Sunday, January 20, 2013

Kepada Malam

Hai malam.
Bagaimana rasanya menjadi kamu?
Menjadi puisi bertemankan sunyi.
Menjadi jeda di antara gelap.
Menjadi bara tanpa pelita.

Hai malam.
Apa kau tidak lelah menyendiri?
Berbajukan pilu, kau melangkah keluar. Menggantikan senja, menggantikan cipta, cita, dan cinta yang mereka sebut sebagai indah. Kau berdiri, sendiri. Tidak peduli dengan hirauan mereka.
Kau tersenyum, pahit.
Kau melirik kepada dua saudaramu, bulan serta bintang. Lalu, kau paham, mereka bukanlah kamu.
Bukan sosok dingin yang tatapnya menusuk tulang.
Bukan sosok manis yang menghibur dalam luka.
Bukan sosok dewi yang dicintai kesendirian.
Bukan sosok yang tak diinginkan.

Hai malam.
Di antara yang membencimu, aku mencintaimu.
Aku bisa merasakanmu. Mendekapku erat, lekat, hingga mati pun terasa dekat.
Kau, malam. Kau berbalut kalut. Sendiri, kau tangisi dirimu.
Andai kata aku menjadi langit di setiap kau ada, aku tidak akan membiarkanmu berduka. Pedihmu biar aku yang menyangga. Hingga tidak lagi hampa memeluk ragamu. Hingga tidak lagi kau tertawa dalam tangismu.

Hai malam.
Ini surat pertamaku untukmu.
Jangan pikirkan aku, aku hanya seorang yang mengagumi keindahanmu.
Aku berdoa. Semoga kelak, bahagia ialah warna hidupmu.
Aku tidak sabar bertemu denganmu nanti, sayang.




Aku,


Pemujamu.

Saturday, January 19, 2013

Surat Tanpa Rindu

Berhubung sedang tidak enak badan dan sore nanti harus menghadiri sebuah acara, aku akan menulis surat ini dengan cepat dan tanpa perasaan. Surat ini akan aku tulis seperti surat kebanyakan. Pembuka, isi, serta penutup akan aku susun sedemikian rupa supaya surat ini tidak lagi bersirat rindu.

Jadi, apa kabar? Baik-baik saja, kan? Bagus, berarti Tuhan mendengar doaku.
Aku? Aku rasa aku baik-baik saja. Aku sudah sanggup berdiri tanpamu, jangan pikirkan aku.

Ah, iya. Bagaimana dengan nilai-nilaimu di sekolah? Bagaimana dengan persiapanmu menghadapi ujian akhir April nanti? Kau tahu, aku siap kapanpun kau memintaku untuk mengajarimu. Sudah lama aku tidak berkunjung ke rumahmu. Sudah lama kita tidak mengobrol tentang pelajaran, tingkah teman-teman di sekolah, maupun hal kecil lainnya. Sudah lama aku tidak melihat lukisan-lukisan yang kau sembunyikan dengan rapi seperti kau menyembunyikan pilumu. Sudah lama kita tidak menikmati senja bersama.
Aku dengar, kau sedang tak akur dengan lelakimu. Semoga kalian berdua segera mengucap rindu untuk satu. Aku mendoakan yang terbaik bagi kalian.
Tidak, aku tidak mengganggapnya sebagai celah untuk masuk dalam hidupmu. Kau tidak pernah membukanya. Hati kecilmu sudah penuh akan cinta yang besar kepadanya. Kau betul-betul mencintai lelaki ini. Dan aku, entahlah. Aku masih memimpikanmu.

Baiklah, surat ini aku akhiri saja karena semakin lama, obrolanku semakin tanpa arah.
Semoga bahagia, seperti yang dulu kau janjikan padaku.
Dan tolong tetaplah jaga hatimu. Karena bukan aku yang ada di sisimu. Karena bukan aku simponi rindu lelap tidurmu. Karena bukan aku senja bahagiamu.

Tunggu... Sepertinya aku melanggar janji untuk tidak menyiratkan rindu.
Ya sudah.
Aku merindukan kamu.




Teruntuk kamu,


Penulis Rindu.

Friday, January 18, 2013

18 Januari 2013

Jadi begini.
Hari ini tidak berjalan dengan baik. Hari ini saya melakukan hal-hal yang cukup buruk.
Hari ini busuk.

