Tuesday, December 23, 2014

Surat Cinta

Untuk perempuan yang telah menghabiskan waktu bersama, terimakasih.

***

“Surat Cinta”

 

            Kau tahu? Ini surat pertamaku setelah hampir dua tahun aku tak lagi menulis surat. Mengagetkan melihat penaku yang kini tumpul tetapi masih bisa menuliskan sesuatu abstrak yang mereka sebut itu cinta. Aku rasa tak semua orang berubah seperti yang mereka kira. Setiap peristiwa akan menempa ruh yang mengisi setiap relung tubuh.
Pukul 11.11 tepat saat aku menuliskan kalimat ini. Mungkin hanya kau dan aku yang bisa memahami. Satu sama lain. Untuk setiap canda yang tak juga menua, untuk setiap rahasia yang kita sembunyikan dari dunia.
            “Dunia. Untuk apa takut kepada dunia? Sekarang atau tidak sama sekali. Cinta tidak akan menanti,” janjiku meyakinkanmu dulu. Dua kali. Dan dua kali pula kau tak mengizinkan aku masuk ke duniamu, sekadar menyusuri isi pikiran serta berkunjung ke sudut-sudut kecil di ruang hatimu.

Apa yang kau pikirkan? Bagaimana perasaanmu? Apa kau memikirkan aku juga?

            “Akhir ialah apa yang telah menanti,” tegasmu meruntuhkan seluruh mimpiku. Mimpi yang kubangun dengan namamu berada di pusatnya.
            Namun, sebelum mimpi itu betul-betul mati, aku berjuang sekali lagi. Berteriak lebih keras lagi. Lagi, dan lagi. Agar suaraku sanggup mencapaimu, membangunkanmu dari tidur panjang bernama kesendirian.
Detik sebelum pita suaraku betul-betul robek, kau terbangun. Kau mendengar dan menerima aku. Kau memberi kesempatan bagi ‘kita’ untuk ada. Sekali lagi, kau membuatku bermimpi. Cinta ialah penawar bagi pahitnya realitas.
            “Sekarang adalah sekarang. Nanti adalah nanti. Lalu, kebahagiaan adalah apa yang ada sekarang, bukan?” ucap kita bersamaan sembari tertawa.
           
            Malaikat,
L’amour est la poésie des sens.

Kau ialah hangat yang pernah mampir di setiap cangkir.
Kau ialah bahagia yang mampu membuat air mata tertawa.
Kau ialah segala baik yang pernah aku alami.

Namun, seperti kisah dongeng yang lain, kita tidak akan pernah memiliki selamanya. Kau bukanlah putri yang sanggup mengangkat kutukanku dan aku bukan pangeran yang sanggup membuatmu tetap terjaga. Waktu itu telah habis. Menjadi labu dan tikus, kita kembali.
Kini aku menemukan bayangmu dalam tiap langkahku. Hantu di setiap sudut hati yang telah mati; memori.

Lucunya, aku menulis kata demi kata sambil membayangkan kau dan aku tengah berdiri bersama. Teman-temanmu serta teman-temanku akan datang. Mereka akan menyantap makanan yang sudah disediakan sembari melontarkan gurauan-gurauan yang memutar kembali ingatan. Lalu, mereka akan mendatangi kita, tersenyum bangga. “Selamat,” ucap mereka tulus sebelum beranjak pergi.

Mungkin mimpi ialah bara api, mewujud pada setiap baris yang menjadikanmu abadi.

Sudah pukul satu pagi, dan surat ini akan berakhir sebentar lagi.
Aku ingin mengakhirinya seperti apa yang sudah seharusnya.

Untuk setiap luka yang kita toreh satu sama lain, untuk setiap beban yang aku tumpahkan padamu, aku meminta maaf.
Aku bersyukur, kau lah orang yang pernah bersamaku.
Tidak dia. Tidak imaji terbaikmu dalam anganku. Tidak yang lain.
Kau, utuh, nyata, apa adanya.
Kau dan aku tumbuh bersama hingga kita menjadi seperti sekarang ini. Berdiri dengan kaki sendiri-sendiri, bahagia dengan kebahagiaan masing-masing.
Pada setiap detik yang terus berdetak, aku akan selalu mendoakanmu.
Kau adalah sahabatku hingga akhir.

Kita adalah salah satu semoga yang tak diizinkan Semesta.

Kelak saat aku menutup mata, aku akan menjadi salah seorang temanmu yang hadir. Menyantap makanan yang sudah disediakan dan menanti giliran untuk mengambil gambar bersama. Seperti apa yang sudah seharusnya.

***

            Diletakkannya pulpen yang sedari tadi dipakainya menulis. Dibacanya kata demi kata yang telah disusunnya rapi. Dimasukkannya surat itu dalam amplop kecil yang telah dia siapkan. “Selesai sudah,” lega perempuan itu. Dia berdiri seraya mengendurkan otot-ototnya. Sejurus kemudian, tatapannya diarahkan pada sesuatu yang menarik perhatiannya, tubuh seorang laki-laki yang tengah menggantung. Kedua mata itu saling bertemu. Kosong yang sama. Dingin yang serupa.
            “Persiapan yang lain sudah beres. Kamu sudah selesai, Lana?” seorang lelaki lain masuk dari pintu belakang. Tanpa menghiraukan pertanyaan lelaki itu, perempuan bernama Lana itu mengamati seksama tempat dia berdiri. Buku-buku yang tertata baik di rak, Tender Is The Night karya F. Scott Fitzgerald yang terbuka tak terbaca, mesin tik yang berdebu, sebuah foto pemuda dan pemudi tersenyum bahagia yang terbingkai cantik, sepucuk surat, kursi yang terjatuh, dan seutas tali yang menjerat erat leher tubuh yang tak lagi bernapas.
Lelaki lain itu menatap lama Lana. “Aku tak menyangka kau tega melakukan ini kepada mantan kekasihmu sendiri.”
            “Aku sudah menceritakan alasannya, bukan?” Lana menatap tajam lawan bicarannya. “Bukunya tak laku di pasaran sementara ia terjerat utang. Ia datang kepadaku memohon agar aku mau meminjamkan uang dan betul aku pinjamkan karena aku menyayanginya, tetapi...,” dia menyentuh jasad itu, “Semakin lama ia semakin tamak. Ia terobsesi dengan apa yang ada di dunia, bukan apa yang membentuk dunia. Bahkan ia mengancam akan menyebarkan foto dan video amoral yang aku dan dia pernah rekam dulu demi benda yang sifatnya sementara belaka.”
Dahi lelaki itu berkerut mendengarnya. “Tetapi, pembunuhan?”
            Lana menggeleng.
            “Bunuh diri, Sayang. Ia sungguh mencintai aku dan tak sanggup melihat mantan kekasihnya ini menikah dengan lelaki lain, kamu.”
            Dengan anggun, Lana berjalan mengitari tubuh itu. “Semua sudah aku kalkulasikan secara matang. Jadwal ia berada di rumah untuk menulis. Pukul berapa jalanan di sekitar rumahnya mulai sepi. Duplikat kunci rumahnya. Gloves dan sarung kaki agar sidik jari kita tak terdeteksi. Bekas luka di tangannya beserta silet dengan percikan darah untuk memperkuat dugaan bunuh diri. Lalu yang paling penting, aku ahli dalam meniru tulisannya.”
Berjalan mendekat, bibir menggoda Lana ditempelkannya ke telinga tunangannya. “Dan terimakasih untukmu yang berprofesi sebagai dokter, aku bisa memberi dosis Diazepam yang tepat untuk membuatnya tertidur tanpa bisa terdeteksi di plasma,” bisik perempuan itu sambil menjilat telinga pelan.
            Raut muka lelaki itu berubah serius. Didorongnya bahu Lana menjauh. “Aku tahu rencanamu sangat sempurna. Kau dan aku memang sudah setuju melakukannya dan kita sukses melakukannya. Mungkin polisi akan datang ke rumahmu untuk menanyakan beberapa hal meski mereka tak akan mencurigaimu. Hanya sa...,” Sebelum lelaki itu sempat menyelesaikan kalimatnya, lidahnya telah beradu dengan milik Lana. Begitu panas, begitu puas. Seolah, Lana masih ingin memberikan hukuman terakhir bagi mantan kekasihnya. Percumbuan yang disaksikan oleh raga yang tak bernyawa. Mata hampa yang Maha melihat.
“Sayang...”, Lana menyentuh bibir lelaki itu, “kau masih saja menganggap tindakan kita lebih amoralnya? Aku tak menyalahkanmu untuk berpikir demikian.”
Mencekam. Sentuhan lembut jemari itu membangkitkan ketakutan amat sangat dalam diri lelaki itu. Seakan, jemari itu tak segan untuk mencekik lehernya hingga napas yang ia tarik bak pisau yang menghujam dadanya berulang.
“Surga... Neraka... adalah istilah yang diciptakan manusia dengan tujuan untuk mengklarifikasi tindakan seseorang pada seorang yang lain. Jika kau baik terhadap sesama kau mendapat anugrah, jika kau jahat terhadap sesama kau akan dihukum. Tetapi, hidup adalah paradoks. Seluruh zat yang merumuskan hidup takkan mengalir sesuai pun semurni teorinya. Bagaimana kau menjelaskan para pemerkosa masih terbebas di luar sana sedangkan orang baik yang ingin membantu sahabatnya justru terkhianati pun tertindas hidupnya? Takdir? Jawaban terbodoh yang pernah aku dengar. Istilah-istilah itu fana, Sayang.”
Lana menghembuskan napas. “Kita adalah cendekiawan. Tak seharusnya kita percaya hal tanpa pondasi rasional seperti doa dan dosa. Kalau pun kita harus mempercayainya, aku di sini hanya berbuat kebaikan. Aku menyayangi mantan kekasihku. Aku membebaskannya dari realitas yang membelenggu sukmanya.”
“Kita memang bukan makhluk yang sempurna, fakta itu jelas tercetak di setiap kromosom manusia. Tugas kita yang sekadar berkunjung sejenak ini adalah mencari jawaban untuk segala pertanyaan yang kita jumpai. Aku tak bisa melakukannya sendiri, maka dari itu aku mempercayai kamu, Sayang. Jika kau mulai meragukan aku, bahkan kita... aku tak segan untuk menghukummu juga,” tutup Lana seraya memeluk tunangannya.
Lelaki itu menelan ludah. Ia sadar, ia tidak sedang berhadapan dengan perempuan biasa.

