Friday, June 21, 2013

Beberapa Hal Yang Seharusnya Kuucapkan Sebelum Kau Pergi.


Hai.

Aku sedang menduga-duga. Saat ini kau mungkin sedang berlibur di pantai. Kau mungkin sedang bermain-main dengan pasir, menari bersama ombak, ataupun sekedar bersantai ditemani senja cakrawala. Kau tersenyum menikmati itu semua. Kau tertawa saat burung-burung camar datang ribut menyapamu. Kau seakan senang setiap kali angin pantai merusak sisiran rambutmu. Di setiap kali kau merasa lelah, sebatang pohon kelapa tua mempersilakan kau menyandarkan punggung di batangnya yang renta.
Karenanya, aku tidak perlu menanyakan kabarmu. Apapun itu, kau pasti bahagia. Kau harus, dan semestinya bahagia.

Aku? Aku baik-baik saja.
Aku masih menulis. Cerita pendek, cerita bersambung, cerita apapun selama aku sanggup menumpahkan emosi di dalamnya. Aku ingat, kau sering menertawakannya. Kau bilang tulisanku terlalu klise, terlalu melankolis. Lalu aku ikut tertawa. Tulisanku ialah separuh jiwaku, sanggahku. Fiksi ialah realita yang kudamba, dan setiap karakter yang kutulis ialah ekspresi dari perjalanan yang kulalui. Cinta, persahabatan, spiritual, dan sebagainya. Tetapi kau tetap tertawa. Kau tetap menganggap semua tulisanku terlalu klise, terlalu melankolis.

Mungkin kau tak pernah tahu. Dengan pena, aku mencoba menuliskan setiap detil kebahagiaan yang kugenggam. Aku mencoba mengungkapkan perasaanku dalam bentuk kalimat-kalimat yang tersusun menjadi paragraf bermakna. Harapanku, agar kelak kau membacanya. Agar kelak kau mampu memahami bahwa kebahagiaanku pernah nyata. Kau, wujud kebahagiaan itu.

Sebelumnya, maaf telah menulis surat ini. Aku tidak bermaksud mengganggu kebahagiaan yang sudah kau punya. Sungguh, aku bahagia melihatmu tersenyum, meski bukan karenaku lagi. Namun, ada beberapa hal yang mengganjal di kepalaku. Ya, ada beberapa hal yang seharusnya kuucapkan sebelum kau pergi.

Maaf jika aku tak pernah mengajakmu ke pantai. Aku tahu kau begitu menyukai laut, angin, senja. Kau bahkan seringkali memaksa untuk sekedar menemani. Tetapi aku tak pernah mau mengantarmu ke sana.

Maaf jika aku tak pernah memelukmu dari belakang. Tak pernah mengecup keningmu. Tak pernah mengajakmu berjalan-jalan menikmati sore. Tak pernah membuatkanmu lagu atau sekedar berdansa bersama. Tak pernah membuatkanmu kejutan di hari jadi kita yang pertama.
Maaf jika aku tak pernah menyayangimu dengan cara yang kau mau.

Di tiap senyummu, selalu ada air mata yang terus jatuh. Kau bahagia, namun kau tersiksa. Aku rasa aku hanyalah seorang yang ahli mengukir luka. Aku tak pandai membuatmu tertawa atau bahkan untuk sekedar tersenyum.
Maaf jika aku telah menyia-nyiakanmu.

Penyesalan selalu datang belakangan. Di saat merasa senang, kau justru merasa cepat bosan. Dan di saat kehilangan, kau justru mengejarnya, berharap bisa bersama-sama lagi.
Tapi itu sudah tak penting lagi. Waktu telah merenggut semuanya. Aku, kamu, kita hanyalah kepingan masa lalu. Mencoba bangkit, melangkah perlahan di atas pecahan-pecahan asa yang telah kandas.

Kau ingat? Aku pernah menulis sebuah cerita tentang seorang musafir yang menemukan arti rumah. Ia memang tidak kembali ke kampung halamannya, tetapi ia menemukan sesuatu lebih. Ia berdamai dengan hatinya. Ia kembali menemukan kebahagiaan dengan mengikhlaskan apa yang telah direnggut darinya.

Mungkin ini yang terbaik.
Kita ialah cinta yang saling benci. Dengan seenaknya kita mengobarkan kasih tanpa tahu kapan harus berhenti. Kita meledak-ledakkan emosi hanya untuk memuaskan ego sesaat. Dan yang tersisa dari kita hanyalah abu, menanti untuk dibuang.

Aku berdoa.
Semoga setelah ini kita akan benar-benar pulang ke rumah masing-masing.
Aku dengan kebahagiaanku. Kamu dengan kebahagiaanmu.
Tidak akan ada lagi tangis, tidak akan ada lagi perih di hati.

Terima kasih telah menerimaku
Terima kasih telah menyayangiku.


Terima kasih.


Selamat tinggal.