Sunday, March 3, 2013

Diam-Diam



Melakukan secara diam-diam; mengerjakan atau melaksanakan sesuatu dalam hening supaya tidak seorang pun tahu selain dirinya sendiri. Kira-kira begitu definisinya dalam KBBI. Secara diam-diam, seperti yang biasa dilakukan oleh pencuri atau penjahat. Mereka tidak ingin tindakannya diketahui. Mereka tahu mereka salah. Namun, mereka selalu punya alasan untuk tetap melakukannya.

Aku tidak pernah paham dengan definisi 'secara diam-diam'. Sepandai-pandainya menyembunyikan, akhirnya akan terungkap juga. Lalu untuk apa bersembunyi? Aku benar-benar tidak pernah paham dengan definisi 'secara diam-diam', sampai hari ini.

 ***

"Kamu mau pulang sekarang? Mengapa tidak menunggu hujan reda?"
 Aku tersenyum, sambil membereskan buku-buku di atas meja.

"Serius, hujan di luar cukup deras. Kamu yakin tidak mau menunggu?"
Ia terlihat panik. Aku cukup yakin, sebentar lagi dia akan bertanya dengan wajah was-was.

"Kamu nggak kenapa-kenapa kan, De?"
Kuletakkan tasku. Aku menghela nafas.
"Baiklah. Satu cangkir coklat panas lagi ya."

***

Melakukan secara diam-diam kadang melelahkan. Sebisa mungkin kita harus menyimpan rapat, tidak boleh sampai terlihat. Dan untuk melakukannya setiap saat, selalu dibutuhkan kesabaran.

Tidak ada yang tahu. Tidak seorang pun akan tahu.

Melakukan secara diam-diam memang menyusahkan. Menahan rasa agar tak terucap, mencoba bersikap biasa supaya yang sudah ada tetap terjaga. Berusaha menikmati keindahan, dengan cara yang tidak biasa.

Seperti mengagumi, seperti mencintai hanya dalam semesta kata.
Seperti yang sedang kulakukan.

***

"Kamu kenapa sih, De? Nggak suka ketemu aku?"
Aku tertawa kecil. "Cafe ini nggak biasanya ramai. Jadi, kurang nyaman."
"Yakin bukan karena aku? Maaf aku tiba-tiba menelpon dan memintamu ke si... Wah, adek bayinya yang di sana lucu!"

Aku menggeleng. Perempuan di depanku ini sangat hiperaktif. Sebentar-sebentar menggoyangkan kaki, sebentar-sebentar melirik ke kanan dan ke kiri, sebentar-sebentar memeriksa notifikasi di handphone. Dan sekarang, ia sibuk memperhatikan bayi yang sedang asik menghisap botol minuman.
Aku tidak bisa memahami di mana sisi lucunya.

"Rade, lucu ya bayinya..."

Aku berdehem pelan. Berpura-pura tidak mendengar, kualihkan perhatianku pada secangkir coklat di atas meja. Hangat, manis. Seperti dua yang dipertemukan dalam suatu kebetulan, saling jatuh cinta tanpa perlu lagi alasan.

"Tuh kan, kamu itu kenapa? Kayaknya nggak terlalu semangat."
"Nggak apa-apa." jawabku cepat.
 "Di setiap nggak apa-apa selalu ada yang apa-apa. Barusan aku udah cerita, sekarang giliran kamu dong."

Kukeluarkan beberapa buku dari dalam tas. Acak, kupilih salah satu, kubuka halaman demi halaman. Mencoba berpura-pura sibuk, tak menghiraukan apapun yang diucapkannya.

"Radega Ramadewa!" ia setengah berteriak.

"Arinda Anjani, aku nggak apa-apa. Aku baik-baik saja, begitu juga dengan buku ini, tasku, motorku di luar sana, dan..."

"Ya sudah, terserah kamu."
Anjani kemudian berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Iseng, kuperhatikan sekeliling. Benar saja. Semua mata lelaki kini memandangi dirinya. Bukan, Anjani bukan seorang yang suka memakai pakaian ketat dan mengekspos setiap bagian tubuhnya. Sejak SMA, Anjani memang cantik dan selalu menjadi idola setiap lelaki. Entah lelaki dari tim basket, dari tim futsal, anak band, murid olimpiade, maupun mahasiswa yang akan sidang skripsi, semua menyukainya. Namun ia tidak peduli dengan kecantikannya. Mungkin, ini pesona Anjani. Ia seakan matahari. Dan semua yang ada di sini, terpusat, berevolusi padanya. Tak terkecuali aku.