“Ah, sebentar,” dengan cepat, Lana mengeluarkan surat itu lalu kembali menulis beberapa kata.
Untuk tak pernah dilahirkan, mungkin adalah anugrah terindah.
Lelaki itu membaca sekilas. “Sophocles?”
“Inilah alasan mengapa aku lebih memilih kamu daripada orang yang mengaku-ngaku sebagai penulis tapi tak mengerti apa-apa ini,” tawa Lana.

Dikaitkan lengan Lana ke lengan tunangannya. “Lagipula, jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri, bukan?”

Keduanya melangkah keluar, menembus malam yang dinginnya menusuk tulang.
Tak sepatah kata terucap dari bibir sang pembunuh dan si terbunuh.
Tragedi yang berakhir dengan tragedi.

Dan Lana, tersenyum manis.

***

Sunday, July 27, 2014

Fantaisie-Impromptu

Once again to you, Min
Happy birthday

***

“Fantaisie-Impromptu”


Juni 2013 di musim panas. Bukan musim kemarau, melainkan musim panas. Senja berkanvaskan cakrawala. Hapuslah ia oleh bayang hitam langit yang tetap suci. Konstelasi bintang bak lautan permata yang menghiasi angkasa tanpa batas. Dekorasi agung tak ternilai. Inikah keindahan? Inikah kenyataan? Tak ada yang membatasi realitas ketika musim panas tiba. Ya, bukan musim kemarau, melainkan musim panas—dengan segala mimpi dan fantasi liar yang menjadi alkohol bagi mereka yang ingin mabuk.
Aku ingin mabuk. Bila cinta bisa membuat seseorang menjadi mabuk aku ingin memesan ratusan gelasnya. Aku ingin mabuk dan tak bangun lagi. Aku ingin menari, segila-gilanya, selepas-lepasnya, bersama puisi tak beraga dan jiwa-jiwa pemenang. Aku ingin bebas. Bisakah hidup berwarnakan merah, kuning, hijau bukan hitam dan putih? Ramai nan elok. Mimpi para harimau-harimau muda yang berani menantang dunia. Naif dengan mata yang berapi-api dan mulut yang meneriakkan janji-janji konyol tak berisi. Tetapi bukankah semua orang berjanji? Bukankah lalu semua orang tak menepati? Malu lah sang harimau renta yang tak sanggup berlari lagi. Gigi yang patah serta semangat yang koyak.

Aku tak ingin tua.
Aku ingin bercinta.

***
           
Kualihkan pandanganku ke penanda jalan. Klaten, jalan terus. Berarti masih ada satu jam lagi sebelum tepat mencapai Yogyakarta. Setiap hal sudah dianalisis dengan baik. Berangkat dari Solo pukul lima sore, sampai Yogyakarta pukul tujuh malam. Mengisi perut terlebih dahulu dengan satu porsi nasi goreng kambing. Menikmati teh hangat di salah satu kafe terkenal di Solo. Berangkat sebelum malam terlalu larut untuk diarungi.
“Semua baik-baik saja kan, Nat?”
Aku mengangguk lemah.
“Kemungkinan kita akan sampai di hotelmu pukul tujuh atau tujuh lebih. Tidak apa-apa?”
Dia tak menjawabku dengan segera. Kedua matanya menatapku, hati-hati. Seolah dia sedang memperhatikan seksama sebuah lukisan zaman Renaissance. Bersama goresan indah nan bertalenta milik Michelangelo, Donatello, atau mungkin Da Vinci—maestro sejati akan cinta, jiwanya melebur.
“Okay. Kalau begitu, aku istirahat sebentar,” jawabnya sembari menidurkan kursi mobil.
Kueratkan genggamanku pada setir mobil. Kufokuskan kembali pikiranku menyusuri jalanan yang merentang. Kelam, tak berujung. Namun, tak ada ketakutan satu pun yang menguasai hati. Ada cahaya yang menjamahku, memandu aku. Ia akan mengantarkan kami selamat sampai tujuan. Setidaknya, begitu harapku.
Aku menoleh ke arahnya.
“Mungkin...”

