Saturday, February 8, 2014

Hujan

Nona Naya,
Bagaimana keadaanmu? Apa sudah membaik? Aku sangat khawatir ketika kau tak membalas suratku kemarin.

Nona Naya,
Maaf jika aku mengajakmu berjalan di bawah rintik hujan yang kini menyebabkan kau sakit. Tak seharusnya aku memaksakan ego dan obsesiku kepadamu. Ah iya, aku lupa mengatakannya. Aku memiliki obsesi aneh tentang hujan. Ada sesuatu yang mistis pada bulir air yang terus jatuh membasahi tempat kita berpijak. Dan aku tak butuh payung. Aku ingin rintiknya turut membasahiku, membasuh segala lelah di tubuh. Sebut aku gila, namun ada bahagia yang tak terdeskripsi saat aku kehujanan. Sungguh, bagiku hujan layaknya sebuah pencucian dosa. Mendamaikan, membuatku serasa terlahir kembali. Tak hanya itu. Bau tanah setelah hujan juga begitu menenangkan. Petrichor, Nona, begitu para penulis menyebutnya di cerita-cerita mereka.

Nona Naya,
Ada dua kota di Nusantara yang menurutku sangat, sangat romantis. Pertama, Bandung tentu saja. Yang kedua, Yogyakarta. Yogyakarta di saat hujan adalah yang paling indah. Jalanan yang basah, kendaraan yang berlalu lalang, langit yang perlahan gelap, berkas cahaya lampu jalanan yang membias. Dan sekali lagi, petrichor. Ketika kau memandangi sore yang menghujan dari balik jendela, kau sadar jika kau tinggal di kota yang tepat. Kau tidak bisa untuk tidak jatuh cinta dengan Yogyakarta.

Nona Naya,
Aku sangat membenci perpisahan. Dan benar, mengantarmu ke halte adalah satu-satunya yang tidak sempurna pada sore yang sempurna kemarin. Namun tak apa. Ketidaksempurnaan itu menghadirkan rindu yang teramat. Aku ingin merasa dekat. Aku ingin merasa hangat. Entah perasaan apa ini namanya, aku tak peduli. Aku tak bisa dan tak mau mendefinisikannya. Kau benar, aku kompleks. Dengan segala macam hipotesis dan pemikiran sebelum melangkah, aku tak berani menjamin apa-apa. Namun bersamamu, logikaku mati. Atau mungkin kah tidak seharusnya aku senantiasa berpikir dan membuat perencanaan untuk setiap aksi yang kulakukan? Entahlah. Hanya bersamamu, aku tak lagi takut.

Nona Naya,
Seperti yang sudah kau dengar, aku ingin lebih banyak kita.

Wednesday, February 5, 2014

Abadi




Nona Naya,
Sungguh tak terbayang aku bisa mengobrol sekali lagi bersamamu, Menikmati sore dengan seseorang yang aku kagumi di tempat dan waktu yang tepat, kau tahu? Tidak pernah kubayangkan, bahkan di fantasi terliarku sekalipun. Jujur, aku senyum-senyum sendiri menulis surat ini. Di kepalaku masih teringat jelas bagaiman kau mengaduk-ngaduk cangkir kopi, membahas lukisan demi lukisan, lalu di tengah-tengah pembicaraan serius, kau tertawa. Maaf jika reaksiku yang berlebihan, tetapi aku bersungguh-sungguh saat mengatakannya.

Nona Naya,
Bagaimana kafenya? Kau suka kan? Keahlianku dalam memilih tempat yang sesuai dan sophisticated memang sudah teruji. (Percayalah, sebentar lagi akan bersertifikat). Dan bagaimana dengan kopinya? Menurutku, kopi di kafe itu adalah satu kopi terbaik yang ada di Yogyakarta. Sore yang mendung, musik yang lembut, ditemani kopi terbaik serta seseorang yang aku kagumi. Apa yang bisa lebih baik dari ini?

