Friday, January 31, 2014

Metamorfosis

Artwork by Rafika Anggraeny


Aku selalu menyukai sesuatu yang baru. Entah itu baju, entah itu sepatu. Entah itu makanan, entah itu pengalaman. Aku selalu membanggakan setiap hal yang baru di depan sahabat-sahabatku. Aku akan memulainya dengan bercerita bagaimana aku bisa mendapatkannya. Kemudian kulanjutkan dengan menyebut detil-detil yang baik dari hal itu. Tak perlu banyak, asal menyakinkan. Dan sebagai penutup, aku akan membandingan sesuatu yang baru itu dengan sesuatu yang lama. Kalimat-kalimat seperti "Hey, sepatu ini lebih keren daripada yang dulu kan?", "Yuk ke kafe yang baru dibuka dekat kantor. Gue denger tempat itu jauh lebih sophisticated", atau "Lo udah lihat sekretaris baru si Bos? Sekretaris yang lama kalah cantik, bro!" akan meluncur begitu saja. Setelahnya, aku akan menunggu reaksi mereka. Aku hanya akan merasa puas bila mereka berhasil tersedot ke duniaku. Tentu dengan mata berbinar, dengan mimik muka kagum bercampur senang. Mereka tahu betul, bagaimana aku akan memparafrase pemikiran konyolku, bagaimana aku akan sesekali memberi jeda untuk tertawa, bagaimana gestur tubuhku ketika tak sabar menanti jawaban mereka. Tak jarang mereka bosan dan tak lagi tertarik. Baris kata yang kususun megah sekadar masuk ke telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri, atau bahkan mental begitu saja. Seperti mendongengkan roman klasik kepada para remaja yang melabeli diri mereka modern. Ya, hanya disambut dengan senyum yang, kau tahu... semu. Tapi tak masalah. Aku masih sanggup bercerita.
Aku begitu mengagungkan teori evolusi. Tak perlu terpaku pada jurnal-jurnal yang dipublis para ahli, aku rasa setiap hal yang menyusun semesta tak bisa mati. Materi ini kemudian bermutasi, bertransisi, bertransformasi menjadi unsur baru dengan struktur kompleks dan distingtif tanpa kehilangan esensi. Mereka terlahir kembali.
Indah bukan? Konsep yang abstrak namun sungguh substansial.
Kita, manusia, adalah pondasi utamanya. Selayaknya matahari, kita adalah pusat kosmik kehidupan, diitari oleh puluhan hingga tak berhingga tawa, tangis, marah, dengki, ceria, dan pilu. Akan tetapi, tidak ada satu hal pun yang akan tetap statis. Semua kembali berevolusi, mengikuti arus agung sang waktu yang dinamis.
Cinta, tak terkecuali.

***

“Sudah menunggu lama?”
Aku menoleh, mendapati sesosok perempuan berdiri di depanku. Ia  tersenyum. Manis. Mungkin sudah berpuluh kali aku melihatnya. Namun ada sesuatu pada senyuman itu yang membuat organ di dada kiriku bekerja tak ritmis, tak lagi sistematis.
Spontan kupeluk tubuhnya. Ada rindu yang tumpah ruah. Ada hangat yang begitu dekat. Pada detik pertama, aku bisa mendengar riuh tawanya, tawa kami berdua. Tawa kemenangan terhadap segala penantian dan perjuangan atas nama cinta yang terbayar sudah. Kami betul-betul larut dalam perayaan yang kami ciptakan sendiri. Kepuasan memenangkan undian milyaran rupiah pun tak mampu melebihi. Ya, dia sungguh tak ternilai. Pada detik kedua, aku bisa merasakan lukanya. Luka yang ia simpan dalam kotak kecil yang tak pernah ditunjukkan pada siapapun. Luka yang ia gores karena mempertentangkan definisi cinta dengan idealismenya sendiri. Semakin kurekatkan pelukku semakin aku bisa menyelinap masuk ke kotak kecil itu. Pedihtak kurasakan apapun selain perih yang sedemikian pedih dan sakit yang sedemikian pahit. Ia merintih. Luka itu sudah ia pendam terlalu lama hingga membusuk dan kadaluarsa. Kuulurkan lenganku. Kugapai tubuhnya. Kuuobati ia perlahan. “Tak apa,bisikku, meski kutahu bahwa tak ada yang selamanya baik-baik saja. Lalu pada detik berikutnya, aku memohon kepada semesta supaya tak ada lagi detik-detiknya berikutnya. Biarlah momen ini berhenti, abadi. Waktu adalah musuh bagi dua yang saling rindu. Tidak ada yang bisa melawan kuasanya memenjarakan mimpi. Tidak juga aku, tidak juga dirinya. Dan seperti dongeng yang pernah kau baca, setelah jarum jam kembali berdetik, aku dan dia akan kembali pada realita, menjadi sebuah labu dan seekor tikus.
Kulonggarkan pelukku. Ia masih tersenyum. Manis. Tak buru-buru ia duduk, seolah memberiku waktu untuk memperhatikan penampilannya. Ia mengenakan jaket hitam dipadukan dengan boots coklat yang menawan. Riasan di mukanya tak berlebihan, justru senada dengan rambutnya yang basah oleh hujan. Dan bibirnya... bibir itu dipulas warna merah menyala. Elegan, sensual. Aku menelan ludah.
Do I look bad?” tanyanya takut-takut.
Aku menggeleng. Kamu luar biasa.