Pertama, saya tidak memahami logika orang yang tidak pernah peka. Perlu contoh? Baiklah. Kamu sedang mempunyai masalah. Masalah itu sebenarnya tidak rumit, namun ia cukup mengganggu tidurmu. Lalu, kamu bercerita kepada salah satu sahabat baikmu. Sebenarnya kamu tidak meminta sebuah penyelesaian. Cukup dengan didengarkan, kamu sudah merasa lega. Sayang, skenario itu tidak terjadi. Orang yang kalian sebut sebagai sahabat baik itu merendahkan kamu. Dengan mudah mereka menyalahkanmu tanpa memahami masalah tersebut. Kata-kata bersirat hina terus menyudutkanmu yang sebenarnya sama sekali tidak tahu-menahu. Dan sisanya, kamu bisa membayangkan sendiri.

Sebelum kalian berpikir yang tidak-tidak, saya tidak bermaksud menulis catatan harian. Saya juga tidak bermaksud menjadi lemah, mengeluh kepada Semesta, ataupun meminta untuk dikasihani. Semua yang saya tulis ini memang tidaklah penting karena setiap manusia pernah mengalaminya. Dan saya hanya melakukan tugas saya sebagai seorang manusia, marah.
Tidak dewasa sama sekali ya? Oh, saya tidak peduli.

Kedua, saya sangat benci kesendirian. Sebagai anak tunggal, yang saya butuh hanyalah perasaan dibutuhkan. Mengapa kamu tidak mencari teman baru? Mengapa kamu tidak melakukan kegiatan lain? Mengapa kamu tidak berusaha menikmati hidup? Saya sering menanyakan semua itu kepada diri saya sendiri. Secara teori, jawaban untuk semua pertanyaan di atas sudah ada. Secara praktek, tidak semua sesuai rencana. Mencari teman baru? Sudah. Mencari teman baru yang benar-benar bisa memahami hati dan jalan pikiran kamu? Belum, atau memang teman seperti itu hanya ada di dongeng kanak-kanak. Melakukan kegiatan lain? Menulis, merenung. Hasilnya? Bisa kalian tebak sendiri. Berusaha menikmati hidup? Oke, menurut saya ini pertanyaan paling omong-kosong. Tidak ada yang tidak mencintai nikmat hidup, kebahagiaan, atau apalah itu. Termasuk saya. Saya bahagia ketika berada di sekitar orang-orang yang butuhkan. Ketika saya membutuhkan seseorang, berarti saya mempercayainya. Dan seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, tidak semua sesuai rencana. Beberapa orang, saya rasa, tidak membutuhkan saya. Meremehkan, lalu membuang.
Entahlah. Sepertinya, kesendirian benar-benar mencintai saya.

Baiklah, tugas saya untuk menulis sudah terlaksana.
Tugas kalian? Tugas kalian ialah menertawakan saya dan tulisan saya.
Selamat tertawa.

Thursday, January 17, 2013

Tidak Lagi Tentangmu

Selamat sore.
Aku baru saja kembali dari sekolah. Ditemani segelas air putih serta Tega milik Glenn Fredly, aku menulis surat ini.

Surat ini tertuju kepadamu. Kepada dua cangkir kopi yang mulai menghambar. Kepada obrolan-obrolan semu tentang masa depan. Kepada peluk hangat yang tidak lagi mendekap erat. Kepada setiap imaji bahagia yang tidak pernah menjadi realita.

Kepada masa lalu.

Jadi, bagaimana rasanya?
Bagaimana rasanya jatuh cinta hanya karena merasa bahagia, lalu pergi meninggalkan ketika bahagia tidak lagi dirasa? Cinta ada, karena ada dua yang menjadikannya satu. Cinta, cita, sayang, kasih, asmara, amor, afeksi, dan segala sinonimnya itu menjadi hidup karena ada kita yang menghidupkan. Dan kau berlalu, menjadi masa lalu. Kau lelah, menyerah.

"...kau bunuh hatiku,
saat ku bernafas untukmu,
kau kebanggaan aku
yang tega menipuku."

Aku tidak bermaksud mendayu-dayu, memintamu untuk kembali, ataupun mengharapmu mencintaiku lagi. Luka yang kau gores sudah begitu fasih mengiris mimpiku. Semuanya sudah menjadi debu, kau tiup bersama asa yang terbang menjauh.
Aku tidak membencimu. Aku meminta kepada Tuhan agar suatu nanti kau bisa memahami, cinta tidak sekedar tentang merasa bahagia. Karena luka ialah bagian dari perjalanan, dan akan benar-benar menjadi duka jika sendiri yang menanggung.
Aku tidak menyalahkan kamu. Merelakanmu menyerah ialah kesalahan fatalku. Ya, aku bersalah, dan kau menyerah. Memang tidak ada yang bisa diperjuangkan sudah.

Surat ini tertuju kepadamu. Namun tidak dengan sayangku.
Maaf, sudah tidak ada kamu dalam semesta rinduku.




