Thursday, August 1, 2013

Pintu Kaca


            Aku tahu, ada sesuatu yang menunggu di balik pintu kaca itu. Dunia yang terang dan luas, seperti yang dikatakan para musafir. Mereka bilang, aku bisa belajar tentang hidup di luar sana. Tawa dan tangis, gembira dan sedih. Semua yang ingin kutahu ada di balik pintu kaca itu.
            Perlahan, kuturun dari kasur. Kulangkahkan kaki menuju pintu kaca. Jantungku berdegub. Inilah saatnya melihat dunia luar, batinku. Kusibakkan gorden pintu. Dan seketika mataku berbinar. Jadi... ini dunia luar... Kulihat anak-anak kecil berlarian sambil membawa bola. Dari belakang, seorang wanita tergesa-gesa mengejar mereka. Sepertinya itu ibu mereka. Di tengah taman, sebuah keluarga sedang mengadakan piknik. Mereka semua terlihat akrab dan bahagia. Lalu di sudut taman, tampak sepasang kakek-nenek sedang berjalan-jalan sore. Si kakek menggenggam tangan si nenek. Keduanya tersenyum satu sama lain. Romantis.
Samar, cahaya matahari menembus pintu kaca. Ia lembut dan hangat. Seolah mengajakku keluar dari ruang sempit yang terus mengurungku.
            Ya, aku ingin! seruku.
            Dengan terburu-buru, aku membuka pintu itu. Terkunci.
Segera kukeluarkan kunci dari dalam saku. Kucoba sekali lagi membukanya. Tak bisa.
Aku mulai panik. Dengan sekuat tenaga aku menendangnya, memukulnya, mendobraknya. Masih tak bisa.
Kenapa? Kenapa?! Kutabrakkan diriku ke pintu kaca. Dan seketika, aku terpelanting ke lantai. Jatuh tersungkur. Kucoba untuk bangkit namun tak bisa. Tak ada tenaga lagi untukku mencoba.
Oh ya Tuhan... Kenapa... Air mata perlahan jatuh dari kedua mataku. Dalam hitungan detik aku menangis sejadi-jadinya. Kuteriakkan sumpah serapah dan segala makian yang entah kutujukan pada siapa. Aku terus menangis sampai tak ada lagi air mata yang lagi keluar. Aku tersungkur, lelah dan pasrah.
“Kau tak akan keluar... Karena apa? Karena kau takut hidup di luar sana...” bisik seseorang di telinga.
Aku tersontak kaget. Siapa itu?! Tunjukkan dirimu! Aku menoleh ke kanan dan kiri namun tidak menemukan siapapun.
“Aku? Aku adalah dirimu...” bisiknya lagi, “Kau takkan pernah bisa keluar. Karena kau takut. Kau takut akan pedih yang kelak mampir di tubuhmu. Kau takut akan sakit yang kelak mampir di hatimu. Dan kau... Kau terlalu pengecut untuk sekedar menjalani hidup. Hahaha... Hahahahaha...”
Perlahan bisikan itu menghilang. Begitu pula dengan suara di luar. Teriakkan anak-anak. Celotehan keluarga. Tawa kakek-nenek. Hening. Tak ada suara lagi yang aku dengar.
Kusenderkan tubuhkku pada dinding. Dalam diam, kucoba mencerna kata-katanya. Ia benar. Aku ingin pergi ke luar sana. Aku ingin berjalan, berlari, menikmati mentari dan apapun yang ada di luar sana. Namun jauh di dalam hati, aku sebenarnya tak mau.
Aku takut. Aku takut dengan cobaan. Aku takut dengan rintangan yang kelak menghadang. Aku takut dengan segala sakit dan perih yang pasti akan kurasa. Aku takut dengan apa yang mungkin terjadi di depan sana. Lagipula aku merasa nyaman di sini. Aku merasa bahagia meski hidupku dibatasi oleh ruangan 3x3 meter persegi. Aku merasa tak butuh sesuatu yang baru di hidupku.
Mungkin ini yang terbaik untukku. Mungkin ini yang seharusnya aku jalani.
Hidupku, memang di sini.

***

Senja berganti menjadi malam. Cahaya bulan menembus pintu kaca itu. Cantik, juga indah. Kuintip dunia luar. Sepasang kekasih tengah berjalan-jalan menikmati malam. Sejenak si lelaki memeluk pasangannya erat. Mereka saling berpandangan. Dan entah siapa yang memulai, mereka berciuman.
Aku tersenyum kecil. Kulangkahkan kaki ke tempat tidur. Kurebahkan tubuhku lalu memejam. Aku berdoa, supaya aku bisa tertidur dan bermimpi. Karena aku hanya bisa bermimpi. Tanpa pernah tahu, apa itu hidup.