***

            Cinta adalah evolusi. Ketika kau mencintai seseorang, zona subkonsius dalam kepala mencoba mengubah beberapa detil pada dirimu. Kau akan berdandan lebih rapi, menyemprot lebih banyak parfum sebelum pergi. Kau akan menjadi suka mendengar lagu-lagu berlirik sentimental yang dulu kau hindari. Kau akan tertawa lebih sering bahkan karena sebab yang tak lucu sekalipun. Kau akan menata dirimu lebih baik—caramu bertutur kata, caramu bersikap berada sekitarnya—agar ia bangga padamu. Dan tentu, kau akan lebih rentan terluka.
Perlahan jiwamu terkikis. Dinding kokoh bernamakan logika meruntuh bersama dengan ego yang selalu kau junjung tinggi. Kau berusaha kabur dari jeratannya, tetapi tak kau temukan tempat berlindung. Kembali kau mencoba berlari, berlari, dan berlari. Hingga kau temukan dirimu berdiri di ujung tebing. Tersudut, kau putuskan untuk berhenti. Kau relakan dirimu menjadi tawanan dalam duniamu sendiri. Kau yakin kau bisa lolos suatu hari nanti. Namun, perhitunganmu salah. Keseimbangan eksistensimu terusik. Kau tak mengira sesuatu yang kasat mata bisa sedemikian destruktif namun tetap memiliki sifat konstruktif. Dan kau ikhlaskan dirimu terlahir kembali. Hingga di suatu pagi, kau bangun dan berdiri di depan cermin, terperanjat. “Siapa dia?!” teriakmu. Dia adalah kamu, kuberitahu. Dengan segala kebaikan dan kekurangan, dia tetaplah kamu. Tak mengherankan jika manusia yang hanya tahu cara berburu dan bercocok tanam mampu menulis sebuah prosa romantis.
Kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan baru. Bukankah cinta itu pengorbanan? Bukankah cinta itu memerdekakan? Mengapa sesuatu yang tak mewujud bisa disahihkan eksistensinya? Dan mengapa banyak orang menderita karenanya? Plato, Khalil Gibran, ataupun mereka yang sok tahu tentang cinta tak bisa menjawabnya. Tentu aku pun. Kita sebagai manusia hanya bisa membuat isu ini semakin kompleks. Kaitkan cinta dengan agama, kau dapatkan masalah pernikahan beda keyakinan. Kaitkan cinta dengan politik, dan kau dapatkan konspirasi di antara para petinggi. Kaitkan cinta dengan budaya, kau dapatkan pandangan buruk mengenai cinta sejenis. Lalu satu saja pertanyaanku. Bermoral kah seseorang yang memiliki kekasih mencintai orang lain?