***

Malam sudah terlahir sempurna. Inkarnasi dari segala wujud harap yang berdoa untuk kebahagiaan esok hari. Namun, betulkah bahagia itu sudah dijanjikan? Serta merta disajikan cuma-cuma selayaknya hadiah ulang tahun? Tidak ada yang mampu memberikan jawaban yang benar. Tidak cendekiawan, tidak pujangga. Memuaskan bisa, tetapi benar? Apa arti benar dan salah jika nilai dari kebenaran dan kesalahan ialah subjektivitas? Karena justru pertanyaan lah yang sekali lagi tercipta dari pikiran yang tak sanggup beristirahat.
Tetapi untuk apa beristirahat jika diperbolehkan untuk menari tak henti-hentinya dan berpesta sepuas-puasnya? Ini musim panas. Isi cawanmu dengan anggur lalu menggilalah! Cumbulah! Tukarlah desah dan peluh dengan kekasihmu atau bukan kekasihmu! Hidup adalah karnaval bagi mereka yang mensyukurinya.
Aku mensyukuri hidup, dengan segala kelebihan serta kekurangannya. Mengapa aku tak menari, tanyamu? Aku akan menari, tentu. Hanya saja, biarkan aku menikmati tontonan akan punahnya kebajikan dan kendali diri. Sebuah kepuasan tertentu bagi mereka yang bangga mendefinisikan dirinya sebagai si pengamat hidup. Atau menurut mereka yang sudah lebih dulu berada di atas panggung, si penakut.
Tetapi sebuah pikiran melintas di kepalaku. Hidup hanya hadir satu kali.
Maka segera ku beranjak dari dudukku. Berlari, bergabung bersama ramai sorak sorai para sahabat yang menggema membahana. Aku tak membuang-buang waktu. Kuambil, kutenggak gelas pertama. Lalu kutenggak gelas kedua, gelas ketiga, gelas keempat, gelas kelima, gelas keenam. Lagi, lagi, dan lagi; hingga tak mampu lagi mulut dijejali dosa.
Mabuklah aku saat tengah malam tiba. Meneteskan air liur, bersiap menjamah berhala dunia. Harta, tahta, wanita.
“Tujuh hari tujuh malam kita akan berpesta! Kita akan minum! Kita akan berdansa! Kita akan bercinta!” teriak sang Tuan Rumah.
Lalu mengalirlah lebih banyak lagi gelas-gelas maksiat. Lebih banyak lagi warna yang kehilangan makna. Lebih banyak lagi cinta.
Aku ingin bercinta. Aku ingin bercinta tujuh hari tujuh malam. Aku ingin bercinta hingga cinta mencintai aku. Bukankah seluruh manusia berkeinginan mampu mencintai dan mampu dicintai? Apa yang salah? Apa yang tak benar dari menjadi bagian dari perayaan cinta? Karena cinta ialah keabadian murni tanpa ada yang sanggup membunuh cinta selain cinta itu sendiri.
Limbung, aku melangkah. Dengan bibir untuk menelanjangi dan mata untuk mendesah, aku mencari-mencari. Mencari cinta.
Dan bertemulah aku dengan seorang anak perempuan. Putih, polos. Dengan bibir untuk menelanjangi dan mata untuk mendesah. Serupa.
Dia pun tengah mabuk.
“Lihat degradasi moral yang terjadi di sekitar kita! Pembunuhan yang dijustifikasi sebagai tindakan yang diperlukan. Perampasan hak tanpa ada penegakan hukum. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Gila, ini gila!”
Kau juga demikian.
“Kau tahu siapa yang selalu bermimpi akan kepuasan fana? Hewan berjubah manusia. Mereka semua, mereka!”
Kau juga demikian.
“Apa yang akan dikatakan Freud bila melihat semua ini? Apakah manusia ideal sejujurnya tak lebih dari pemimpi ulung tanpa harapan? Inikah akhir yang tak sempurna dari ciptaan Sang Maha Sempurna?”
Kau juga demikian.
Pekik dan tawa memenuhi ruangan. Tidak hanya dia, tetapi juga semua orang. Semua orang tertawa, menertawakan. Aku, tak terkecuali. Entah apa yang ditertawakan. Tidak ada yang salah kostum dalam perjamuan tanpa pakaian. Tidak ada yang dengan serta-merta rela menjadi budak untuk dimaki-maki. Aku menyisir pandanganku ke sekeliling. Dosa yang tak henti-hentinya mengalir, pemuda-pemudi yang belum puas berburu kebenaran, dan sang rembulan yang begitu kalem menyaksikan. Tidak, tidak ada yang lucu.
Kini, mataku menemukan matanya. Bibirku menemukan bibirnya. Berpagutan, bercumbu dengan liarnya tanpa menanti aba-aba. Terus, terus, dan terus. Seakan ada haus yang minta dilegakan. Dan oase itu... matanya, bibirnya, telinganya, lehernya, pundaknya, dadanya, pinggangnya, jenjang kakinya—seluruhnya. Semakin aku mereguk surga, semakin aku kehausan. Kutengadahkan kepalaku menatap langit. Inikah cinta? Inikah kenyataan? Pesona bintang tak pernah sedekat ini. Bergelora, menggoda musafir yang tengah mempertanyakan jati diri.
Kualihkan pandanganku kepada dia. Tubuhnya meluruh, menyatu bersama tubuhku. Padu. Utuh. Wujud cinta sejati yang telah kembali terlahir.
Di sinilah aku, berada di dalam sekaligus di luar bingkai kehidupan. Aku bisa melihat diriku yang di dalam mencemooh aku yang tengah duduk sekadar mengamati kami para penantang dunia. Lalu, diriku yang di luar, menikmati kejenakaan yang dilakonkan para pemeran teatrikal absurditas.

Aku tak peduli.
Aku ingin bercinta. Aku ingin bercinta tujuh hari tujuh malam. Aku ingin bercinta hingga aku mewujud menjadi cinta.

