangat yang dulu. Kau rasa cintanya tidak lagi setulus yang dulu. Kau rasa seharusnya semua tetaplah sama seperti yang dulu.

Ya, yang dulu.
Kau merindukan 'kita' yang dulu. Semua terasa bahagia setiap kau menengok ke belakang. Kau mengingat-ingat kembali tentang kau dan dia. Lalu, kau menjejakkan kakimu di masa sekarang. Kau coba membandingkan apa yang sudah kalian lakukan saat ini dengan yang dulu. Tanpa kau sadari, setetes air mata jatuh membasahi pipimu. Kau menangis, deras.

Kau pergi, begitu pun dia; membawa kisah kasih berlalu.

Namun, tidak semudah itu.
Kenangan berusaha mengejarmu. Ia mencoba mencekik lehermu, membuatmu sesak dengan ingatan tentang kau dan dia. Kau mencoba berlari, tetapi kau tak sanggup. Kau terlambat menghindar, membuat tubuhmu diterjang serpihan-serpihan luka. Kau dibunuh rindu.
Kau tahu, sebenarnya kau menikmatinya. Kau menikmati setiap kali memori tentangnya singgah di kepala. Kau menikmati setiap kali bayangnya hadir merengkuh dirimu. Kau menikmati pilu yang ada setiap kali kau mendambakan sosoknya.

Kau menginginkannya kembali.

Tetapi, kau sudah memilih untuk pergi. Selayaknya orang yang pergi, tidak seharusnya kau tiba-tiba kembali. Kau dan dia sudah memutuskan untuk pergi, kembali menjadi orang asing.
Lalu, dia akan bertemu dengan seseorang yang baru. Dia akan jatuh cinta lebih dulu, membenahi ruang hatinya yang berantakan, dan mengulangi siklus sama seperti ini.

Kau? Kau akan patah hati, kemudian menunggu. Menunggu waktu menyembuhkan lukamu; menunggu orang yang tepat hadir merapikan pecahan-pecahan hatimu.

Sesederhana itu, kau jatuh cinta dan patah hati.
Kau jatuh cinta kepada orang yang dulunya sama sekali asing bagimu.
Kau patah hati karena orang itu meninggalkanmu, kembali menjadi asing bagi hatimu.

***

Semoga setelah ini, kau akan lebih menghargai sebuah hubungan. Bukan semata-mata karena parasnya yang cantik, lalu kau menginginkannya. Bukan semata-mata karena bahagia sudah tak lagi dirasa, kau pergi meninggalkannya.

Kau tak akan tahu kapan dan di mana kau akan bertemu dengannya.
Kau tak akan tahu bagaimana dan dengan cara apa kau akan berpisah dengannya.
Yang kau tahu hanyalah, dia orang yang tepat untuk kau perjuangkan.
Dan sisanya, adalah kisah menarik untuk kalian tulis bersama.

Bersiaplah jatuh cinta.

Sunday, March 3, 2013

Diam-Diam



Melakukan secara diam-diam; mengerjakan atau melaksanakan sesuatu dalam hening supaya tidak seorang pun tahu selain dirinya sendiri. Kira-kira begitu definisinya dalam KBBI. Secara diam-diam, seperti yang biasa dilakukan oleh pencuri atau penjahat. Mereka tidak ingin tindakannya diketahui. Mereka tahu mereka salah. Namun, mereka selalu punya alasan untuk tetap melakukannya.

Aku tidak pernah paham dengan definisi 'secara diam-diam'. Sepandai-pandainya menyembunyikan, akhirnya akan terungkap juga. Lalu untuk apa bersembunyi? Aku benar-benar tidak pernah paham dengan definisi 'secara diam-diam', sampai hari ini.

 ***

"Kamu mau pulang sekarang? Mengapa tidak menunggu hujan reda?"
 Aku tersenyum, sambil membereskan buku-buku di atas meja.

"Serius, hujan di luar cukup deras. Kamu yakin tidak mau menunggu?"
Ia terlihat panik. Aku cukup yakin, sebentar lagi dia akan bertanya dengan wajah was-was.

"Kamu nggak kenapa-kenapa kan, De?"
Kuletakkan tasku. Aku menghela nafas.
"Baiklah. Satu cangkir coklat panas lagi ya."

***

Melakukan secara diam-diam kadang melelahkan. Sebisa mungkin kita harus menyimpan rapat, tidak boleh sampai terlihat. Dan untuk melakukannya setiap saat, selalu dibutuhkan kesabaran.

Tidak ada yang tahu. Tidak seorang pun akan tahu.