***
           
“Maaf ya bikin kamu nunggu. Abis di luar hujan.”
Liana mengusap kepalanya lembut, mencoba mengeringkan rambutnya.
“Engga apa-apa. Udah aku pesenin cappuccino buat kamu.”
Liana tertawa. Aku sudah tahu kebiasaan Liana. “Secangkir untuk memulai malam yang panjang“ ucapnya selalu. Walau terkadang aku heran dengan mereka yang menganggap cappuccino sebagai kopi. Maksudku, kopi tapi tak pahit? Menyalahi kodrat dan nasibnya sebagai kopi.

“Emm... pacar kamu?” tanya Liana takut-takut.
“Oh, dia di rumah. Katanya mau ngerjain tulisan buat majalah. Deadline nya besok”
Liana menghela napas. Aku bisa merasakan beban yang sedikit terangkat di pundaknya.
Lucu bila melihat ke belakang. Bagaimana dua orang asing bertemu di waktu dan situasi yang tak tepat, namun mereka tak sanggup menahan diri untuk tidak saling jatuh cinta. Selayaknya buronan, aku dan Liana hidup dalam gelap—pertemuan sembunyi-sembunyi dan cinta diam-diam.

Kugenggam tangannya. “Tenang. Di sini kita aman. Kafe ini sepi, jauh dari kota. Jadi gak bakal ada kenalanku atau dia di sekitar sini. Lagipula...” kukedipkan sebelah mataku, “...udah kupesan juga kamar hotel dekat sini. So...”
Ia hanya membalasnya dengan senyuman. Manis. Tapi aku bisa menangkap sendu di wajahnya. Ada kekecewaan yang terbersit dari matanya. Aku tak berani bertanya. Biarlah kami sama-sama larut dalam diam. Menyelami mimpi, menduga apa yang terjadi nanti.

“Kamu engga capek seperti ini?” tanya Liana mengagetkanku.
“Maksudnya?”
“Ya begini. Bertemu diam-diam. Apa-apa harus engga boleh ketahuan.”
Aku menatapnya heran. “Bukannya kita setuju untuk menerima resikonya? Kenapa tiba-tiba kamu kayak gini?”
 “Aku mau seperti perempuan normal,” ia melepas genggamanku, “Aku juga mau disayang, diutamakan”
“Bukannya sudah kulakukan? Aku selalu support kerjaan kamu. Kapan pun kamu butuh, aku ada buat kamu. Aku sayang kamu.”
Kuusap pipinya lembut. Aku tahu, tidak mudah berjalan dalam penuh ketakutan. Tapi apa lagi yang bisa dilakukan? Kabur? Berlari dan kabur?
Liana menggeleng. “Engga... kamu engga sepenuhnya sayang aku.”
Bulir air menumpuk di pelupuknya. Ia berusaha tetap tenang. Disesapnya kopi yang sedari tadi didiamkan. Pelan-pelan, Liana mencoba bicara.
“Kamu ingat pertama kali kita ketemu?”

Kata-kata Liana memutar kembali memori itu. Aku bertemu Liana awal November lalu di sebuah pameran temporer fotografi yang kuhadiri tanpa kekasihku. Liana adalah salah satu fotografernya. Ia sangat cantik, brilian, dan bertalenta. Mataku tak bisa lepas darinya. Malam itu, kami sempatkan berkenalan dan basa-basi mengobrol. Seusai acara, kucoba peruntunganku. Kuajak Liana menghabiskan malam di sebuah lounge tengah kota. Tak kusangka, ia mengiyakan. Kami melanjutkan basa-basi tak penting. Tawa, pujian, serta denting anggur. Kami benar-benar menikmati malam.
Paginya, aku terbangun di sebuah kamar hotel. Liana tidur di sampingku, tak berbusana. Tentu aku sudah menduga apa yang terjadi. Aku menggigit bibir. Aku sudah memiliki kekasih dan kini baru saja tidur dengan seseorang yang baru kukenal. Mendadak kepalaku migrain. Aku baru saja menambah panjang daftar masalah. Kubangunkan Liana, kuberitahu siapa sebenarnya aku dan bagaimana kondisiku yang sudah memiliki kekasih.
“Oh, oke,” katanya santai.
Kuangkat sebelah alisku.
“Ya oke. Kamu udah punya pacar. Tapi aku suka kamu, kamu suka aku. Terus? Apa yang perlu dipermasalahkan jika kita menikmatinya?”
Aku termenung. Ini salah. Ini tidak boleh dilanjutkan. Namun satu sisiku menginginkan sebuah pengalaman baru yang menantang. Sesuatu yang liar, sesuatu seperti Liana. Aku tak bisa menolaknya.