***

Pukul 19.04. Di Klaten. Tak sesuai perkiraan. Jalanan tak terelakkan dari sesak kendaraan yang menuju Yogyakarta. Sebagian besar berplat nomor AB, AD, B, H. Entah untuk pulang atau membuka lembar baru. Tetapi apa arti rumah bila kelak dipersingkat waktu?
Sudah setengah jam mobil-mobil berhenti bergerak. Ular-ularan panjang. Alur-aluran bercabang. Menunggu maju, membuat perbedaan. Se senti yang menjadi harapan.
Aku terhisap oleh pemandangan di luar jendela. Gemerlap lampu kota begitu memanjakan mata. Elegan, berlian kota di tengah gelap. Kulihat satu dua warung kaki lima mulai ramai disesaki orang-orang yang sudah lelah bekerja sejak pagi hingga ia ditutup tirai sang malam. Bagiku, bagaimana sebuah tempat mampu menyatukan orang dari berbagai strata, berbagai kalangan, dan berbagai latar belakang menjadi seragam, bersama-sama mengeluh dan melupakan hidup begitu menarik. Bersantai yang pura-pura—tak lebih dari persiapan untuk larut dalam putih-hitam yang sama di esok hari. Monotonitas kehidupan. Mungkin bias cahaya kendaraan dari arah berlawanan mampu mendengar mereka. Jemari mungil yang berani menggapai malam. Bintang yang jatuh. Seandainya ia bisa mengabulkan permohonan.
“Sudah sampai mana?” celetukan seraknya mengagetkanku.
“Kebangun? Masih di Klaten. Macet.”
Dia mengusap kedua matanya. Perlahan, dia menyisir pandangannya ke sekitar.
“Oh, iya... Air minum di ma—” sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, kusodorkan sebotol air minum kemasan yang ada di kursi belakang.
Diteguknya hingga tak menyisakan setetes air pun.
“Haus banget, nih. Maaf ya. Aku juga belum minum semenjak dari Warung Tiga Tjeret sore tadi. Biasa karena terburu-buru. Nanti kalau haus, kita mampir Indomaret atau toko yang paling dekat, ya? Tidak apa-apa, kan?”
Aku hanya mengangguk sekenanya. Jujur saja, aku tidak mendengarkan ucapannya. Sedari tadi aku lebih memperhatikan dia minum. Bibirnya yang basah, berkilau. Matanya memejam, menikmati setiap teguk yang menyejukkan kerongkongan. Pelan, lidahnya menjilat bibirnya seolah tak ingin kehilangan satu tetes pun. Potongan-potongan gambar yang bergerak dengan frame rate yang lebih lambat dari biasanya. Erotis.
Buru-buru aku kembali berkonsentrasi menyetir.
“Kalau macet seperti ini, kira-kira butuh berapa jam lagi ya sampai hotel?”
Aku menilik jam tangan. “Ya, kalau begini, sih, sepertinya agak lama. Sudah sebelas menit berlalu tapi belum ada tanda-tanda mobil bergerak atau macet berakhir. Ya, mungkin bakal ngaret sampai jam delapan lebih sedikit. Gimana?”
Dia terdiam agak lama. Matanya menerawang ke sisi jalan. Merenung, mencari sebuah jawaban yang menyelamatkan. Menyelamatkan? Pertanyaan untuk pernyataan. Sesuatu yang dimiliki oleh mereka yang sedari dulu hidup terprogram. Ketika A, maka B; ketika C, maka D; ketika E, maka F. Tak memiliki pilihan lain selalu mengikuti alur yang sudah digariskan. Bagi mereka, mengingkari pernyataan yang sudah diperintahkan sama saja menghancurkan diri sendiri. Lebih baik aman walau tak nyaman. Eksistensi dilematis.
“Dicurigain Mas pacar ya?”
Dia tergelak. Tetapi aku bisa melihatnya. Ada yang tak murni dari tawanya. Menertawakan derita. Getir.
“Maaf aku menculik kamu. Ketika aku mendengar kau sedang di Jogja, aku langsung segera ingin menemuimu. Aku butuh liburan dari semua kesibukan kuliah,” ada sedih yang meluap sebelum aku merampungkan kalimat, “I don’t think I can make it. Sesuatu yang tidak pernah kau inginkan tetapi harus kau lakukan. Kau tahu? Perbudakan. Dari jam tujuh pagi sampai pukul tujuh malam dari Senin sampai Jumat, belum ditambah tambahan praktikum dan laporan yang belum tuntas. Tiga bulan. Penat yang menyintingkan otak.”
“Aku tak masalah dengan segala kesibukannya yang menyita waktu tetapi ini semua tak pernah aku inginkan. Bukan jurusan yang aku mau, bukan mimpi yang ingin aku capai. Aku tak bisa melawan karena aku mencintai mereka yang mendorongku hingga saat ini. I hate this passive-aggressive thing.
“Tapi sekarang udah selesai, kan?” lembut dia menepuk pundakku.
Aku mengangguk. “Selesai sementara... Makanya, aku ingin rehat sejenak. Liburan,” ucapku dengan penekanan, “Engga perlu jauh-jauh, di Solo juga cukup.”
“Dan sudah kesampaian kan?”
“Ya, sudah...”
Ada damai yang menyelimuti hati. Setiap kata yang dia ucapkan menyentuh batinku lembut. Tak sanggup sutra berkualitas terbaik menandingi. Mungkin ini definisi kenyamanan sejati. Emas berkarat, pakaian model terkini, istana berfasilitas lengkap mungkin mampu diusahakan. Tetapi berbagi suka dan duka dengan satu orang yang bisa kau percaya? Ya, aku bersyukur. Memonetisasi hidup ialah dosa besar bagi seorang realis seperti aku. Apa adanya, adanya apa. Ya sudah. Terdengar klise, memang. Sayang, sesungguhnya kalimat itu kehilangan makna sejak manusia tidak lagi memaknai hidup. Apa yang menjadi masalah? Uang. Sumber masalah merangkap jawaban. Uang, uang, uang. Mandi untuk uang, makan untuk uang, menangis untuk uang, bercinta untuk uang—hidup untuk uang. Dewa Pluto di langit sana pasti sedang girang-girangnya.
“Tunggu dulu. Jadi, kesalmu ini semacam bentuk justifikasi untuk menganggu jadwalku dan membawa aku pergi ke Solo?” protesnya sembari mengernyitkan alis.
Mendadak tenggorokanku tercekat. Kuputar otakku cepat. Segala probabilitas harus dikalkulasi secara tepat. Resiko dan keuntungan harus ditimbang matang-matang. Respon logis yang tidak berbasis afeksi. Pembenaran yang tidak menyangkut-pautkan rasa. Murni dari sirkuit sel abu-abu. Salah sedikit saja bisa menciptakan deviasi yang melenceng jauh dari harapan. Cari jawaban, cari jawaban.
It sounds stupid, tapi aku kangen kamu.”
....
Sebentar.
....
Sebentar.
Sebentar.
Sebentar.
Apa.
Yang.
Baru.
Saja.
Aku.
Katakan?
“Tapi Bos, masa Anda mau membohongi nurani sendiri?” Ada yang berbicara. Aku bisa mendengarnya. Entah dari mana. Lebih pasnya, aku pura-pura tak tahu berasal dari mana. Gila. Susah-susah kukembangkan metode sistematis merasionalkan cinta, sekarang diambrukannya ia oleh sebuah aplikasi kejujuran. Logika macam apa yang didasari perasaan?
Tawanya yang meledak mengembalikan kesadaranku.
“Maksudku kangen sebagai sahabat,” potongku dengan suara bergetar. Segera kunyalakan ulang sirkuit sel abu-abu. Aku tak mau mempermalukan diriku lebih lanjut.
I know... You are my lovely best friend,” desisnya.
Aku berdehem. “Jadi, ada masalah sama Ruben?”
Raut mukanya kembali muram. Pertanyaanku seperti kunci yang tepat membuka ruang kepedihan yang bertahun-tahun dia kunci. Belum ada jawaban yang keluar dari bibirnya. Malah, dia menggumam tak jelas kemudian mengalihkan pandangan ke luar mobil. Sempat aku ingin tertawa melihat dramatisasi tindakannya, tetapi aku tahan.
“Akhir-akhir ini hidupku kurang berwarna,” dia menghela napas, “bahkan bukan hitam dan putih lagi, Nat. Cuman ada satu warna. Abu-abu.”
“Nata, aku bukan orang yang suka mencari kesuksesan dan kebahagiaan secara instan. Usaha adalah gravitasi yang menarik kilau-kilau itu ke bumi. Kini, mereka sudah di genggamanku. Kau tahu, karir yang terus naik, status sosial yang semakin disegani, kemudian pacar yang sukses dan...,” ada aksentuasi pada ucapan selanjutnya, “betul-betul baik.”
“Lalu kau tahu apa yang lucu? Aku merasa abu-abu. Aku sudah bekerja keras, jatuh bangun membangun masa depan, dan yang kudapat hanya sesuatu yang abu-abu.”
Dia menggigit bibirnya, “Aku belum ingin pulang...”
“Kemacetan ini mengabulkan doamu.”
Bukannya tertawa, dia malah menundukkan mukanya. Aku merasa bersalah.
“Anita...,” aku memanggil namanya, “Kamu lebih tua daripada aku. Kamu sudah dewasa, tentu lebih tahu apa yang terbaik buat kamu. Apa kesuksesan yang terwujud ini mau kamu buang begitu saja?”
“Tetapi, Nat,” dia menggeleng lunglai, “kalau aku tahu kesuksesan malah memprogramku menjadi robot, belum tentu aku memilih jalan ini.”
“Tidak pernah ada yang salah. Klien yang aku tangani selalu tak merepotkan, berbagai biaya dan akomodasi kerja sudah ditanggung oleh kantor. Ya, aku diberi supir dan mobil pribadi di Jakarta. Ketika sampai di apartemen, aku disambut dengan senyum hangat dan pijatan mesra Ruben...”
“Ruben betul-betul baik, Nat,” Anita melanjutkan, “Ruben selalu meluangkan waktunya menemaniku makan siang di sela-sela jam kantor. Dia jauh-jauh pulang dari business trip ­nya di Jepang untuk menjengukku ketika badanku drop bulan lalu. Dia mengirimi aku satu bouquet Camellia merah dan gaun setelah kami bertengkar... ya kami sempat bertengkar kecil tentang gaun apa yang sebaiknya aku pakai di acara ulang tahun ibunya minggu depan. Dan gaunnya, a sophisticated Versace cocktail dress. Nat, Ruben betul-betul romantis.”
Entah dari mana, namun ada emosi  yang tetiba hadir di benak mendengar penjelasannya. “Mengapa tidak jujur saja kepada Ruben? Dia kan anak dari bosmu sendiri. Lagipula dia yang juga membantu karirmu meningkat pesat,” suaraku meninggi.
“Tidak, Nat... Tidak bisa. I can’t hurt him. Maka dari itu pula aku meminta cuti. Di Jogja, aku bisa menjernihkan pikiran. Kota yang tak pernah bisa aku benci. Lagipula di Jogja ada kamu. I know you can help me.”