Melakukan secara diam-diam memang menyusahkan. Menahan rasa agar tak terucap, mencoba bersikap biasa supaya yang sudah ada tetap terjaga. Berusaha menikmati keindahan, dengan cara yang tidak biasa.

Seperti mengagumi, seperti mencintai hanya dalam semesta kata.
Seperti yang sedang kulakukan.

***

"Kamu kenapa sih, De? Nggak suka ketemu aku?"
Aku tertawa kecil. "Cafe ini nggak biasanya ramai. Jadi, kurang nyaman."
"Yakin bukan karena aku? Maaf aku tiba-tiba menelpon dan memintamu ke si... Wah, adek bayinya yang di sana lucu!"

Aku menggeleng. Perempuan di depanku ini sangat hiperaktif. Sebentar-sebentar menggoyangkan kaki, sebentar-sebentar melirik ke kanan dan ke kiri, sebentar-sebentar memeriksa notifikasi di handphone. Dan sekarang, ia sibuk memperhatikan bayi yang sedang asik menghisap botol minuman.
Aku tidak bisa memahami di mana sisi lucunya.

"Rade, lucu ya bayinya..."

Aku berdehem pelan. Berpura-pura tidak mendengar, kualihkan perhatianku pada secangkir coklat di atas meja. Hangat, manis. Seperti dua yang dipertemukan dalam suatu kebetulan, saling jatuh cinta tanpa perlu lagi alasan.

"Tuh kan, kamu itu kenapa? Kayaknya nggak terlalu semangat."
"Nggak apa-apa." jawabku cepat.
 "Di setiap nggak apa-apa selalu ada yang apa-apa. Barusan aku udah cerita, sekarang giliran kamu dong."

Kukeluarkan beberapa buku dari dalam tas. Acak, kupilih salah satu, kubuka halaman demi halaman. Mencoba berpura-pura sibuk, tak menghiraukan apapun yang diucapkannya.

"Radega Ramadewa!" ia setengah berteriak.

"Arinda Anjani, aku nggak apa-apa. Aku baik-baik saja, begitu juga dengan buku ini, tasku, motorku di luar sana, dan..."

"Ya sudah, terserah kamu."
Anjani kemudian berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Iseng, kuperhatikan sekeliling. Benar saja. Semua mata lelaki kini memandangi dirinya. Bukan, Anjani bukan seorang yang suka memakai pakaian ketat dan mengekspos setiap bagian tubuhnya. Sejak SMA, Anjani memang cantik dan selalu menjadi idola setiap lelaki. Entah lelaki dari tim basket, dari tim futsal, anak band, murid olimpiade, maupun mahasiswa yang akan sidang skripsi, semua menyukainya. Namun ia tidak peduli dengan kecantikannya. Mungkin, ini pesona Anjani. Ia seakan matahari. Dan semua yang ada di sini, terpusat, berevolusi padanya. Tak terkecuali aku.

"Aku tahu kenapa." ujar Anjani sembari duduk.
"Baiklah, Nona. Aku kenapa?"
Anjani tersenyum, lalu menyeruput kopinya.
"Jadi, hari ini kamu bangun dengan mood jelek. Kemudian, sepertinya sore ini kamu sudah punya acara yang cukup penting. Sayangnya, aku tiba-tiba menelpon dan memintamu ke sini, padahal di luar sana hujan ditambah kamu nggak nyaman dengan suasana yang ramai ini. Betul?"
Aku menjitak kepalanya pelan. Anjani memang luar biasa dalam membuat hipotesis dan menebak perasaan orang. Tapi ia juga tidak kalah luar biasa dalam hal sok tahu.
"Salah." jawabku terbahak.
"Oke, aku nyerah. Kamu itu susah ditebak. Kita udah berteman lima tahun tapi tetep aja aku nggak bisa menerka-nerka apa yang ada di sini." ujarnya sambil menunjuk dadaku. "Mungkin hati kamu itu kotak baja berlapis-lapis. Nggak bisa ditembus kecuali sama kamu sendiri."
"Bukan berlapis-lapis, cuma aku lebih suka tertutup seperti ini. Aku ingin tahu, siapa saja yang berusaha membuka kotak itu dan melihat apa yang ada di dalamnya."
"Selalu sama. Menunggu, menunggu, menunggu. Kamu mau menunggu sampai kapan? Kamu nggak merasa lelah dengan kesendirian?"
"Nggak apa-apa. Setidaknya, aku bukan tipe orang terbuka, yang selalu memberi kesempatan pada setiap orang untuk masuk dan keluar dalam hidup kita seenaknya."
Posisi duduk Anjani langsung menegak. "Kita ini dua orang yang beranjak dewasa. Sudah seharusnya kita mencoba-coba dan mengambil resiko untuk pilihan yang kita ambil. Jatuh cinta, sakit hati, lalu jatuh cinta lagi. Apa salahnya? Semua yang ada di dunia ini awalnya dari coba-coba, De. Kita nggak akan tahu ada apa di depan sana kalau kita nggak melangkah."
Lidahku gatal ingin membantahnya. Tapi kutahan. Kita berdua tahu pembahasan ini tidak ada ujungnya.