Teruntuk kamu,


Desember 2012

Wednesday, January 16, 2013

(Bukan) Surat Cinta

Singkat saja, ini bukan surat cinta.
Sekali lagi, ini bukan surat cinta.
Walau aku mengikuti program #30HariMenulisSuratCinta, surat untuk hari ke-3 ini bukanlah surat cinta.

Ya, ini bukan surat cinta. Karena si penulis dan si penerima surat tidak sedang jatuh cinta, tidak sedang diberi ataupun memberi cinta, serta tidak saling cinta satu sama lain.
Ini bukan surat cinta. Bukan begitu, Aura Andaruni?

Tidak perlu berbasa-basi dengan pertanyaan 'apa kabar?', 'sehat kan?', maupun 'aku rindu kamu, kamu rindu aku juga tidak?' karena kita sama-sama tahu apa jawabnya. Apa? Kau tidak tahu? Oke... Mari kita sedikit menyegarkan otak dan menengok ke belakang.
Masih ingat pertama kali kita berkenalan? Lupa? Sama, aku juga.
Masih ingat pertama kali kita mengobrol? Masih? Hebat, aku bahkan tidak ingat.
Masih ingat pertama kali kita pergi bersama? Masih? Ah tentu saja, karena malam itu juga malam minggu pertama aku pergi dengannya dan aku memintamu untuk menemaniku, yah.. walau berujung gagal.

Dan masih banyak hal bodoh lain yang kita lakukan setelahnya. Tunggu dulu... kita? Kamu saja dengan semua tingkah lugumu yang membuatku tertawa serta setiap curhatan yang kau ceritakan dengan hebohnya. Masih berani mengelak? Tunggu sampai suaramu di telepon berhasil kurekam dan kuunggah di internet, hahaha.

Baiklah, kembali serius.
Aura, terima kasih telah menjadi sahabat yang baik selama tiga tahun ini. Terima kasih telah mendengarkan semua ocehan dan curhatan tidak pentingku. Terima kasih telah membolehkan aku ikut melakukan hal-hal bodoh bersamamu hingga kini. Terima kasih telah mempercayakan dirimu kepadaku.
Dan maaf. Maaf jika aku sering mencubit pipimu ataupun mengacak-acak rambutmu tanpa alasan; aku tahu kamu terganggu. Maaf jika kadang aku suka tiba-tiba muncul di depan kelasmu, tidak berkata apa-apa namun tersenyum, lalu pergi begitu saja. Maaf jika kadang aku tak bisa menjadi sahabat yang baik, yang mau mengesampingkan ego dan mendengarkan ucapmu. Maaf jika tingkahku berlebihan.

Ini ialah bagian akhir dari surat, aku akan mengambil kesimpulan.
Aku nyaman denganmu. Kamu tetap bodoh seperti ini pun, aku nyaman denganmu.
Semoga aku bisa menjadi teman yang lebih pengertian lagi untukmu. Semoga kau masih membolehkan aku menjadi bodoh sepertimu. Semoga kita sanggup membuat satu sama lain semakin nyaman. Semoga kita tetap bersahabat baik hingga tahun-tahun mendatang.

Aura Andarruni, kau ialah sahabat yang baik.

Ah iya, satu lagi.
Ini bukan surat cinta.
Dan berhubung nama kita sama-sama berinisial "AA", mengapa kita tidak berjodoh saja?




Teruntuk,


Aura Andaruni Sudar

 


Tuesday, January 15, 2013

Teruntuk Michelle.

Setiap surat dimulai dengan kata 'Hai', 'Apa kabar?', dan terkadang 'Semoga kamu tetap berbahagia ya'. Maka begitu juga surat ini.

Hai. Apa kabar? Semoga kamu tetap berbahagia ya.

...Dan aku hanya mampu berkata demikian karena jujur saja saat ini aku canggung.

Kau ialah embun yang... Ah, sudahlah. Aku tak pandai melukiskan betapa cantik perempuan dengan akun bernama @DAMITCH yang sudah kuikuti linikala-nya sejak dua tahun lalu ini. Aku tak pandai mengandaikan kau seindah purnama, secantik langit senja, atau senyaman surga. Yang kutahu hanyalah, aku benar mengagumimu.

Tidak hanya itu.
Setiap kata yang kau eja, setiap baris yang kau tulis, setiap bait puisi yang kau hembuskan nyawa, selalu saja membuatku merinding. Entahlah. Mungkin aku telah jatuh cinta kepada bagian dari dirimu.

Terima kasih telah membolehkan aku menjadi pengagummu. Terima kasih telah menjadi sumber inspirasiku hingga kini. Semoga suatu saat nanti, akan ada percakapan di antara kita, sesambil ditemani sesap hangat kopi dan tawa hingga waktu terlupa. Semoga semesta mengabulkannya.