Jemarinya menggenggam tanganku.

Bisiki aku
Melalui celah-celah kelabu
Selimut bagi mimpi laksana hantu

Sementara aku makin salah tingkah. Dadaku berdebar hebat. Tak pernah kubayangkan sebuah sentuhan kecil mampu membuat sebuah organ menjadi lebih hidup dari yang seharusnya.

Biarlah kaki mungilnya menginjak Bumi
Jatuh menjadi jutaan engkau
Tetes yang menggoda

Genggamannya semakin erat. Entah apa yang sekarang Anita pikirkan. Keheningan ini begitu mengusik. Kami larut dalam imajinasi yang kami ciptakan sendiri.

Mengalir hingga ke sudut bibir sang perawan
Menghanyutkan rindu tak bertuan
Menyesatkan dahaga dalam cinta tak bermuara

Matanya menemukan mataku. Sayu yang merajuk, seolah memohon kepadaku untuk berhenti memastikan aktualitas momen yang terasa ilusif. Segala yang terjadi, biarlah terjadi. Dinding kokoh berpondasikan nilai-nilai moral serta intergritas sebuah individu ideal ambruk, tak sanggup lagi menjadi sekat di antara dua raga yang mulai gila. Spasi itu habis digerogoti gelora yang menyalak bagai percik bara yang tiada habis. Yang tersisa dari semua hanyalah sebuah kubus hitam kecil. Pandora’s box, episode terakhir sang nestapa.

Kau, ilusi
Fantasi dalam sebuah delusi

Di sinilah aku. Seinci dari Nirwana. Tak perlu sayap untuk menggapainya. Karena justru kenikmatan sejati telah diturunkan-Nya. Dalam wujud yang tak sekali pun manusia mengerti. Kita hanyalah fragmen kecil dari roh Agung yang tunggal. Terus berjalan, mencari untuk saling menemukan satu sama lain. Kurasa, aku dan dia telah saling menemukan. Dengan kecupan yang saling melengkapkan.


Izinkan aku memilikimu
Melucuti baju dan ragu yang tak perlu
Menelanjangimu dari segala malu
Menyentuh rasa
Meniadakan kata

Tak ada lagi mimpi, tak ada lagi realitas. Semua berfusi dalam sebuah momen percintaan abadi. Arus sang Waktu membeku kelu ditelan nafsu anak Adam. Dua manusia yang dibuang dari Eden, dijerembabkan ke tanah terjanji, dipekerjakan sebagai budak Eros. Namun, bukankah manusia ada dan tiada karena cinta? Aku sebagai hamba setianya, membutuhkan cinta. Bibir yang saling melumat, lidah yang saling menjilat, tangan yang saling meremas. Bercumbu dan berpagut tiada henti. Darah berdesir dari nadi hingga ke ujung jemari. Peluh mengalir dari dahi hingga ke sudut bibir. Air mata Lilith.

Dan oleh setiap detil yang kunikmati, dia membawa pikiranku mengawang kembali.

Jiwamu dan jiwaku
Dibalut dua tubuh yang berbeda
Namun berbagi bahasa yang serupa
Aksara cinta

“Kamu...” desahnya berat.
“Anita, apa daritadi kau menggodaku?”
Pertanyaanku tak diacuhkannya. Malahan, bibirku digigitnya sebelum kembali mencumbuku liar.
“Bawa aku, ke mana saja... Malam ini..,” bibirnya berbisik di telingaku, “Aku belum ingin pulang...”

Seperti mantra, kata-katanya menyihir hidup menjadi sinema hitam-putih yang berdenyut dalam sensualitas melodi saksofon Sidney Bechet. Tidak ada tokoh utama dalam stensil yang kami tulis sendiri. Aku, dia, kita, mereka, semua sama—tenggelam untuk saling mereguk kepuasan dan kehancuran dalam gairah tanpa batas. Abadi. Karena cinta ialah karya seni terbaik yang tak mampu ditebas detik.
Aku ingin hidup seribu tahun lagi.
Aku ingin bercinta dengan cinta.

***

Selesai sudah pesta tujuh hari tujuh malam. Gelaran fantasi liar di musim panas akan segera ditutup oleh sebuah pertanyaan tanpa jawaban.
“Apa yang menanti setelah mimpi berakhir?”
Mimpi merupakan materi esensial yang menyusun setiap jiwa. Ialah pusat kosmik kehidupan, kreasi yang mencambuk manusia untuk berjuang mempertahankan hidup. Karena hidup adalah manisfestasi mimpi. Dan mimpi takkan mati selama manusia mau berambisi.
Kau tahu, kenyataan itu menyesatkan. Tak ada yang resmi absolut di dunia yang serba bias. Ambiguitas lahir dalam intensitas tak terhingga. Miskonsepsi menjadi hal wajar di kalangan pandai maupun tak pandai. Titik bifurkasi tercipta dalam setiap momen—entah ia membawa order, entah ia membawa chaos.

Lalu, siapa yang mampu menyelamatkan?
Mimpi.

Mimpi menyediakan satu-satunya wadah untuk menjagamu tetap waras dalam kegilaan realitas. Ialah sang kejora, memandu langkahmu menuju keteraturan.
Namun, semesta bukan berarti tanpa batas. Keluasan-Nya justru kadang menyempitkan mata hingga tak mampu lagi merengkuh makna di balik perkara. Hanya demi merealisasikan asa, seseorang tega menciptakan delusi bagi dirinya. Nilai-nilai salah diinterpretasikan. Berkah orang lain dirampas semena-mena. Intergritas diperjualbelikan atas nama nafsu semata.

Mimpi adalah dua mata pisau bagi orang yang tak bisa menerima kenyataan.