"Coklatnya enak." celetukku mencairkan suasana.
Ia mengangguk lemah.
Beberapa menit kemudian, kami sibuk dengan kegiatan kami sendiri-sendiri. Ia tampak asyik menekan-nekan tombol di handphone. Sementara aku menikmati kembali coklat yang kini mendingin. Pahit.

"Rade, kamu, kenapa suka coklat?" tanyanya memecah kebisuan.
"Hidup itu pahit. Coklat itu penetralnya. Sesap hangatnya, tentu bisa menjadikannya manis."
"Kamu selalu melihat hidup dari sisi buruknya."
"Dan kamu selalu melihat hidup dari sisi baiknya, Ni. Kamu memilih kopi. Bagimu, kopi adalah tamparan keras untuk hidupmu. Pahit kopi menyadarkanmu dari kosong setiap kali kamu jatuh cinta. Dalam hati, kamu nyaman dengan kesedihan. Dan kopi, menggantikan rasa sedih yang seharusnya ada."

Kami berdua terdiam. Beberapa orang melirik penasaran ke meja kami. Seperti lubang hitam, dalam sekejap kata-kataku menghisap atmosfer bahagia di ruangan ini.

Anjani meletakkan handphonenya. "Rade, lelaki ini akan datang 10 menit lagi."
"Oh, yang kau ceritakan tadi? Siapa namanya?"
"Darma..." bisiknya pelan, "aku sudah memaafkannya."

Tiba-tiba ada rasa muak yang entah datangnya dari mana.
"Memaafkan? Ni, siang tadi laki-laki ini ketahuan mencumbu perempuan lain yang bahkan kamu nggak tahu siapa, dan kamu secepat itu memaafkan?" Kusesap coklatku sampai habis sebelum meneruskan kalimatku. "Harus butuh berapa kali lagi laki-laki ini membuatmu menangis? Harus berapa lama lagi kamu berpura-pura kuat? Yang kamu butuhin itu bahagia yang nyata, Ni. Bukan perasaan sesaat ataupun cinta karena penasaran."

Anjani menatapku tajam. "Rade, apapun keputusanku, aku yang akan bertanggung jawab. Hatiku, ya hatiku. Kepada siapa aku jatuh cinta itu urusanku. Ini bukan perasaan sesaat, aku sayang dia."

"Tapi kamu nggak bahagia!"

Kugenggam erat cangkirku. Aku merasa sesuatu di kepalaku akan tumpah sebentar lagi. "Kamu selalu begitu, selalu jatuh cinta dengan orang yang salah. Kamu selalu membuka pintu bagi mereka yang kamu sayangi, bukan bagi mereka yang sayang kepadamu. Tanpa kamu tahu mereka yang kamu damba justru balik menginjak-injakmu."
Tak kusadari nadaku meninggi. Tapi, aku tidak peduli. Apapun akan kulakukan agar dia mengerti.

Seketika air menumpuk di pelupuknya. Terus membuncah, menetes satu demi satu, lalu akhirnya membanjir. "De... aku nggak bisa..." Anjani terbata. "Aku capek... setiap kesempatan dariku selalu dianggap lelucon oleh mereka... Tapi aku nggak bisa menghindar. Aku udah jatuh, dalam banget... Dan buat manjat ke atas udah terlambat. Kali ini, I guess he's the right one..."

Aku tergelak. Lima tahun berteman, dan hari ini, Arinda Anjani, seorang perempuan yang kukenal cerdas dan pandai berargumen, berpikir irrasional. Gila. Cinta sanggup membuat orang menjadi gila, gila sekali. Cinta merusak sistem bernama logika, memutus setiap kabel, dan menggantinya dengan imaji maya berbentuk siapapun dia yang kita puja.

Aku menarik nafas panjang. "Anjani, aku lelah. Aku lelah menjadi tempat sampahmu, menampung semua keluh kesahmu. Aku lelah untuk harus selalu mengingatkanmu. Aku bukan kopi pahit yang setiap saat ada untuk menamparmu. Kamu seharusnya bahagia. Kamu seharusnya memilih siapa yang membuatmu bahagia. Karena... Ah, sudahlah." Kuambil tasku dan bergegas menuju pintu keluar. "Bye, Ni."

