Sunday, May 19, 2013

Di Batas Malam


"Aku lebih suka lampu warna kuning daripada warna putih."
"Terus?"
Aku menggaruk kepala. "Oke. Selain di bidang cuek dan nggak peka, kamu jago di bidang apa lagi?"
"Tuh kan, aku salah lagi..."
Aku terbahak. "Kamu selalu salah. Oke?" selorohku sambil mengacak-acak rambutnya. Seiring dengan tawaku yang meledak, bibirnya semakin mengatup cemberut. Namun, satu hal yang harus kau tahu. Cemberut tidak mengurangi kecantikannya.

"By the way, kita mau ke mana?"
"Tempat tercantik yang harus kamu tahu."

Malam ini seharusnya tidak ada rencana apa-apa. Seharusnya dia belajar mempersiapkan ujian tengah semester esok pagi. Seharusnya aku masa bodoh dengan kuliah dan melanjutkan tidurku. Hanya saja, ide gila selalu muncul tanpa diduga. Bermodalkan nekat, aku mendatangi rumahnya dan mengajaknya pergi. Yang lebih hebat lagi, dia mengiyakannya. Entah yang mana yang lebih berhasil, rayuan gombal atau sebungkus nasi ayam McD. Yang jelas kini dia sudah berada di kursi penumpang.

Di sisiku.
***
Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 10 malam. Hujan sejak satu jam yang lalu menyisakan rintik gerimis dan butir-butir embun di jendela mobil. Binar lampu kota sepanjang jalan turut menghiasi malam ini dengan cantik. Keduanya memang kombinasi yang tepat.
Aku selalu merasa ada yang berbeda dengan lampu kota yang berwarna kuning. Ia lembut, menenangkan. Atau seperti kata orang-orang pada umumnya; romantis. Beruntung aku tinggal di Jogjakarta, salah satu kota yang tepat untuk jatuh cinta. Lampu kota dan setiap sudut kotanya seperti memiliki sihir, menghipnotisku untuk jatuh cinta—jatuh dan jatuh semakin dalam. Tidak, aku tidak bermaksud untuk menjadi melankolis. Namun untuk kali ini, biarkan aku terhipnotis. Karena memang aku sudah jatuh cinta.

Kepada malam berarakan sunyi.
Kepada bias lampu kota yang menerpa kelam.
Kepada dia, purnama yang tak juga terbenam.

***
"Yak, sudah sampai, Nona."
Dia sedikit terheran. "Lho, ini... bukannya..."
"Udah, turun dulu aja." ujarku seraya meraih tangannya.

"Nah..." aku berdehem, "Selamat datang di tempat tercantik di Jogja, taman Grha Sabha Pramana."

Dia tertawa lepas.
Mungkin dia tidak pernah menyangka akan berada di sini, di antara lampu-lampu taman ditemani dingin malam.

"Kok kamu nyulik aku ke sini?" tanyanya sambil memperhatikan sekeliling.
"Menurutku, di antara semua tempat di Jogja, tempat ini yang paling romantis." jawabku. "Lampu kuning dan semua hal yang ada di sini, terutama sesaat setelah hujan. Cantik."
"Kamu sering ke sini?"
Aku menggeleng. "Sesekali. Namun aku benar-benar menyukai suasana di sini."
"Kamu... benar-benar cinta sama Jogja ya?"
"Nggak tahu. Walau aku baru tinggal di kota ini tiga tahun, Jogja tetap kota kelahiranku," aku mengambil jeda sebelum meneruskan kalimatku, "Banyak orang bilang, 'sempatkanlah untuk jatuh cinta di Jogja'. Dan ternyata mereka benar, ada yang berbeda ketika jatuh cinta di Jogja. Semua terasa menyenangkan."
"Bukankah ketika jatuh cinta semua terasa menyenangkan?"
"Di Jakarta, kamu nggak akan menemukan tempat seperti ini. Atau seperti jalanan Malioboro menjelang dini hari. Atau seperti pantai Indrayanti di malam tahun baru. Atau seperti Tugu Jogja saat senja."
Aku menghela nafas. "Jatuh cinta tidak selamanya menyenangkan. Apalagi jatuh kepada orang yang tidak tepat, serta pada tempat dan waktu yang tidak tepat pula."
"Jadi bersyukurlah kamu bisa tinggal di salah satu kota terindah yang jauh dari macet, ditambah lagi penuh dengan lelaki baik," tambahku sambil kembali mengacak-acak rambutnya.

Sesaat, taman yang nyaris seperti kuburan ini terasa lebih hidup. Malam ini Grha Sabha Pramana terlihat begitu anggun. Aroma petrichor yang menguar turut menambah sendu suasana. Namun, aku rasa ada sesuatu yang membuat tempat ini menjadi lebih romantis. Dia.

Di antara sepi, aku memperhatikan hal-hal kecil yang ada padanya; bias cahaya yang menerpa wajahnya, baju yang kebesaran namun sangat cocok untuk dia pakai, bibir tipis yang perlahan mengukir senyuman. Dia benar-benar tampak cantik malam ini. Aku tidak bisa berhenti mengaguminya.

"Hey, makasih ya." ucapnya memotong lamunanku.

Kini aku yang tertawa lepas. Aku tak bisa menyembunyikan rasa bahagiaku. Di antara segala kemungkinan yang mungkin terjadi, aku tak pernah menyangka sanggup berada di tempat ini, malam ini, bersama dengan dia.