Setengah sadar, aku terbangun. Namun, aku tak mau membuka mata. Aku terlalu larut dalam takut. Lemas, kugerakkan tanganku—mencari-cari, meyakinkan aku bila mimpi belum berakhir. Saat aku mulai cemas, jemariku merasakan dia, dingin yang lembut. Kuresapi setiap sentuhnya, naik, hingga sampailah aku pada rambutnya, sutra yang membelai tangan. Dia masih ada di sana. Kubuka mataku perlahan. Kutatap nanar punggungnya yang sebening embun. Di sana, aku melihat aku. Dan selamanya aku bisa tenggelam dalam bayangku yang tersenyum mensyukuri cinta. Cinta.
Tak ada lagi bimbang yang mengurung hati. Tak ada lagi ruh gersang yang hendak mati. Aku percaya cinta yang riil mampu menyingkirkan kematian. Pengecut ada karena dia tak mampu mencintai dan dicintai dengan baik—yang sebenarnya adalah satu definisi yang sama. Hingga kematian kembali lagi, seperti halnya untuk semua orang. Maka, seseorang harus mencintai dan dicintai lagi dengan baik.

Ya... Bukankah semua orang ingin mencintai dan dicintai dengan baik?

Kurengkuh tubuhnya. Kukecup tengkuknya. Kupahat perasaan ini dengan tepat, di dahi, di hati, dan di seluruh nadi. Agar aku tak lupa bila aku pernah senekat, segila ini. Aku berserah kepada cinta yang amoral.
Tak kupikirkan konsekuensi yang menanti di akhir hari. Karena aku dan dia, hidup detik ini. Tak akan mati. Ia kejoraku, dan aku adalah kejora untuknya. Saling menemukan untuk saling menyelamatkan. Mimpiku, cintaku. Selalu.
           
Aku tak mau berhenti memimpikan cinta.
Aku, cinta, nyata.

Sunday, July 6, 2014

Putri dan Kejora Utara


Ijinkan saya bercerita tentang sang Kejora Utara, Bintang yang jatuh cinta dengan seorang perempuan bernama Nona. Lalu, cerita ini adalah awal mula dari beberapa cerita yang menyusun sebuah dongeng kanak-kanak yang dikemas dalam balutan romansa, satir, dan tragedi. Selamat menikmati.


BAB I
"Putri dan Kejora Utara"
 



Ada sebuah Bintang di angkasa maha raya, terang bagai Kejora Utara. Ia bak malaikat, penolong mereka yang disesatkan kegelapan. Cahaya di tengah kemalangan.
Tidak sedikit yang sudah ia selamatkan. "Oh, Ia sang Messiah! Juru Selamat Dunia!" teriak banyak manusia berkumpul menyembah Bintang. Tetapi, Bintang sungguh baik dan bijaksana. Tidak dimintanya persembahan berlebihan untuk menghormati dirinya. Malahan, diberikannya sebagian dari sari hidupnya. Ya, debu bintang. "Kelak, debu-debu akan berguna bagi kehidupan kalian. Sebarkan segenggamnya ke tanah-tanah kalian, ke ternak-ternak kalian, ke orang-orang yang kalian sayangi. Dengan begitu, kau, kalian, akan selamat." Melesatlah Bintang ke Bimasakti. Kemudian, manusia-manusia berpesta, bersuka cita. Merayakan kebaikan sang Maha Agung. Di atas sana, Bintang tersenyum. Bintang begitu menyayangi manusia seperti Ia menyayangi dirinya sendiri.
Suatu hari, Bintang mengitari Bumi. Saat sedang terbang di atas pepohonan, matanya terpaku pada suatu titik cahaya. Sesosok perempuan. Dari balik awan, hati-hati Bintang mengamati. Bintang terpesona oleh kecantikan sang perempuan. Tidak satin perak sanggup menyaingi lembut senyumnya. Tidak gemerlap intan sanggup menandingi kilau matanya. Tidak ada yang seperti dia.
Turunlah Bintang memijak Bumi. Dihampirinya sang perempuan.
"Siapa kau, wahai gadis? Berulang kali aku mengelilingi Bumi namun aku tak pernah melihatmu."
Sang perempuan terkaget.
"Namaku Nona, Tuan," tutur sang perempuan dengan suara bergetar.
"Ini sudah lewat tengah malam, apa yang sedang kau lakukan di hutan?"
Nona menunduk. Seolah dia sedang menyembunyikan suatu kesedihan.
"Ada apa, Nona?" diangkatnya dagu Nona.
"Maafkan aku, Tuan. Namun ini akan menjadi kisah yang panjang. Ini mungkin akan mengganggu Tuan,” bisik Nona halus.
Bintang tersenyum ramah “Tidak apa-apa. Mungkin aku bisa membantumu.”
Ditatapnya Bintang. Nona melihat ketulusan terpancar dari matanya. Nona tahu, dia bisa mempercayai Bintang. Dan mulailah Nona bercerita.