Di tengah deras, aku mematung. Sepersekian detik, aku bisa melihatnya memandangku sendu, seakan memintaku untuk tetap tinggal. Tubuhku terasa robek menjadi dua. Sebagian diriku ingin kembali, mendekapnya, mengecup keningnya, dan mengatakan "Tenang, di sini, kamu aman". Sebagian lainnya memilih menyerah dan pergi membiarkannya terisak.
Namun pilihan apa pun, sepertinya akan sia-sia saja.

***

Kulajukan motorku menembus hujan. Sepi. Hanya ada aku dan lampu kota yang menerangi jalanan. Aku terus melaju. Ada satu hal yang kutahu. Aku tidak lagi menoleh ke belakang. Meski seharusnya aku menyesal. Meski seharusnya ada kalimat yang terucap.

"Aku menyayangimu"

Aku terhenyak. Tidak, tidak seharusnya kupikirkan lagi. Anjani sudah jatuh cinta dengan lelaki ini. Anjani sudah jatuh cinta dengan ilusi yang ia buat sendiri. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Lima tahun hanya menjadi saksi hidupnya ternyata tidak membuatku jera. Aku mencintainya dalam bayang-bayang bernama sahabat. Dan itu tidak pernah cukup. Aku ingin lebih. Aku ingin Anjani. Sudah seharusnya dia bertemu dengan seseorang yang tepat. Sudah seharusnya air mata jatuh untuk mensyukuri kebahagiaan, bukan lagi kepedihan. Sudah seharusnya ia bersamaku. Tapi selalu saja aku berhenti di rasa. Semua itu tidak pernah kuungkap.
Kini, berharap menjadi kesibukan yang senantiasa kulakukan. Berharap ia berhenti berjalan sendirian, berharap ia tidak lagi menatap ke atas, berharap ia menoleh ke samping dan menyadari keberadaanku. Dan aku hanya bisa berharap.

Aku tersenyum kecut.
Entah sekarang siapa yang lebih bodoh.

Yang satu mengejar apa yang tak bisa ia gapai, yang satu menunggu apa yang tak akan hadir.

Kuhentikan motorku di pinggir jalan. Kunyalakan sebatang rokok dan kuhisap dalam-dalam. Kucoba menikmati apa yang ada. Rintik hujan, bias senja, apapun itu. Kuhembuskan perlahan. Bersamaan dengan asap yang memudar, aku mengerti.
Cinta ini, sudah terlalu tua.

Sunday, January 20, 2013

Kepada Malam

Hai malam.
Bagaimana rasanya menjadi kamu?
Menjadi puisi bertemankan sunyi.
Menjadi jeda di antara gelap.
Menjadi bara tanpa pelita.

Hai malam.
Apa kau tidak lelah menyendiri?
Berbajukan pilu, kau melangkah keluar. Menggantikan senja, menggantikan cipta, cita, dan cinta yang mereka sebut sebagai indah. Kau berdiri, sendiri. Tidak peduli dengan hirauan mereka.
Kau tersenyum, pahit.
Kau melirik kepada dua saudaramu, bulan serta bintang. Lalu, kau paham, mereka bukanlah kamu.
Bukan sosok dingin yang tatapnya menusuk tulang.
Bukan sosok manis yang menghibur dalam luka.
Bukan sosok dewi yang dicintai kesendirian.
Bukan sosok yang tak diinginkan.

Hai malam.
Di antara yang membencimu, aku mencintaimu.
Aku bisa merasakanmu. Mendekapku erat, lekat, hingga mati pun terasa dekat.
Kau, malam. Kau berbalut kalut. Sendiri, kau tangisi dirimu.
Andai kata aku menjadi langit di setiap kau ada, aku tidak akan membiarkanmu berduka. Pedihmu biar aku yang menyangga. Hingga tidak lagi hampa memeluk ragamu. Hingga tidak lagi kau tertawa dalam tangismu.

Hai malam.
Ini surat pertamaku untukmu.
Jangan pikirkan aku, aku hanya seorang yang mengagumi keindahanmu.
Aku berdoa. Semoga kelak, bahagia ialah warna hidupmu.
Aku tidak sabar bertemu denganmu nanti, sayang.




Aku,


Pemujamu.

Saturday, January 19, 2013

Surat Tanpa Rindu

Berhubung sedang tidak enak badan dan sore nanti harus menghadiri sebuah acara, aku akan menulis surat ini dengan cepat dan tanpa perasaan. Surat ini akan aku tulis seperti surat kebanyakan. Pembuka, isi, serta penutup akan aku susun sedemikian rupa supaya surat ini tidak lagi bersirat rindu.