“Ya. Dan aku tetap sayang kamu.”
“Bohong!” bentak Liana. “Kalau kamu sayang aku, kamu pasti udah ninggalin pacar kamu buat aku!”
Aku menggaruk kepala. Ada sesuatu yang tak beres.
“Sebentar... Kerjaan kamu lagi ada masalah? Kamu lagi PMS? Atau apa?”
Liana menatapku tajam. Ia mungkin sudah menusukku jika ada pisau di dekat kami.

“Kamu berubah... Kamu udah engga sayang aku lagi...”
“Oke. Aku berubah. Kamu berubah. Power Ranger berubah. Semua orang berubah. Lalu kamu mau apa?”
Air mata yang sekuat tenaga dibendungnya jatuh juga. Liana menangis sejadi-jadinya. Dengan susah payah, ia coba mengatur nafas. Ia sukses membuatku merasa makin berdosa.

Kuisi spasi kosong di sisinya. “You are being ridiculous, okay?”
“Kamu... sayang aku... engga?” isaknya tertahan.
“Iya, sayang.”
“Kamu... pilih aku... atau pacar kamu?”
Jangan dijawab.
“Sayang...?”
Tetap tersenyum dan jangan dijawab.
“Kamu pilih aku atau pacar kamu?”
Tersenyum. Pasang muka tak bersalah. Kamu memang tidak tahu jawabannya.
“Aku tahu, kamu sebenarnya lebih sayang pacar kamu kan?!”
Tenang. Jangan terpancing emosi.
“Brengsek emang kamu! Brengsek!”
Tetap tenang. Tetap tersenyum. Psikoanalis terbaik saja tidak pernah tahu apa yang diinginkan perempuan, apalagi kamu. Biarkan ia meledak. Biarkan orang di meja sebelah terus melirik. Tetap tenang.
“Kamu engga pernah tahu susahnya jadi aku! Tiap hari harus bersikap sewajarnya. Tiap hari harus disembunyikan. Aku muda dan cantik. Engga seharusnya aku menghabiskan waktu buat main-main. Dan mungkin sekarang aku sudah bertemu jodohku!”
Oke. Ia sudah mabuk.

“Kamu tahu? aku rasa tidak ada yang perlu dilanjut lagi.”
Ia tercekat. “Maksud kamu?”
“Kita... tidak, aku dan kamu sebaiknya jalan sendiri-sendiri,” aku menarik nafas, “Kamu butuh mimpi. Aku butuh kembali ke dunia nyata.”
Liana terheran-heran. “Bercandaan kamu kali ini sama sekali engga lucu.”
“Aku serius. Aku rasa, hubungan ini engga bermoral.”
“Moral?!” Ia terbahak. “Kamu tidur sama orang yang bukan pacarmu dan kamu masih bisa ngomong tentang moral?!”
Aku mengangguk. “Kamu benar. Aku brengsek, sama seperti yang lain. Tapi justru itu lucunya. Hidup berubah. Engga semua berjalan sesuai keinginanmu. Kita perlu sedikit menderita, atau kita kehilangan maknanya.”

Kupeluk tubuhnya. “Aku minta maaf.”
Pelupuk matanya kembali basah.
“Aku sayang kamu,” ucap Liana sesenggukkan.
“Aku juga.”
“Tapi aku benar-benar sayang kamu,” rajuk Liana.
Aku tersenyum. “Sayang selalu engga pernah cukup.”
Air mata mengalir deras di pipinya. Ia mendekatkan tubuhnya padaku. Sesaat kurasakan hal yang sama seperti saat aku melihatnya malam ini. Bahagia yang juga getir. Mungkin ini para penyair itu ada benarnya. Perpisahan adalah bayang dari pertemuan. Tidak ada yang absolut. Semua akan terus berganti mengikuti irama yang dimainkan semesta. Hari, tanggal, musim, buku, lagu favorit, tren pakaian, sahabat, dan  tentu, rasa. Namun bukankah karenanya hidup menjadi lebih menarik?

