Tuesday, December 23, 2014

Surat Cinta

Untuk perempuan yang telah menghabiskan waktu bersama, terimakasih.

***

“Surat Cinta”

 

            Kau tahu? Ini surat pertamaku setelah hampir dua tahun aku tak lagi menulis surat. Mengagetkan melihat penaku yang kini tumpul tetapi masih bisa menuliskan sesuatu abstrak yang mereka sebut itu cinta. Aku rasa tak semua orang berubah seperti yang mereka kira. Setiap peristiwa akan menempa ruh yang mengisi setiap relung tubuh.
Pukul 11.11 tepat saat aku menuliskan kalimat ini. Mungkin hanya kau dan aku yang bisa memahami. Satu sama lain. Untuk setiap canda yang tak juga menua, untuk setiap rahasia yang kita sembunyikan dari dunia.
            “Dunia. Untuk apa takut kepada dunia? Sekarang atau tidak sama sekali. Cinta tidak akan menanti,” janjiku meyakinkanmu dulu. Dua kali. Dan dua kali pula kau tak mengizinkan aku masuk ke duniamu, sekadar menyusuri isi pikiran serta berkunjung ke sudut-sudut kecil di ruang hatimu.

Apa yang kau pikirkan? Bagaimana perasaanmu? Apa kau memikirkan aku juga?

            “Akhir ialah apa yang telah menanti,” tegasmu meruntuhkan seluruh mimpiku. Mimpi yang kubangun dengan namamu berada di pusatnya.
            Namun, sebelum mimpi itu betul-betul mati, aku berjuang sekali lagi. Berteriak lebih keras lagi. Lagi, dan lagi. Agar suaraku sanggup mencapaimu, membangunkanmu dari tidur panjang bernama kesendirian.
Detik sebelum pita suaraku betul-betul robek, kau terbangun. Kau mendengar dan menerima aku. Kau memberi kesempatan bagi ‘kita’ untuk ada. Sekali lagi, kau membuatku bermimpi. Cinta ialah penawar bagi pahitnya realitas.
            “Sekarang adalah sekarang. Nanti adalah nanti. Lalu, kebahagiaan adalah apa yang ada sekarang, bukan?” ucap kita bersamaan sembari tertawa.
           
            Malaikat,
L’amour est la poésie des sens.

Kau ialah hangat yang pernah mampir di setiap cangkir.
Kau ialah bahagia yang mampu membuat air mata tertawa.
Kau ialah segala baik yang pernah aku alami.

Namun, seperti kisah dongeng yang lain, kita tidak akan pernah memiliki selamanya. Kau bukanlah putri yang sanggup mengangkat kutukanku dan aku bukan pangeran yang sanggup membuatmu tetap terjaga. Waktu itu telah habis. Menjadi labu dan tikus, kita kembali.
Kini aku menemukan bayangmu dalam tiap langkahku. Hantu di setiap sudut hati yang telah mati; memori.

Lucunya, aku menulis kata demi kata sambil membayangkan kau dan aku tengah berdiri bersama. Teman-temanmu serta teman-temanku akan datang. Mereka akan menyantap makanan yang sudah disediakan sembari melontarkan gurauan-gurauan yang memutar kembali ingatan. Lalu, mereka akan mendatangi kita, tersenyum bangga. “Selamat,” ucap mereka tulus sebelum beranjak pergi.

Mungkin mimpi ialah bara api, mewujud pada setiap baris yang menjadikanmu abadi.

Sudah pukul satu pagi, dan surat ini akan berakhir sebentar lagi.
Aku ingin mengakhirinya seperti apa yang sudah seharusnya.

Untuk setiap luka yang kita toreh satu sama lain, untuk setiap beban yang aku tumpahkan padamu, aku meminta maaf.
Aku bersyukur, kau lah orang yang pernah bersamaku.
Tidak dia. Tidak imaji terbaikmu dalam anganku. Tidak yang lain.
Kau, utuh, nyata, apa adanya.
Kau dan aku tumbuh bersama hingga kita menjadi seperti sekarang ini. Berdiri dengan kaki sendiri-sendiri, bahagia dengan kebahagiaan masing-masing.
Pada setiap detik yang terus berdetak, aku akan selalu mendoakanmu.
Kau adalah sahabatku hingga akhir.

Kita adalah salah satu semoga yang tak diizinkan Semesta.

Kelak saat aku menutup mata, aku akan menjadi salah seorang temanmu yang hadir. Menyantap makanan yang sudah disediakan dan menanti giliran untuk mengambil gambar bersama. Seperti apa yang sudah seharusnya.