Jadi, apa kabar? Baik-baik saja, kan? Bagus, berarti Tuhan mendengar doaku.
Aku? Aku rasa aku baik-baik saja. Aku sudah sanggup berdiri tanpamu, jangan pikirkan aku.

Ah, iya. Bagaimana dengan nilai-nilaimu di sekolah? Bagaimana dengan persiapanmu menghadapi ujian akhir April nanti? Kau tahu, aku siap kapanpun kau memintaku untuk mengajarimu. Sudah lama aku tidak berkunjung ke rumahmu. Sudah lama kita tidak mengobrol tentang pelajaran, tingkah teman-teman di sekolah, maupun hal kecil lainnya. Sudah lama aku tidak melihat lukisan-lukisan yang kau sembunyikan dengan rapi seperti kau menyembunyikan pilumu. Sudah lama kita tidak menikmati senja bersama.
Aku dengar, kau sedang tak akur dengan lelakimu. Semoga kalian berdua segera mengucap rindu untuk satu. Aku mendoakan yang terbaik bagi kalian.
Tidak, aku tidak mengganggapnya sebagai celah untuk masuk dalam hidupmu. Kau tidak pernah membukanya. Hati kecilmu sudah penuh akan cinta yang besar kepadanya. Kau betul-betul mencintai lelaki ini. Dan aku, entahlah. Aku masih memimpikanmu.

Baiklah, surat ini aku akhiri saja karena semakin lama, obrolanku semakin tanpa arah.
Semoga bahagia, seperti yang dulu kau janjikan padaku.
Dan tolong tetaplah jaga hatimu. Karena bukan aku yang ada di sisimu. Karena bukan aku simponi rindu lelap tidurmu. Karena bukan aku senja bahagiamu.

Tunggu... Sepertinya aku melanggar janji untuk tidak menyiratkan rindu.
Ya sudah.
Aku merindukan kamu.




Teruntuk kamu,


Penulis Rindu.

Friday, January 18, 2013

18 Januari 2013

Jadi begini.
Hari ini tidak berjalan dengan baik. Hari ini saya melakukan hal-hal yang cukup buruk.
Hari ini busuk.

Pertama, saya tidak memahami logika orang yang tidak pernah peka. Perlu contoh? Baiklah. Kamu sedang mempunyai masalah. Masalah itu sebenarnya tidak rumit, namun ia cukup mengganggu tidurmu. Lalu, kamu bercerita kepada salah satu sahabat baikmu. Sebenarnya kamu tidak meminta sebuah penyelesaian. Cukup dengan didengarkan, kamu sudah merasa lega. Sayang, skenario itu tidak terjadi. Orang yang kalian sebut sebagai sahabat baik itu merendahkan kamu. Dengan mudah mereka menyalahkanmu tanpa memahami masalah tersebut. Kata-kata bersirat hina terus menyudutkanmu yang sebenarnya sama sekali tidak tahu-menahu. Dan sisanya, kamu bisa membayangkan sendiri.

Sebelum kalian berpikir yang tidak-tidak, saya tidak bermaksud menulis catatan harian. Saya juga tidak bermaksud menjadi lemah, mengeluh kepada Semesta, ataupun meminta untuk dikasihani. Semua yang saya tulis ini memang tidaklah penting karena setiap manusia pernah mengalaminya. Dan saya hanya melakukan tugas saya sebagai seorang manusia, marah.
Tidak dewasa sama sekali ya? Oh, saya tidak peduli.

Kedua, saya sangat benci kesendirian. Sebagai anak tunggal, yang saya butuh hanyalah perasaan dibutuhkan. Mengapa kamu tidak mencari teman baru? Mengapa kamu tidak melakukan kegiatan lain? Mengapa kamu tidak berusaha menikmati hidup? Saya sering menanyakan semua itu kepada diri saya sendiri. Secara teori, jawaban untuk semua pertanyaan di atas sudah ada. Secara praktek, tidak semua sesuai rencana. Mencari teman baru? Sudah. Mencari teman baru yang benar-benar bisa memahami hati dan jalan pikiran kamu? Belum, atau memang teman seperti itu hanya ada di dongeng kanak-kanak. Melakukan kegiatan lain? Menulis, merenung. Hasilnya? Bisa kalian tebak sendiri. Berusaha menikmati hidup? Oke, menurut saya ini pertanyaan paling omong-kosong. Tidak ada yang tidak mencintai nikmat hidup, kebahagiaan, atau apalah itu. Termasuk saya. Saya bahagia ketika berada di sekitar orang-orang yang butuhkan. Ketika saya membutuhkan seseorang, berarti saya mempercayainya. Dan seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, tidak semua sesuai rencana. Beberapa orang, saya rasa, tidak membutuhkan saya. Meremehkan, lalu membuang.
Entahlah. Sepertinya, kesendirian benar-benar mencintai saya.