Liana menengadah. Sendu, ia menatapku.
Do you love me?

***
           
Waktu menunjukkan pukul satu pagi. Aku masih belum beranjak dari kursiku. Lebih tepatnya, belum ingin. Liana? Ia sudah pergi sejak dua jam lalu. Tak apa. Lagipula saat ini aku tak ingin ditemani. Suasana kafe yang sepi membuatku nyaman, aman. Mungkin saking sepinya, aku bisa mendengar suara hatiku sendiri. Suara hati? Aku menahan tawa. Beruntung bagiku, kafe ini buka 24 jam. Kata sahabatku, aku ini spesies unik. Di saat sebagian manusia tak sanggup menahan rindu dengan kasur, aktivitas otakku malah bekerja gila-gilanya. Aku tak mau beristirahat. Aku tak mau berhenti berpikir. Bagaimana aku bisa tenang jika lima ribu kilometer dari sini ada perang sedang terjadi? Lalu bagaimana dengan kemiskinan dan penderitaan mereka yang tak segera ditangani? Semesta meluas. Dan sesuatu yang meluas, pasti hancur suatu saat. Aku tahu itu bukan masalahku. Tetapi bukankah kita harus bersiap? Terlalu banyak sudah problematika hidup hadir tanpa disertai solusi yang definit. Dan seperti yang sudah aku katakan, kita sebagai manusia hanya bisa membuat masalah semakin kompleks.
“Kamu terlalu cerebral”, ucapnya. Aku tak membantah. Ia benar. Tapi tindakanku cukup beralasan. Aku takut dengan apa yang tidak aku ketahui. Sayangnya, hidup terlalu misterius. Kau tidak akan tahu apa yang sudah menunggumu di ujung jalan. Kebahagiaan atau kematian.
Kuaduk cangkirku yang sudah habis. Mataku menerawang. Aku bisa melihat Liana di depanku. Ia tersenyum. Manis. Tetiba sesosok bayangan menyeret tubuhnya. Ia meronta, berusaha melawan gaya tarik yang begitu kuat. Tapi usahanya sia-sia. Ia semakin menjauh... menjauh... dan menjauh...
Aku menghela nafas. Liana tidak bersalah. Ia adalah korban dari kejamnya kompleksitas hidup. Apa yang salah dari seseorang yang mencintai terlalu dalam? Perempuan ini bermimpi jika suatu saat akan datang pangeran yang mampu memberinya kenyamanan, kasih sayang, dan bahagia. Sayangnya, fantasi bukan lah rumah kita. Realita, sepahit apapun dia, kita harus bersedia menerima.
Semoga Liana mengerti. Aku tak mungkin bisa memuaskan semua pihak. Aku mencintai Liana. Dan seni tertinggi dari mencintai adalah merelakan, bukan? Jawaban yang tak adil memang. Tapi apalah arti keadilan di dunia yang serba bias. Lagipula manusia itu lucu. Suatu hari ia berbuat dosa, esoknya ia bertingkah bak malaikat kemudian menghakimi sesamanya.
Faktanya, semua orang berubah. Pertanyaan kuncinya adalah, menjadi baik atau menjadi buruk? Di tengah zaman yang semakin absurd, merasionalkan identitas sudah menjadi suatu masalah tersendiri. Aku rasa, yang kita butuhkan adalah berpegang pada cinta dan moralitas. Tapi hati-hati. Sepasang mereka menuntunmu, sendiri-sendiri mereka membunuhmu. Moralitas tanpa cinta adalah pahatan tak berjiwa, sedangkan cinta tanpa moralitas hanyalah subjektivitas ego sesaat.
Kini, yang perlu kulakukan adalah memberi sedikit kepercayaan kepada waktu. Bukankah setiap ulat ingin menjadi kupu-kupu?