***

Ada sebuah kerajaan kecil yang terletak di kaki sebuah gunung. Rakyat di kerajaan tersebut hidup berkecukupan, meski semua yang tersedia seadanya. Ternak yang tetap menghasilkan panganan, hasil pertanian yang tidak kurang dan tidak lebih, serta pendidikan juga pelayanan kesehatan yang ala kadarnya. Yang penting bahagia, begitu slogan kerajaan. Raja sangat tegas dalam memimpin kerajaan. Beliau sering turun langsung ke lapangan demi menyelesaikan masalah yang sedang terjadi. Sedangkan sang Ratu, mungkin bisa disebut sebagai wanita tercantik di kerajaan. Tidak hanya itu, sifat keibuan serta kebijaksanaan selayaknya Dewi Athena membuat beliau sangat disegani. Bersama dengan suaminya, ia turut berpartisipasi memimpin kerajaan. Ketika suaminya terlalu tegas dalam memerintah, beliau menjadi kutub negatif yang mengingatkan sang Raja untuk kembali ke titik kesetimbangan. Panas yang disambut dingin. Energi Yang yang dikalemkan oleh energi Yin. Pasangan paling serasi.
Dan Nona... Nona adalah satu-satunya anak dari Raja dan Ratu. Nona sangat mirip dengan kedua orang tuanya. Ketegasan dalam membuat keputusan dan kecerdasan dalam memilah situasi seperti ayahnya. Kecantikan bak mutiara serta kelembutan dalam berperilaku seperti ibunya. Ketika Nona dulu lahir, banyak peramal hadir ke kerajaan. Mereka semua mensyukuri kehadiran Nona ke dunia, menganggap dia lah yang kelak mampu membawa kerajaan ke zaman yang lebih baik. Salah satu tetua mengangkat bayi Nona ke udara, lalu dengan suka cita berteriak, “Oh, betapa beruntungnya hari ini! Seorang Putri telah hadir ke Bumi! Menyinari terang kerajaan ini! Hati yang putih nan murni, kelak kan menuntun kami ke jalan yang suci. Dia tak akan pernah dibenci, karena cinta mewujud dalam dirinya sendiri. Bersyukurlah! Bersyukurlah!” Pada hari itu seluruh warga kerajaan berpesta. Lagu gembira terus dilantunkan, jamuan tak kunjung habis, gelas anggur terisi lagi dan lagi. Bahkan para hewan, baik yang ternak maupun yang liar, turut menari dan menggembirakan suasana. Tak henti-hentinya kebahagiaan mengalir menyambut kelahiran Nona. Syukur yang abadi.
Sebagai putri tunggal, Nona telah diajari cara memasak, menjahit, menari, bertutur kata yang sopan, dan berjalan selayaknya seorang putri sedari kecil. Semua direncanakan matang-matang agar Nona siap menjadi seorang permaisuri, mempelai seorang pangeran yang kelak akan meneruskan tahta kerajaan. Sayang, tak pernah ada gading yang tak retak. Semua rencana yang sudah disusun tersebut masih memiliki cacat. Nona tak pernah diberi tahu.
Bertahun-tahun berlalu, Nona tumbuh menjadi gadis dewasa. Tak hanya parasnya yang kini mampu melumpuhkan lelaki mana pun, sikapnya yang halus tetapi tak mudah rapuh membuat Nona sungguh dikasihi oleh seluruh penghuni kerajaan. Metamorfosis yang sempurna sudah. Dia lah kupu-kupu teranggun tanpa cela. Lalu tibalah sehari sebelum ulang tahun Nona ke delapan belas. Setelah pulang bermain bersama teman-temannya, Nona segera berlari ke kamarnya. Tanpa diduga, Raja dan Ratu sudah menunggunya di dalam. Kebingungan besar tampak dari air muka Nona.
“Nona...” Raja berdiri dari duduknya, “sebentar lagi hari akan beganti dan kau akan berulang tahun, bukan?”
Nona mengangguk lemah.
“Menurut sejarah, delapan belas adalah angka yang sakral. Delapan belas terdiri dari angka satu yang berwujud lurus ditemani angka delapan yang memiliki unsur kestabilan. Raga dan jiwa. Jika disatukan delapan belas memiliki arti kedewasaan—lambang transisi emosi, evolusi di setiap sisi.”
Raja menatap ke luar jendela. “Begitu kau menginjak umur delapan belas, kau bukan lagi anak kecil. Kau sudah sepenuhnya dewasa, Nona. Kau tidak akan punya waktu untuk bermain ke hutan. Kau tidak akan lagi bisa bercanda dengan anak-anak di luar kerajaan hingga petang. Kau tak akan lagi bebas.”
“Maaf, aku tak mengerti apa maksud Ayah,” ucap Nona hati-hati.
Raja menatap ke luar jendela. “Semakin dewasa kau nanti, semakin tua Ayah dan Ibumu ini. Kegelisahan pasti merundung seluruh negeri bila tidak ada yang meneruskan tahta kerajaan. Delapan belas adalah tanda kesiapan. Ayah dan Ibumu sudah memutuskan jika sekarang kau sudah siap.”
Nona mengernyitkan alisnya. “Aku tetap ti—”
“Biar kusederhanakan,” potong Raja, “di usiamu yang sudah delapan belas ini, kau akan kunikahkan dengan pangeran dari kerajaan negeri seberang.”
Nona seperti tersambar petir mendengarnya.
“Ya, aku telah menjalin sebuah hubungan diplomatis dengan raja dari kerajaan tersebut. Mereka sungguh senang. Setelah kau menikah dengan putranya nanti, kerajaan kita akan bertambah megah, Nona! Rakyat kita tidak lagi hanya berkecukupan tapi akan bergelimangan! Lebih dari bahagia. Dan tak perlu kau takut, pesta pernikahanmu nanti akan lebih mewah daripada pesta pernikahan ayahmu dulu,” Raja berjalan mendekati putrinya seraya memegang erat pundaknya, “Kau harapan kerajaan ini, Nak.”
Segera ditepisnya kedua tangan ayahnya. “Maaf Ayah, Ibu, aku tak bisa.”
Sebelum Raja sempat berkata-kata, dia melanjutkan, “Mungkin aku memang Putri Kerajaan ini, satu-satunya harapan yang membawa Negeri kita menjadi maju, nomer satu bahkan. Tetapi untuk saat ini jujur aku belum siap. Aku masih ingin berkeliling dunia, aku masih punya mimpi yang belum aku wujudkan. Melukis segala pemandangan yang aku temui nanti. Jadi maafkan aku, Ayah, Ibu. Aku belum siap.”
Susah payah Raja menahan marah mendengar ketidaksanggupan putrinya. “Kau tak bisa menolaknya, Nona. Setiap rencana sudah aku susun secara cermat dan teliti. Kau sudah delapan belas tahun! Kau sudah siap!”
Nona menggeleng tegas. “Tidak Ayah, saya belum siap, aku belum mau untuk meninggalkan mimpi-mimpiku. Nanti pasti ada wak—”
“Tidak, Nona!” emosi Raja sudah meledak-ledak, “Aku sudah membuat kesepakatan dan itu tidak mungkin ditunda apalagi dibatalkan. Kau akan menikah dengan putra mahkota kerajaan seberang. Itu yang akan terjadi. Kau. Akan. Menikah!!”
“Tidak! Aku ingin bebas, Ayah! Ayah seharusnya mengerti keinginan aku. Begitu banyak hutan serta danau yang belum aku jelajahi. Petualangan tanpa batas. Lagipula aku ingin menikah karena jatuh cinta, bukan dijod—”
“Kau kurang ajar!!” Raja mengangkat tangannya hendak menampar putrinya.
“Raja! Sudahlah, jangan kau kerasi anakmu seperti ini!” bujuk Ratu sambil menahan tangan suaminya.
Nona terisak-isak menangis. Jatuh berlutut di depan kedua orang tuanya. Seolah memohon agar mereka mau mengembalikan sesuatu yang baru saja direnggut darinya. Kebebasan.
Raja menggeleng-geleng tak puas. “Kau ini tak tahu diuntung... Dari kecil sudah ayah manjakan dengan berbagai fasilitas. Sudah ayah beri makanan, pakaian, harta, berlian, serta kemewahan yang tak dimiliki orang lain. Hanya demi kau, Nak.”
Raja merunduk, mengelus rambut putrinya lembut. “Tolong, sekali saja. Pikirkan masa depan kerajaan.”
Hati kecil Nona begitu pilu. Selama ini dia tak pernah mengharapkan kegemerlapan apapun dari kedua orang tuanya. Disayangi sepenuh hati sudah lebih dari cukup baginya. Yang penting bahagia. Dia tahu pelajaran memasak, menjahit, menari, bertutur kata, hingga cara berjalan adalah persiapan kelak menjadi Ratu, penerus kerajaan ini. Namun setelah semua kelas itu selesai, dia merasakan kebebasan yang lepas. Total. Seperti burung yang terbang di langit bebas. Dia melihat ke bawah, memahami jika dunia begitu luas. Tak sabar dia menjelajahi isinya satu demi satu. Namun, sesaat dia akan memulai perjalanannya, tubuhnya terperangkap jaring-jaring realitas, memaksa dia kembali ke sangkar monotoni kehidupan. Penjara jiwa.
“Biarkan aku sendiri dulu, Ayah, Ibu...” isak Nona.
Raja dan Ratu saling melirik. Mereka mengecup kening Nona kemudian meninggalkannya di kamarnya sendiri. Ya, sendiri. Merenungi nasibnya yang tak ubahnya seperti dua sisi mata koin. Satu sisinya menyajikan mimpi kebahagiaan tak bersyarat, sisi lain ialah realitas kejam yang tak bisa ditolerir. Dilematis.  