Baiklah, tugas saya untuk menulis sudah terlaksana.
Tugas kalian? Tugas kalian ialah menertawakan saya dan tulisan saya.
Selamat tertawa.

Thursday, January 17, 2013

Tidak Lagi Tentangmu

Selamat sore.
Aku baru saja kembali dari sekolah. Ditemani segelas air putih serta Tega milik Glenn Fredly, aku menulis surat ini.

Surat ini tertuju kepadamu. Kepada dua cangkir kopi yang mulai menghambar. Kepada obrolan-obrolan semu tentang masa depan. Kepada peluk hangat yang tidak lagi mendekap erat. Kepada setiap imaji bahagia yang tidak pernah menjadi realita.

Kepada masa lalu.

Jadi, bagaimana rasanya?
Bagaimana rasanya jatuh cinta hanya karena merasa bahagia, lalu pergi meninggalkan ketika bahagia tidak lagi dirasa? Cinta ada, karena ada dua yang menjadikannya satu. Cinta, cita, sayang, kasih, asmara, amor, afeksi, dan segala sinonimnya itu menjadi hidup karena ada kita yang menghidupkan. Dan kau berlalu, menjadi masa lalu. Kau lelah, menyerah.

"...kau bunuh hatiku,
saat ku bernafas untukmu,
kau kebanggaan aku
yang tega menipuku."

Aku tidak bermaksud mendayu-dayu, memintamu untuk kembali, ataupun mengharapmu mencintaiku lagi. Luka yang kau gores sudah begitu fasih mengiris mimpiku. Semuanya sudah menjadi debu, kau tiup bersama asa yang terbang menjauh.
Aku tidak membencimu. Aku meminta kepada Tuhan agar suatu nanti kau bisa memahami, cinta tidak sekedar tentang merasa bahagia. Karena luka ialah bagian dari perjalanan, dan akan benar-benar menjadi duka jika sendiri yang menanggung.
Aku tidak menyalahkan kamu. Merelakanmu menyerah ialah kesalahan fatalku. Ya, aku bersalah, dan kau menyerah. Memang tidak ada yang bisa diperjuangkan sudah.

Surat ini tertuju kepadamu. Namun tidak dengan sayangku.
Maaf, sudah tidak ada kamu dalam semesta rinduku.




Teruntuk kamu,


Desember 2012

Wednesday, January 16, 2013

(Bukan) Surat Cinta

Singkat saja, ini bukan surat cinta.
Sekali lagi, ini bukan surat cinta.
Walau aku mengikuti program #30HariMenulisSuratCinta, surat untuk hari ke-3 ini bukanlah surat cinta.

Ya, ini bukan surat cinta. Karena si penulis dan si penerima surat tidak sedang jatuh cinta, tidak sedang diberi ataupun memberi cinta, serta tidak saling cinta satu sama lain.
Ini bukan surat cinta. Bukan begitu, Aura Andaruni?

Tidak perlu berbasa-basi dengan pertanyaan 'apa kabar?', 'sehat kan?', maupun 'aku rindu kamu, kamu rindu aku juga tidak?' karena kita sama-sama tahu apa jawabnya. Apa? Kau tidak tahu? Oke... Mari kita sedikit menyegarkan otak dan menengok ke belakang.
Masih ingat pertama kali kita berkenalan? Lupa? Sama, aku juga.
Masih ingat pertama kali kita mengobrol? Masih? Hebat, aku bahkan tidak ingat.
Masih ingat pertama kali kita pergi bersama? Masih? Ah tentu saja, karena malam itu juga malam minggu pertama aku pergi dengannya dan aku memintamu untuk menemaniku, yah.. walau berujung gagal.

Dan masih banyak hal bodoh lain yang kita lakukan setelahnya. Tunggu dulu... kita? Kamu saja dengan semua tingkah lugumu yang membuatku tertawa serta setiap curhatan yang kau ceritakan dengan hebohnya. Masih berani mengelak? Tunggu sampai suaramu di telepon berhasil kurekam dan kuunggah di internet, hahaha.

Baiklah, kembali serius.
Aura, terima kasih telah menjadi sahabat yang baik selama tiga tahun ini. Terima kasih telah mendengarkan semua ocehan dan curhatan tidak pentingku. Terima kasih telah membolehkan aku ikut melakukan hal-hal bodoh bersamamu hingga kini. Terima kasih telah mempercayakan dirimu kepadaku.
Dan maaf. Maaf jika aku sering mencubit pipimu ataupun mengacak-acak rambutmu tanpa alasan; aku tahu kamu terganggu. Maaf jika kadang aku suka tiba-tiba muncul di depan kelasmu, tidak berkata apa-apa namun tersenyum, lalu pergi begitu saja. Maaf jika kadang aku tak bisa menjadi sahabat yang baik, yang mau mengesampingkan ego dan mendengarkan ucapmu. Maaf jika tingkahku berlebihan.