***

            Diletakkannya pulpen yang sedari tadi dipakainya menulis. Dibacanya kata demi kata yang telah disusunnya rapi. Dimasukkannya surat itu dalam amplop kecil yang telah dia siapkan. “Selesai sudah,” lega perempuan itu. Dia berdiri seraya mengendurkan otot-ototnya. Sejurus kemudian, tatapannya diarahkan pada sesuatu yang menarik perhatiannya, tubuh seorang laki-laki yang tengah menggantung. Kedua mata itu saling bertemu. Kosong yang sama. Dingin yang serupa.
            “Persiapan yang lain sudah beres. Kamu sudah selesai, Lana?” seorang lelaki lain masuk dari pintu belakang. Tanpa menghiraukan pertanyaan lelaki itu, perempuan bernama Lana itu mengamati seksama tempat dia berdiri. Buku-buku yang tertata baik di rak, Tender Is The Night karya F. Scott Fitzgerald yang terbuka tak terbaca, mesin tik yang berdebu, sebuah foto pemuda dan pemudi tersenyum bahagia yang terbingkai cantik, sepucuk surat, kursi yang terjatuh, dan seutas tali yang menjerat erat leher tubuh yang tak lagi bernapas.
Lelaki lain itu menatap lama Lana. “Aku tak menyangka kau tega melakukan ini kepada mantan kekasihmu sendiri.”
            “Aku sudah menceritakan alasannya, bukan?” Lana menatap tajam lawan bicarannya. “Bukunya tak laku di pasaran sementara ia terjerat utang. Ia datang kepadaku memohon agar aku mau meminjamkan uang dan betul aku pinjamkan karena aku menyayanginya, tetapi...,” dia menyentuh jasad itu, “Semakin lama ia semakin tamak. Ia terobsesi dengan apa yang ada di dunia, bukan apa yang membentuk dunia. Bahkan ia mengancam akan menyebarkan foto dan video amoral yang aku dan dia pernah rekam dulu demi benda yang sifatnya sementara belaka.”
Dahi lelaki itu berkerut mendengarnya. “Tetapi, pembunuhan?”
            Lana menggeleng.
            “Bunuh diri, Sayang. Ia sungguh mencintai aku dan tak sanggup melihat mantan kekasihnya ini menikah dengan lelaki lain, kamu.”
            Dengan anggun, Lana berjalan mengitari tubuh itu. “Semua sudah aku kalkulasikan secara matang. Jadwal ia berada di rumah untuk menulis. Pukul berapa jalanan di sekitar rumahnya mulai sepi. Duplikat kunci rumahnya. Gloves dan sarung kaki agar sidik jari kita tak terdeteksi. Bekas luka di tangannya beserta silet dengan percikan darah untuk memperkuat dugaan bunuh diri. Lalu yang paling penting, aku ahli dalam meniru tulisannya.”
Berjalan mendekat, bibir menggoda Lana ditempelkannya ke telinga tunangannya. “Dan terimakasih untukmu yang berprofesi sebagai dokter, aku bisa memberi dosis Diazepam yang tepat untuk membuatnya tertidur tanpa bisa terdeteksi di plasma,” bisik perempuan itu sambil menjilat telinga pelan.
            Raut muka lelaki itu berubah serius. Didorongnya bahu Lana menjauh. “Aku tahu rencanamu sangat sempurna. Kau dan aku memang sudah setuju melakukannya dan kita sukses melakukannya. Mungkin polisi akan datang ke rumahmu untuk menanyakan beberapa hal meski mereka tak akan mencurigaimu. Hanya sa...,” Sebelum lelaki itu sempat menyelesaikan kalimatnya, lidahnya telah beradu dengan milik Lana. Begitu panas, begitu puas. Seolah, Lana masih ingin memberikan hukuman terakhir bagi mantan kekasihnya. Percumbuan yang disaksikan oleh raga yang tak bernyawa. Mata hampa yang Maha melihat.
“Sayang...”, Lana menyentuh bibir lelaki itu, “kau masih saja menganggap tindakan kita lebih amoralnya? Aku tak menyalahkanmu untuk berpikir demikian.”
Mencekam. Sentuhan lembut jemari itu membangkitkan ketakutan amat sangat dalam diri lelaki itu. Seakan, jemari itu tak segan untuk mencekik lehernya hingga napas yang ia tarik bak pisau yang menghujam dadanya berulang.
“Surga... Neraka... adalah istilah yang diciptakan manusia dengan tujuan untuk mengklarifikasi tindakan seseorang pada seorang yang lain. Jika kau baik terhadap sesama kau mendapat anugrah, jika kau jahat terhadap sesama kau akan dihukum. Tetapi, hidup adalah paradoks. Seluruh zat yang merumuskan hidup takkan mengalir sesuai pun semurni teorinya. Bagaimana kau menjelaskan para pemerkosa masih terbebas di luar sana sedangkan orang baik yang ingin membantu sahabatnya justru terkhianati pun tertindas hidupnya? Takdir? Jawaban terbodoh yang pernah aku dengar. Istilah-istilah itu fana, Sayang.”
Lana menghembuskan napas. “Kita adalah cendekiawan. Tak seharusnya kita percaya hal tanpa pondasi rasional seperti doa dan dosa. Kalau pun kita harus mempercayainya, aku di sini hanya berbuat kebaikan. Aku menyayangi mantan kekasihku. Aku membebaskannya dari realitas yang membelenggu sukmanya.”
“Kita memang bukan makhluk yang sempurna, fakta itu jelas tercetak di setiap kromosom manusia. Tugas kita yang sekadar berkunjung sejenak ini adalah mencari jawaban untuk segala pertanyaan yang kita jumpai. Aku tak bisa melakukannya sendiri, maka dari itu aku mempercayai kamu, Sayang. Jika kau mulai meragukan aku, bahkan kita... aku tak segan untuk menghukummu juga,” tutup Lana seraya memeluk tunangannya.
Lelaki itu menelan ludah. Ia sadar, ia tidak sedang berhadapan dengan perempuan biasa.

“Ah, sebentar,” dengan cepat, Lana mengeluarkan surat itu lalu kembali menulis beberapa kata.
Untuk tak pernah dilahirkan, mungkin adalah anugrah terindah.
Lelaki itu membaca sekilas. “Sophocles?”
“Inilah alasan mengapa aku lebih memilih kamu daripada orang yang mengaku-ngaku sebagai penulis tapi tak mengerti apa-apa ini,” tawa Lana.

Dikaitkan lengan Lana ke lengan tunangannya. “Lagipula, jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri, bukan?”

Keduanya melangkah keluar, menembus malam yang dinginnya menusuk tulang.
Tak sepatah kata terucap dari bibir sang pembunuh dan si terbunuh.
Tragedi yang berakhir dengan tragedi.

Dan Lana, tersenyum manis.

***