Nona Naya,
Aku kagum dengan kemampuanmu memahami seni. Ya, kalimatku ini merujuk pada bagaimana kau memberi arti dari lukisan-lukisan yang kutunjukkan. Misalnya, lukisan Sunset in Venice oleh Claude Monet. Kau mengartikannya sebagai bentuk cinta Monet kepada Venice serta dualisme hidup yang dilukiskan dengan fajar yang menyerupai senja. Dan lucunya, aku satu pehamaman denganmu. Lebih lucunya lagi, kita sama-sama memiliki lukisan favorit yang sama. The Starry Night, oleh Vincent Van Gogh. Lukisan yang menggambarkan keanggunan malam serta esensi kultural Prancis yang harmoni. Di setiap goresannya, Van Gogh seolah ingin mengungkapan sebuah impermanensi. Kau tahu, delusi, Nona. Delusi dari setiap peristiwa yang kita alami dalam setiap harinya. Keindahan adalah distraksi—validitas semu yang diciptakan oleh pikiran kita atas respon dari barbarnya kenyataan. Lukisan ini mengaburkan indra kita, memberi persepsi yang salah tentang keindahan abadi. Abadi karena ia adalah lukisan. Dan lukisan tak akan pernah berubah. Sayangnya, tidak ada keindahan yang abadi. Cinta, sekalipun. Betul bukan, Nona?

Nona Naya,
Aku sungguh-sungguh menikmati menghabiskan sore bersamamu. Pernah mendengar tentang relativitas waktu? Bagaimana satu jam terasa seperti seribu tahun di neraka dan seribu tahun terasa seperti satu jam di surga kini terbukti kebenarannya. (Tentu, kau yang surga). Senyummu—ada sesuatu pada senyum itu. Entahlah. Seakan-akan ia mampu menyatukan seluruh kekuatan kosmik di satu titik. Ia membuatku membeku, membatu. Dan sesaat, aku bisa merasa abadi. Satu, satu detik saja. Aku tak bisa melupakannya. Begitu pun dengan apa yang terjadi setelah kita berjalan keluar kafe.

Nona Naya,
Aku ingin membaca balasanmu sebelum aku kembali melanjutkan cerita.
Kutunggu suratmu, Nona.

Monday, February 3, 2014

Dua Sisi



Salam, Nona Naya
Kau harus tahu betapa gemetarannya aku ketika aku menerima sepucuk surat di depan rumahku. Tak kusangka, kau mengingatku, bahkan membalas suratku. Sungguh, Nona. Aku harus menjewer daun telingaku untuk benar-benar memastikan ini bukan mimpi.

Nona Naya,
Aku ingin bercerita tentang hariku. Pagi kumulai dengan cukup baik. Secangkir kopi dan sepiring nasi goreng sebagai paragraf pembuka cerita. (Aku tahu tak baik makan makanan penuh minyak di pagi hari, namun aku tak bisa menahannya). Segera aku menuju ke rumah sakit, menjalani profesiku sebagai seorang tenaga medis. Pernah kau bayangkan, Nona? Menjalani hari yang hampir identik, rutinitas yang memandulkan kreativitas. Bukan, bukan berarti aku menyesal. Aku sangat senang bisa membantu orang lain. Bahkan ini mimpiku. Hanya saja aku takut melewatkan banyak kesempatan. Aku takut tak bisa melanjutkan hobi mengoleksi lukisan. Aku takut tak bisa mengekspresikan isi kepalaku dengan menulis. Aku takut tak bisa menjelajahi kota-kota menarik di berbagai belahan dunia. Ide bagaimana kesibukan menyita waktumu hingga tak sadari kau menua dan mimpi-mimpi yang kau gantung setinggi bintang hanya menjadi mimpi belaka bak film horor bagiku. Dan kau tahu, yang pada akhirnya menantimu adalah kematian. Ah, kurasa aku terlalu banyak mengeluh.
Kembali pada ceritaku. Seusai bekerja, aku mampir ke warung makan favoritku di daerah Gejayan. Sederhana memang, namun mereka menyajikan hot plate ayam terlezat se-Yogyakarta. (Tentu kita harus mencobanya). Kemudian, aku memberi kejutan kepada ibuku dengan datang ke rumahnya. Beliau tersenyum lebar saat melihatku datang membawa dua buah kue pukis kesukaannya. Kami menghabiskan waktu mengobrol tentang pekerjaan dan rencanaku tahun ini sebelum aku memeluknya dan pulang ke rumah.
Bagaimana denganmu, Nona? Aku yakin harimu pasti jauh lebih menyenangkan.