Ini ialah bagian akhir dari surat, aku akan mengambil kesimpulan.
Aku nyaman denganmu. Kamu tetap bodoh seperti ini pun, aku nyaman denganmu.
Semoga aku bisa menjadi teman yang lebih pengertian lagi untukmu. Semoga kau masih membolehkan aku menjadi bodoh sepertimu. Semoga kita sanggup membuat satu sama lain semakin nyaman. Semoga kita tetap bersahabat baik hingga tahun-tahun mendatang.

Aura Andarruni, kau ialah sahabat yang baik.

Ah iya, satu lagi.
Ini bukan surat cinta.
Dan berhubung nama kita sama-sama berinisial "AA", mengapa kita tidak berjodoh saja?




Teruntuk,


Aura Andaruni Sudar

 


Tuesday, January 15, 2013

Teruntuk Michelle.

Setiap surat dimulai dengan kata 'Hai', 'Apa kabar?', dan terkadang 'Semoga kamu tetap berbahagia ya'. Maka begitu juga surat ini.

Hai. Apa kabar? Semoga kamu tetap berbahagia ya.

...Dan aku hanya mampu berkata demikian karena jujur saja saat ini aku canggung.

Kau ialah embun yang... Ah, sudahlah. Aku tak pandai melukiskan betapa cantik perempuan dengan akun bernama @DAMITCH yang sudah kuikuti linikala-nya sejak dua tahun lalu ini. Aku tak pandai mengandaikan kau seindah purnama, secantik langit senja, atau senyaman surga. Yang kutahu hanyalah, aku benar mengagumimu.

Tidak hanya itu.
Setiap kata yang kau eja, setiap baris yang kau tulis, setiap bait puisi yang kau hembuskan nyawa, selalu saja membuatku merinding. Entahlah. Mungkin aku telah jatuh cinta kepada bagian dari dirimu.

Terima kasih telah membolehkan aku menjadi pengagummu. Terima kasih telah menjadi sumber inspirasiku hingga kini. Semoga suatu saat nanti, akan ada percakapan di antara kita, sesambil ditemani sesap hangat kopi dan tawa hingga waktu terlupa. Semoga semesta mengabulkannya.

Terima kasih telah membaca surat ini.
Kau ialah sajak favoritku, Michelle Vinca.
Senang telah mengenalmu.



Teruntuk, 


Elizabeth Michelle Vinca Liao.



.

Monday, January 14, 2013

Kamu, Kabar Baikku.

Hai.

Sepertinya, aku sudah berulang kali mengucap ‘hai’ kepadamu. Yah… meski kadang tidak kau hiraukan. Jadi, apa kabar? Aku harap kau selalu berada dalam kabar baik seperti yang pernah kau janjikan padaku. Aku harap kau selalu dikelilingi teman-teman yang baik serta sanggup memahami senang dan sedihmu. Aku harap kau selalu berbahagia dengan dia yang tak bosan-bosannya kau ceritakan padaku; dia yang benar-benar kau cintai. Aku? Aku masih seperti dulu. Merindukanmu.

Kau tahu? Senja ialah kita, warna dikromatik yang melebur menjadi sesuatu yang mereka sebut sebagai indah. Dua yang pernah saling rindu, yang pernah menulis bahagia dengan tinta senyum dan sayang walau sesaat. Dua yang kemudian berjalan menjauh, memutuskan menjadi sebatas sahabat.

Aku mengingat betul. Bagaimana aku suka menutup matamu dari belakang dan bagaimana kau tertawa karenanya. Bagaimana aku suka memandangimu lekat-lekat dan bagaimana kau merasa terganggu meski tersenyum juga. Bagaimana kau marah karena aku mulai ditemani sebungkus rokok di tiap malam dan bagaimana aku menyesal setelahnya. Bagaimana aku berusaha mengejarmu untuk meminta maaf dan bagaimana kau tidak lagi peduli lalu pergi meninggalkan.

Kau ialah mimpiku, dan mencintaimu dalam diam ialah realita yang harus aku terima.

Aku masih mencintaimu.
Meski kau tidak pernah tahu.
Meski kau tidak perlu tahu.
Meski kau tidak mau tahu.

