"Saat apa yang ada dalam pikiran tidak bisa kita ucapkan satu per satu; tentang harapan, impian, dan kemampuan. Tulislah."
Sedikit cerita mengenai apa yang pernah saya alami semasa kecil, saat
semua orang bertanya tentang mimpi dan cita-cita. Ketika para orang dewasa bertanya, "tidak tahu" ialah kalimat yang keluar dari mulut saya, dan respon mereka seperti "loh, tidak tahu?" lalu tertawa.
Beranjak dewasa,
saya mulai punya bayangan akan jadi seperti apa nantinya. Saya akan hidup mandiri, tinggal di sebuah rumah dan punya
kendaraan sendiri. Itu bayangan sederhana untuk masa
mendatang. Ya
sesederhana itu pikiran saya dulu.
Semakin tumbuh dan bertambahnya umur, sesuatu tentang bagaimana saya ke depannya mulai terbentuk. Yang pada awalnya hanyalah cita-cita
sederhana dengan hidup mandiri, akhirnya menjadi impian besar untuk membahagiakan diri, orang tua, dan orang-orang di sekitar saya. Mereka, mereka lah yang menghidupkan hidup saya. Melihat senyum mereka yang membahagiakan saya; membahagiakan mereka, itu impian saya. Namun, hidup memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perjuangan, pengorbanan selalu dibutuhkan agar kita menjadi 'orang'.
Sesimple ini... saya ingin menjadi dokter.
Ah tidak, sebenarnya 'menjadi dokter' merupakan keinginan orang tua saya. Tetapi saya tidak melawan, saya tidak membantah. Bukan karena saya patuh dan mudah diatur, bukan karena saya telah membuang keinginan untuk hidup mandiri dan sendiri. Namun, lebih kepada saya ingin mencoba apa yang orang tua anjurkan dan mencoba membahagiakan mereka dengan menjadi anak yang mereka harapkan. Saya tidak mengorbakan kebebasan saya seutuhnya, karena saya juga menyukai ide 'menjadi dokter'... walau tidak sebesar menyukai menulis.
Saya ingin mendengarnya, saya ingin mendengar mereka mengucapkan, "Saya bangga padamu, Nak" kepadaku. Saya sungguh ingin melihat senyum yang mengembang di bibir mereka sesaat saya melempar topi wisuda dan mengangkat ijazah kelulusan tinggi-tinggi. Senyum Ayah dan Ibu ialah air surga, menenangkan rasa dan hati, menghidupkan jiwa yang mati.
Ayah, Ibu... terima kasih.
Sesaat setelah menjadi dokter, saya akan tetap menulis. Ya, untuk sekedar membahagiakan diri saya sendiri. Dengan menulis, apa yang ada di dalam hati, tercurah dengan lepasnya. Entah di saat sedih, entah di saat senang, saya akan menulis. Saya selalu merasa berbeda setelah menulis. Saya merasa... lebih menjadi saya. Entahlah.
Teman-teman saya selalu mendukung agar saya tetap menulis, bahkan tidak sedikit yang menyarankan saya untuk menulis novel. Saya sendiri sudah ada bayangannya, kerangka ceritanya, karakter-karakternya, dan saya akan benar-benar mewujudkannya.
Nanti.
Saya paham betul masih ada banyak hal yang perlu menjadi fokusku. Tugas-tugas sekolah, ujian akhir sekolah, ujian praktek, Ujian Nasional, tes IUP FKU UGM, dan sebagainya.
Sekali lagi, hidup memang tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Dan kalau begitu, mari. Apa yang sudah kita perjuangkan sejauh ini, mari kita selesaikan dengan sempurna. Untuk membahagiakan diri kita yang telah berjuang sepenuh raga. Untuk membahagiakan mereka yang membahagiakan kita.
Dan suatu hari nanti, ketika saya betul-betul sudah dewasa, menjadi dokter yang hebat dan penulis yang handal, saya akan memulai bermimpi untuk jatuh cinta. Jatuh cinta? Ya, dalam definisi yang sesungguhnya.
Yang tak akan membuatmu lelah dalam memperjuangkan cinta.
Yang tak akan membuatmu resah untuk kembali mempercayakan cinta.
Yang tak akan membuatmu berpikir ulang untuk berucap "saya cinta kamu".
Hidup memang masih panjang, dan tidak seharusnya saya berbicara tentang hal ini. Namun saya tidak bisa menahannya. Ucapan ialah doa, tentang segala yang baik dan yang buruk. Dan tentang yang baik ini, tentang cinta di masa nanti, semoga saja kita mencintai orang yang juga mencintai kita. Tidak harus secara cepat, asal tepat.
Hingga pada akhir yang entahnya kapan, semoga saya dan wanita yang beruntung ini akan terus berbahagia, terus bermimpi bersama, menjadi sebuah 'kita'.
Karena bahagia itu sesungguhnya dicari, bukan ditunggu.
Mimpi, terbanglah tinggi. Hingga menembus langit, hingga nanti kan kukejar dan kugenggam di antara jemari.
Jadi apa mimpimu? Semoga kau tak tertidur. Agar mimpi tetap ada, sesambil kau mewujudkannya.