"Aku tahu kenapa." ujar Anjani sembari duduk.
"Baiklah, Nona. Aku kenapa?"
Anjani tersenyum, lalu menyeruput kopinya.
"Jadi, hari ini kamu bangun dengan mood jelek. Kemudian, sepertinya sore ini kamu sudah punya acara yang cukup penting. Sayangnya, aku tiba-tiba menelpon dan memintamu ke sini, padahal di luar sana hujan ditambah kamu nggak nyaman dengan suasana yang ramai ini. Betul?"
Aku menjitak kepalanya pelan. Anjani memang luar biasa dalam membuat hipotesis dan menebak perasaan orang. Tapi ia juga tidak kalah luar biasa dalam hal sok tahu.
"Salah." jawabku terbahak.
"Oke, aku nyerah. Kamu itu susah ditebak. Kita udah berteman lima tahun tapi tetep aja aku nggak bisa menerka-nerka apa yang ada di sini." ujarnya sambil menunjuk dadaku. "Mungkin hati kamu itu kotak baja berlapis-lapis. Nggak bisa ditembus kecuali sama kamu sendiri."
"Bukan berlapis-lapis, cuma aku lebih suka tertutup seperti ini. Aku ingin tahu, siapa saja yang berusaha membuka kotak itu dan melihat apa yang ada di dalamnya."
"Selalu sama. Menunggu, menunggu, menunggu. Kamu mau menunggu sampai kapan? Kamu nggak merasa lelah dengan kesendirian?"
"Nggak apa-apa. Setidaknya, aku bukan tipe orang terbuka, yang selalu memberi kesempatan pada setiap orang untuk masuk dan keluar dalam hidup kita seenaknya."
Posisi duduk Anjani langsung menegak. "Kita ini dua orang yang beranjak dewasa. Sudah seharusnya kita mencoba-coba dan mengambil resiko untuk pilihan yang kita ambil. Jatuh cinta, sakit hati, lalu jatuh cinta lagi. Apa salahnya? Semua yang ada di dunia ini awalnya dari coba-coba, De. Kita nggak akan tahu ada apa di depan sana kalau kita nggak melangkah."
Lidahku gatal ingin membantahnya. Tapi kutahan. Kita berdua tahu pembahasan ini tidak ada ujungnya.

"Coklatnya enak." celetukku mencairkan suasana.
Ia mengangguk lemah.
Beberapa menit kemudian, kami sibuk dengan kegiatan kami sendiri-sendiri. Ia tampak asyik menekan-nekan tombol di handphone. Sementara aku menikmati kembali coklat yang kini mendingin. Pahit.

"Rade, kamu, kenapa suka coklat?" tanyanya memecah kebisuan.
"Hidup itu pahit. Coklat itu penetralnya. Sesap hangatnya, tentu bisa menjadikannya manis."
"Kamu selalu melihat hidup dari sisi buruknya."
"Dan kamu selalu melihat hidup dari sisi baiknya, Ni. Kamu memilih kopi. Bagimu, kopi adalah tamparan keras untuk hidupmu. Pahit kopi menyadarkanmu dari kosong setiap kali kamu jatuh cinta. Dalam hati, kamu nyaman dengan kesedihan. Dan kopi, menggantikan rasa sedih yang seharusnya ada."

Kami berdua terdiam. Beberapa orang melirik penasaran ke meja kami. Seperti lubang hitam, dalam sekejap kata-kataku menghisap atmosfer bahagia di ruangan ini.

Anjani meletakkan handphonenya. "Rade, lelaki ini akan datang 10 menit lagi."
"Oh, yang kau ceritakan tadi? Siapa namanya?"
"Darma..." bisiknya pelan, "aku sudah memaafkannya."

Tiba-tiba ada rasa muak yang entah datangnya dari mana.
"Memaafkan? Ni, siang tadi laki-laki ini ketahuan mencumbu perempuan lain yang bahkan kamu nggak tahu siapa, dan kamu secepat itu memaafkan?" Kusesap coklatku sampai habis sebelum meneruskan kalimatku. "Harus butuh berapa kali lagi laki-laki ini membuatmu menangis? Harus berapa lama lagi kamu berpura-pura kuat? Yang kamu butuhin itu bahagia yang nyata, Ni. Bukan perasaan sesaat ataupun cinta karena penasaran."