Kau tahu? Mereka menertawakan aku. Mereka kerap memaksaku untuk melupakan kamu, serta semua yang kupendam selama tiga tahun ini. Cinta juga menuntut logika; tidak hanya mengutamakan perasaan yang bisa mengubahmu menjadi bisu dan tuli, yang bisa mengubahmu menjadi budak waktu untuk selalu diam menunggu, kata mereka. Entahlah, aku tidak peduli. Jika mencintaimu ialah bodoh, aku rela tidak memahami apa-apa selain kebahagiaan kecil yang kini kugenggam.

Terakhir, terima kasih telah membaca suratku.
Jika suatu saat kau membalas suratku, jawabku untuk “apa kabar?” darimu ialah “aku baik-baik saja.”
Ya, karena memang aku baik-baik saja. Aku mencintaimu dalam diam dan aku bahagia.
Mungkin akan tiba saatnya aku merasa lelah dan kau benar tidak membuka hati untukku.
Pergi ialah pilihan, melupakan ialah jawaban.
Namun jika suatu saat kau memutuskan untuk bersamaku, tentu hatiku siap menerima.
Karena kamu, kabar baikku.




Teruntuk kamu,


Juli, 2010.

Wednesday, January 2, 2013

Ketika Senja Itu

"Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta... kepadaku..."
"Heh, suaramu itu jelek, diem aja deh." potong Rena seraya menutup mulutku. "Nah, begini kan bagus. Lantunan melodi Once dan suasana sunyi ketika senja. Bukan suara nggak jelas dari kamu." lanjutnya. Aku mengangguk pasrah. Sekian detik, aku bisa melihat senyumnya yang tipis mengembang. Manis. Aku ingat perkataan para ilmuwan baru-baru ini. Mereka menjelaskan, saat senja, langit membiaskan dua gelombang cahaya, merah dan jingga, yang kemudian ditangkap dan diproses oleh otak menjadi sesuatu yang membuat kita merasa lebih tenang, merasa lebih nyaman. Dan jika cahaya jatuh pada suatu benda lalu dipantulkan masuk ke dalam mata, benda itu akan terasa lebih indah. Entah, aku sendiri tidak begitu paham. Namun Rena terlihat sangat cantik sore itu. Aku tidak bisa berhenti mengaguminya.

"Sebenarnya, kita mau ke mana sih?"
"Kita mau ke masa depan" jawabku asal. Rena tertawa kecil sambil mencubitku pelan. "Lho, serius ini, kita mau ke masa depan. Kita akan melihat bagaimana manusia akhirnya bertemu dengan alien-alien Bulan atau bahkan berdamai dan chatting via WhatsApp dengan mereka, bagaimana mobil-mobil terbang itu berlalu lalang di langit kemudian sebagian dari mereka berubah menjadi Autobot, serta bagaimana Doraemon diciptakan dan membantu manusia dengan alat-alat ajaibnya." jelasku makin asal.
Jujur saja, aku tidak tahu kami berdua akan ke mana. Sedari siang, kami hanya berputar-putar Jogja tanpa ada tujuan. Snack, minuman, diikuti obrolan-obrolan ringan. Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama dia.

"Kalau kamu diberi kesempatan ke masa depan, kamu mau ngapain?"
"Nggak ngapa-ngapain."
"Nggak ngapa-ngapain?"
"Nggak ngapa-ngapain."

Aku tertawa heran.
"Jadi, menurutmu tidak ada hal menarik di masa depan?"
"Bukan begitu, justru ada banyak hal menarik di masa depan. Begini Radit, masa depan itu seperti beberapa kotak yang di dalamnya terdapat banyak mainan. Namun kotak itu tertutup, kita tidak tahu apa isinya, dan kita hanya boleh memilih satu," terang Rena, "Rasa penasaran itu yang menurutku lebih menarik daripada isinya. Bukankah yang paling penting itu proses untuk menuju masa depan?"
"Hmm..."
"Seperti masa lalu, masa depan tak perlu dibuka, dan memang tak seharusnya dibuka. Biarkan saja menjadi misteri. Dan masa kini, jembatan menuju masa depan, kita bangun baik-baik supaya kita tahu pada akhirnya di mana kita akan berhenti melangkah." tambahnya.
"Dit, Radit. Kamu dengerin aku kan?"

Aku tersadar dari sekian detik yang kugunakan untuk mengagumi betapa cantiknya dia sore ini. Sekali lagi, senja menunjukkan magisnya. Jika saja aku mempunyai nyali lebih, mungkin aku sudah mengecup bibirnya.

"Ren."
"Ya?"
"Kamu mau jadi masa depanku?"
"Hah?"
"Nggak apa-apa. Ah, itu senjanya bagus."

***

Entah di mana, 1 Januari