***

Bintang mengelus dagunya perlahan.
“Lalu, sekarang kau kabur dari kerajaan?”
Nona mengangguk datar. Disenderkan punggungnya ke pohon untuk beristirahat. Lelah raga tak sebanding dengan lelah batin yang tengah dia rasakan.
“Tuan, harus kuapakan lagi hidupku? Mungkin kau akan menyebutku bodoh karena telah lari dari kenyataan. Tetapi bila harus menjual kemerdekaanku demi kebahagiaan yang bukan untukku, itu sama saja dengan membunuhku.”
Nona menghela napas, “Egois memang. Tetapi hidup ialah sebuah pesta kebahagiaan. Aku ingin merayakannya.”
“Salah,” tegas Bintang sambil duduk di samping Nona, “Hidup memang sebuah perayaan, tetapi tak selamanya kita merayakan kebahagiaan. Ada si gemuk, ada si kurus. Ada si cantik, ada si jelek. Ada si kaya, ada si miskin. Ada suka, ada duka. Kau tak bisa meminta sesuai kehendakmu karena hidup tak pernah mengenal kata adil. Semua begini adanya.”
Nona menunduk pilu. Dia merasa sangat bersalah terhadap masa depan kerajaan yang kini di belakangnya.
“Tetapi kau tak sepenuhnya salah, No... Nona kan ya?” Bintang tersenyum, “Bahagia memang tak datang dengan sendirinya. Bahagia ada karena ia diusahakan. Yah... Seperti memasak makanan favoritmu. Apa makanan favoritmu?”
Nona mengerutkan alisnya, “Sapi panggang?”
“Sapi panggang? Baik...,” Bintang mengelus-elus dagunya, “Ringkasnya saja, ya? Tentu pertama-pertama kau kumpulkan bahan dan alatnya. Lalu, kau potong-potong bahannya menggunakan pisau sebelum kau pindahkan ke panggangan, kan? Mungkin jarimu teriris ketika sedang melakukannya. Ada rasa sakit yang mendera, tetapi kau tahan demi mengejar tujuan yang kau kejar; sapi panggang. Jari yang teriris, kepanasan saat memegang ujung besi panggangan, rasa letih, akan terlupakan ketika kau sudah mendapatkan hasilnya. Sapi panggang terlezat yang akan mendarat di perutmu”
“Pun juga saat ini. Keberanianmu yang mampu membawamu hingga ke tengah hutan tidak akan terbayar cuma-cuma. Sedihmu ini kelak berakhir saat kau mau mengusahakan mimpi menjadi tak sebatas mimpi. Dan itu...,” ada bobot yang ditambahkan Bintang pada penjelasan terakhirnya, “kebahagiaanmu.”
Kalimat-kalimat Bintang menjadi obor yang membakar semangat Nona. Dia sadar, dia tak lari hanya karena takut. Dia ingin mengejar mimpinya. Mengelilingi dunia sesambil melukiskan setiap pemandangan yang dia temui di sebuah kanvas putih. Sehingga kanvas itu menjadi dunia yang berwarna, lebih indah dari yang tampak sebenarnya. Dunia yang lebih bahagia.
“Kau lebih baik beristirahat di sini malam ini.”
Bintang mengambil segenggam debu dari dalam tubuhnya.
“Inilah sari hidupku,” jelasnya, “Debu ini bisa menyelamatkanmu dari bahaya yang mendatangimu.”
Disebarnya debu-debu itu ke permukaan tanah.
“Coba kau pijakkan kakimu ke tanah,” suruh Bintang.
Nona memijak-mijakkan kakinya. Seketika, tanah yang sebelumnya keras, menjadi empuk bak kasur istana.
“Akan saya buatkan kamar yang nyaman untukmu.”
Disebarnya lagi debu-debu di sekitar pepohonan. Tak berapa lama, pepohonan itu tumbuh rimbun hingga daun-daunnya berguguran beberapa. Tak hanya itu, beberapa pohon lainnya berbuah lebat.
“Daun ini akan menjadi bantal ternyaman yang pernah kau rasakan. Kalau lapar, kau bisa memetik buah-buah yang ada di sana.”
Nona melongo melihat hal yang belum pernah dia saksikan selama ini.
“Kau ini penyihir?” tanyanya terheran-heran.
“Bisa dibilang seperti itu,” tawa Bintang.
 Nona menggeleng tak percaya. “Tuan, siapakah kau?”
“Namaku Bintang, si Kejora Utara, cahaya yang menuntun mereka yang sedang tersesat.”
Dikeluarkannya lagi segenggam debu dari dalam tubuhnya. “Ini debu bintang, zat yang menjadi sumber hidupku. Seperti yang sudah kau lihat barusan, debu bintang memiliki daya magis bagi apapun yang menyentuhnya. Debu bintang bisa menyelamatkan, bahkan mengabulkan sebuah permohonan.
“Tetapi jika kau memakainya berulang kali, kau akan mati!”
Bintang tergelak mendengarnya. “Aku takkan mati hingga seribu tahun lagi.”
“Dan maaf aku tak bisa menemanimu lebih lama, Nona. Aku akan pulang. Jika kau membutuhkan aku lagi, cukup teriakkan saja namaku. Bintang,” ucapnya sebelum melesat kembali ke angkasa.

***

Di angkasa sana, Bintang sedang tersenyum-senyum. Keping-keping memori melesat bagai peluru. Tersusun, mencipta satu gambar yang mendamaikan hatinya; Nona. Bintang tahu, pertemuan dengan Nona bukan lah pertemuan yang terakhir. Pertemuan barusan ialah awal dari perjalanan yang kelak menuntunnya pada kebahagiaan sejati, Kejora Utara jatuh cinta kepada seorang manusia? Tak dipikirkan resiko besar yang kelak dihadapinya. Bimasakti pasti menentangnya. Teman-temannya pasti akan menertawakannya. Namun, detik itu Bintang tak lagi peduli. Ia telah jatuh cinta—jatuh sejatuh-sejatuhnya, cinta secinta-cintanya. Ia berjanji pada dirinya sendiri, ia akan menjaga sang Putri hingga ajal merenggutnya.

***

Nona membatin. Kebetulan? Dia menggeleng. Dalam satu hari sudah terlalu banyak keanehan yang dialaminya. Kabur dari kerajaan, tersesat di hutan, hingga bertemu dengan seorang penyihir, atau menyerupai penyihir. Tidak mungkin semua kejadian ini didasari oleh kebetulan, batinnya. Sel abu-abu di kepalanya berpikir keras, mencari alasan paling tepat untuk menafsikran ini semua. Ditambah dengan fakta jika dia telah menyaksikan sesuatu yang selalu dia anggap sebagai mitos, cerita tanpa bukti nyata; sihir. Skeptis ialah sifat Nona sedari kecil. Selama dia tak melihatnya sendiri, dia takkan mau mempercayai. Maka dari itulah dia tak pernah percaya dengan kebetulan dan keberuntungan. Karena mereka tak berwujud, abstrak.
Tetapi, konsep itu sudah diruntuhkan oleh kehadiran Bintang. Kali ini, logikanya percaya jika semua yang terjadi di hari ulang tahunnya ke delapan belas ini adalah suatu tanda dari semesta. Delapan belas tahun, lambang transisi emosi, evolusi di setiap sisi.
Dan Bintang... Ada sesuatu yang tak bisa Nona pungkiri ketika dia menghabiskan waktu bersama Bintang. Nona merasa nyaman. Tatapan Bintang sehangat peluk pada hatinya yang mulai membeku. Setiap nasihat yang Bintang ucapkan terdengar halus namun sanggup mengobarkan api di dalam jiwanya. Bintang, sang Kejora Utara.
“Mungkin, kamu kejoraku...”


Nona,
Aku begitu kecil di tengah kau yang sangat luas
Samudera rindu tanpa batas
Jemariku menari-nari
Menulis namamu di sudut galaksi
Apa kau melihatnya?
Tak perlu kau mencariku
Karena kau ialah Bumi
Dengan segala gravitasi yang menarik hati
Cintaku berlutut slalu di hadapmu
Pejamlah
Dan lihatlah
Satu titik cahaya dalam megah Andromeda
Menjagamu, mencintamu
Itu aku, Sang Kejora