Anjani menatapku tajam. "Rade, apapun keputusanku, aku yang akan bertanggung jawab. Hatiku, ya hatiku. Kepada siapa aku jatuh cinta itu urusanku. Ini bukan perasaan sesaat, aku sayang dia."

"Tapi kamu nggak bahagia!"

Kugenggam erat cangkirku. Aku merasa sesuatu di kepalaku akan tumpah sebentar lagi. "Kamu selalu begitu, selalu jatuh cinta dengan orang yang salah. Kamu selalu membuka pintu bagi mereka yang kamu sayangi, bukan bagi mereka yang sayang kepadamu. Tanpa kamu tahu mereka yang kamu damba justru balik menginjak-injakmu."
Tak kusadari nadaku meninggi. Tapi, aku tidak peduli. Apapun akan kulakukan agar dia mengerti.

Seketika air menumpuk di pelupuknya. Terus membuncah, menetes satu demi satu, lalu akhirnya membanjir. "De... aku nggak bisa..." Anjani terbata. "Aku capek... setiap kesempatan dariku selalu dianggap lelucon oleh mereka... Tapi aku nggak bisa menghindar. Aku udah jatuh, dalam banget... Dan buat manjat ke atas udah terlambat. Kali ini, I guess he's the right one..."

Aku tergelak. Lima tahun berteman, dan hari ini, Arinda Anjani, seorang perempuan yang kukenal cerdas dan pandai berargumen, berpikir irrasional. Gila. Cinta sanggup membuat orang menjadi gila, gila sekali. Cinta merusak sistem bernama logika, memutus setiap kabel, dan menggantinya dengan imaji maya berbentuk siapapun dia yang kita puja.

Aku menarik nafas panjang. "Anjani, aku lelah. Aku lelah menjadi tempat sampahmu, menampung semua keluh kesahmu. Aku lelah untuk harus selalu mengingatkanmu. Aku bukan kopi pahit yang setiap saat ada untuk menamparmu. Kamu seharusnya bahagia. Kamu seharusnya memilih siapa yang membuatmu bahagia. Karena... Ah, sudahlah." Kuambil tasku dan bergegas menuju pintu keluar. "Bye, Ni."

Di tengah deras, aku mematung. Sepersekian detik, aku bisa melihatnya memandangku sendu, seakan memintaku untuk tetap tinggal. Tubuhku terasa robek menjadi dua. Sebagian diriku ingin kembali, mendekapnya, mengecup keningnya, dan mengatakan "Tenang, di sini, kamu aman". Sebagian lainnya memilih menyerah dan pergi membiarkannya terisak.
Namun pilihan apa pun, sepertinya akan sia-sia saja.

***

Kulajukan motorku menembus hujan. Sepi. Hanya ada aku dan lampu kota yang menerangi jalanan. Aku terus melaju. Ada satu hal yang kutahu. Aku tidak lagi menoleh ke belakang. Meski seharusnya aku menyesal. Meski seharusnya ada kalimat yang terucap.

"Aku menyayangimu"

Aku terhenyak. Tidak, tidak seharusnya kupikirkan lagi. Anjani sudah jatuh cinta dengan lelaki ini. Anjani sudah jatuh cinta dengan ilusi yang ia buat sendiri. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Lima tahun hanya menjadi saksi hidupnya ternyata tidak membuatku jera. Aku mencintainya dalam bayang-bayang bernama sahabat. Dan itu tidak pernah cukup. Aku ingin lebih. Aku ingin Anjani. Sudah seharusnya dia bertemu dengan seseorang yang tepat. Sudah seharusnya air mata jatuh untuk mensyukuri kebahagiaan, bukan lagi kepedihan. Sudah seharusnya ia bersamaku. Tapi selalu saja aku berhenti di rasa. Semua itu tidak pernah kuungkap.
Kini, berharap menjadi kesibukan yang senantiasa kulakukan. Berharap ia berhenti berjalan sendirian, berharap ia tidak lagi menatap ke atas, berharap ia menoleh ke samping dan menyadari keberadaanku. Dan aku hanya bisa berharap.

Aku tersenyum kecut.
Entah sekarang siapa yang lebih bodoh.

Yang satu mengejar apa yang tak bisa ia gapai, yang satu menunggu apa yang tak akan hadir.

Kuhentikan motorku di pinggir jalan. Kunyalakan sebatang rokok dan kuhisap dalam-dalam. Kucoba menikmati apa yang ada. Rintik hujan, bias senja, apapun itu. Kuhembuskan perlahan. Bersamaan dengan asap yang memudar, aku mengerti.
Cinta ini, sudah terlalu tua.