Kau mungkin pernah berada di dalam situasi di mana kau sungguh begitu dekat dengan kedamaian. Cukup duduk berdua bersama dengan dia kau sudah merasa beruntung. Dia, seseorang yang membuatmu merasa lebih utuh. Seseorang yang sanggup melengkapi dirimu. Seseorang yang mampu membuatmu lebih mensyukuri hidup.
Ketika dia bahagia, kau pun turut bahagia. Ketika dia sedih, kau juga merasakan pilu yang sama.
Kau ingin sekali memeluknya erat. Kau ingin sekali berbisik di telinganya, "Tolong, tetap di sini".
Kau tidak pernah mau tertidur karena mimpi itu telah menjadi nyata.

Ya, karena perempuan ini, hidupku tak lagi sama. Karena Riani.
Aku mengenal Riani sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Saat itu aku baru saja pindah dari Jakarta dan tidak menahu tentang Jogja. Aku tidak pandai berbicara dan cenderung tertutup, sehingga cukup sulit bagiku untuk berkenalan dengan orang-orang baru. Tetapi Riani hadir. Dengan ramah, dia menjabat tanganku dan mempersilakan aku duduk di sampingnya. Dia mengajariku berbahasa Jawa dan bertingkah laku sopan layaknya orang Jogja. Dia mengenalkan aku pada keindahan Malioboro, Tugu, dan Kotabaru. Dia begitu bersemangat setiap kali mengajakku pergi untuk sekedar makan di pinggir jalan dan menikmati malam. Dia membuatku jatuh cinta kepada Jogja.

Dia... Dia berbeda.

"Diem aja Bang, kayak gagang pintu," selorohnya seraya menyentuh keningku.
"Woy!"
Dia tertawa. "Iya-iya, bercanda kali ah."

Seketika, Riani menarik tanganku.
"Hei... kau tahu, lampu-lampu ini seperti lighting dan taman ini panggungnya. Bagaimana kalau kita berdansa?"
Alisku kuangkat sebelah. "Berdansa?"
"Iya, berdansa."
"Tapi aku..."
"Ayolah," ajaknya dengan nada manja.

Belum-belum jemarinya sudah menggenggam tanganku erat.
"Setiap dansa pasti butuh lagu kan? Tenang... semua beres."
Sebuah lagu terputar dari handphone milik Riani. Aku mengikuti ketukan-ketukannya. Lagu ini terasa tak asing bagi telingaku. Secara tidak sadar, aku mulai menyanyikannya.

L is for the way you look at me
O is for the only one I see
V is very, very extraordinary
E is even more than anyone that you adore can...


"Ini..."
"L-O-V-E, Nat King Cole tahun 1965," jawab Riani cepat.
"Seleramu bagus."

Riani tidak menanggapi pujianku. Dia sudah hanyut dalam dunianya sendiri. Diiringi melodi-melodi lembut, Riani mulai berdansa. Riani begitu ringan menggerakan tangan dan kakinya, seolah dia sedang melayang di udara. Riani berdansa seperti peri dalam dongeng, cantik dan anggun. Riani begitu mempesona. Setiap gerakannya berhasil menghipnotis tubuhku untuk ikut berdansa bersamanya. Di atas panggung imajiner ini, kami terus berdansa. Lampu-lampu taman menjadi penonton atas pertunjukkan kami berdua. Aku dan Riani seperti sepasang kekasih yang sudah tidak lama bertemu, melampiaskan rindu dan haru dengan berdansa bersama.

"Kamu bener. Tempat ini romantis."
"Dan juga malam ini. Sama-sama romantis."
"Kamu tahu apa yang harus kita lakukan lagi kan?"
"Apa?"
"Berdansa lebih lama."

Riani melingkarkan kedua tangannya di pinggangku. Perlahan, dia kembali menggerakkan tubuhnya, memimpin dansa di antara kami berdua. Kubiarkan tubuhku bergerak mengikutinya. Riani tersenyum saat kucoba menggenggam tangannya. Dan senyum itu... oh Tuhan, ingin rasanya aku memundurkan waktu untuk kembali melihat senyum itu. Tanpa pikir panjang, segera kupeluk dirinya. Erat.
Pelukan itu begitu hangat dan nyaman. Aku dan Riani sama-sama tidak lagi berdansa maupun berbicara. Kami sama-sama hanyut dalam keheningan ini. Tanpa perlu banyak kata, kami sama-sama paham, kami telah jatuh satu sama lain. Dan kini kami hanya ingin menikmati malam.

Kami hanya ingin menikmatinya, berdua.

Love is all that I can give to you
Love is more than just a game for two
Two in love can make it
Take my heart and please don't break it
Love was made for me and you.


***

Malam ini Grha Sabha Pramana terlihat begitu anggun. Aroma petrichor yang menguar turut menambah sendu suasana. Lampu taman membuat cantik sudut-sudut yang redup. Bersamaan dengan itu, bulan dan berbagai konstelasi bintang di langit sana ikut berdansa bahagia.
Semuanya nampak romantis.
Di antara sepi, aku masih memeluknya. Erat. Dan entah siapa yang memulai lebih dulu. Namun yang kuingat, kedua bibir kami sudah saling bertemu.

Ternyata yang mereka katakan itu benar.
Jatuh cinta di Jogja terasa menyenangkan.

Love was made for me and you
Love was made for me and you
Love was made for me and you... 

***