Nona Naya,
Maaf jika aku seringkali membahas tentang kematian. Selain karena profesiku yang sangat berdekatan dengannya, aku sendiri sangat tertarik dengan konsep serta misteri yang yang menyusun inti semesta. Ibaratnya, kehidupan adalah koin. Tentu setiap koin memiliki dua sisi. Salah satunya, kematian. Kematian dilambangkan sebagai dewa penghancur. Ia katastropik, menghancurkan siapapun tanpa ampun. Jiwa, mimpi, harapan, apapun itu kelak kan direnggutnya. Dan setiap hari kita mengharapkan hadirnya sisi lain dari koin tersebut. Ya, kelahiran.

Nona Naya,
Berkaitan dengan keinginanmu untuk menulis artikel tentang hobiku, bagaimana dengan Rabu minggu ini? Karena Senin malam, aku sudah menyiapkan makan malam spesial bersama tunanganku.
Aku tahu sebuah kafe di daerah Kotabaru yang mungkin kau suka. Tempatnya unik, penuh dengan sentuhan klasik di setiap sudutnya. Lantai parquet, jam antik, dan tempatnya yang tak banyak orang membuat suasana kafe ini begitu harmoni. Kau pasti suka.

Nona Naya,
Hari ini adalah hari yang baik. Dan suratmu, melengkapinya.
Selamat malam, Nona.

Saturday, February 1, 2014

Nona Naya


Salam, Nona Naya.
Sebelumnya, aku meminta maaf telah lancang menulis sebuah surat kepadamu. Sesungguhnya aku tak pandai menyusun kata demi kata, berbicara pun gagu. Tetapi aku tak bisa menahannya. Sesuatu dalam diri memerintahkan jemariku untuk bekerja, menulis untukmu. Tidak, saya tidak ingin menyimpulkan jika apa yang saya rasakan adalah cinta. Kau tahu Nona, aku adalah orang yang skeptis dengan kata cinta. Ia sungguh lunatik, manipulatif. Mungkin cinta ialah buah terlarang yang menghukum umat manusia. Atau mungkin cinta ialah tiran yang begitu kejam hingga sanggup membuat mereka yang menyembahnya menderita.

Nona Naya,
Apakah Nona ingat bagaimana kita pertama kali bertemu? Sebuah acara peluncuruan buku di sebuah galeri di Jalan Kaliurang. Aku hadir sebagai tamu undangan karena sahabatku adalah penulisnya. Sedangkan kau hadir untuk meliput acara ini, bukan? Untuk pertama kalinya, aku melihatmu Nona. Kau sungguh cantik serta menarik. Bagaimana kau berpenampilan, bagaimana kau mengungkapkan ide kepada kolegamu, bagaimana kau tersenyum menjadi daya tarik tersendiri bagiku. Meski gemetaran, kuajak dirimu berbasa-basi. Aku ingin membuatmu terkesan. Anggur demi anggur, tawa demi tawa. Segala sesuatunya berjalan melebihi harapanku. Semakin larut, semakin kusadari kau lebih dari sekedar wanita. Pikiranmu selayaknya samudra—sungguh dalam dan misterius. Aku tenggelam padamu, Nona.

Nona Naya,
Apakah Nona percaya dengan kematian? Setiap hal yang menyusun materi di semesta tak ada yang abadi, kecuali kematian itu sendiri. Ia adalah akhir yang agung dari kisah yang kita tulis sendiri. Sebagian orang mengaitkannya sebagai pengalaman religius—kita datang dan pasti akan pulang ke hadapan-Nya. Sebagian lainnya menghubungkan kematian dengan teori nihilisme serta ketidakriilan dunia. Tidak, aku tidak setuju dengan keduanya. Bagaimana denganmu, Nona?

Nona Naya,
Sekali lagi, maafkan aku karena telah lancang menulis surat ini. Aku ingin sekali berhubungan denganmu—bertukar pikiran, ditemani secangkir kopi di batas senja. Semoga setelah surat ini, akan ada cerita selanjutnya tentang kita.

Sekian.
Selamat malam, Nona Naya.