Terima kasih telah membaca surat ini.
Kau ialah sajak favoritku, Michelle Vinca.
Senang telah mengenalmu.



Teruntuk, 


Elizabeth Michelle Vinca Liao.



.

Monday, January 14, 2013

Kamu, Kabar Baikku.

Hai.

Sepertinya, aku sudah berulang kali mengucap ‘hai’ kepadamu. Yah… meski kadang tidak kau hiraukan. Jadi, apa kabar? Aku harap kau selalu berada dalam kabar baik seperti yang pernah kau janjikan padaku. Aku harap kau selalu dikelilingi teman-teman yang baik serta sanggup memahami senang dan sedihmu. Aku harap kau selalu berbahagia dengan dia yang tak bosan-bosannya kau ceritakan padaku; dia yang benar-benar kau cintai. Aku? Aku masih seperti dulu. Merindukanmu.

Kau tahu? Senja ialah kita, warna dikromatik yang melebur menjadi sesuatu yang mereka sebut sebagai indah. Dua yang pernah saling rindu, yang pernah menulis bahagia dengan tinta senyum dan sayang walau sesaat. Dua yang kemudian berjalan menjauh, memutuskan menjadi sebatas sahabat.

Aku mengingat betul. Bagaimana aku suka menutup matamu dari belakang dan bagaimana kau tertawa karenanya. Bagaimana aku suka memandangimu lekat-lekat dan bagaimana kau merasa terganggu meski tersenyum juga. Bagaimana kau marah karena aku mulai ditemani sebungkus rokok di tiap malam dan bagaimana aku menyesal setelahnya. Bagaimana aku berusaha mengejarmu untuk meminta maaf dan bagaimana kau tidak lagi peduli lalu pergi meninggalkan.

Kau ialah mimpiku, dan mencintaimu dalam diam ialah realita yang harus aku terima.

Aku masih mencintaimu.
Meski kau tidak pernah tahu.
Meski kau tidak perlu tahu.
Meski kau tidak mau tahu.

Kau tahu? Mereka menertawakan aku. Mereka kerap memaksaku untuk melupakan kamu, serta semua yang kupendam selama tiga tahun ini. Cinta juga menuntut logika; tidak hanya mengutamakan perasaan yang bisa mengubahmu menjadi bisu dan tuli, yang bisa mengubahmu menjadi budak waktu untuk selalu diam menunggu, kata mereka. Entahlah, aku tidak peduli. Jika mencintaimu ialah bodoh, aku rela tidak memahami apa-apa selain kebahagiaan kecil yang kini kugenggam.

Terakhir, terima kasih telah membaca suratku.
Jika suatu saat kau membalas suratku, jawabku untuk “apa kabar?” darimu ialah “aku baik-baik saja.”
Ya, karena memang aku baik-baik saja. Aku mencintaimu dalam diam dan aku bahagia.
Mungkin akan tiba saatnya aku merasa lelah dan kau benar tidak membuka hati untukku.
Pergi ialah pilihan, melupakan ialah jawaban.
Namun jika suatu saat kau memutuskan untuk bersamaku, tentu hatiku siap menerima.
Karena kamu, kabar baikku.




Teruntuk kamu,


Juli, 2010.

Wednesday, January 2, 2013

Ketika Senja Itu

"Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta... kepadaku..."
"Heh, suaramu itu jelek, diem aja deh." potong Rena seraya menutup mulutku. "Nah, begini kan bagus. Lantunan melodi Once dan suasana sunyi ketika senja. Bukan suara nggak jelas dari kamu." lanjutnya. Aku mengangguk pasrah. Sekian detik, aku bisa melihat senyumnya yang tipis mengembang. Manis. Aku ingat perkataan para ilmuwan baru-baru ini. Mereka menjelaskan, saat senja, langit membiaskan dua gelombang cahaya, merah dan jingga, yang kemudian ditangkap dan diproses oleh otak menjadi sesuatu yang membuat kita merasa lebih tenang, merasa lebih nyaman. Dan jika cahaya jatuh pada suatu benda lalu dipantulkan masuk ke dalam mata, benda itu akan terasa lebih indah. Entah, aku sendiri tidak begitu paham. Namun Rena terlihat sangat cantik sore itu. Aku tidak bisa berhenti mengaguminya.

"Sebenarnya, kita mau ke mana sih?"
"Kita mau ke masa depan" jawabku asal. Rena tertawa kecil sambil mencubitku pelan. "Lho, serius ini, kita mau ke masa depan. Kita akan melihat bagaimana manusia akhirnya bertemu dengan alien-alien Bulan atau bahkan berdamai dan chatting via WhatsApp dengan mereka, bagaimana mobil-mobil terbang itu berlalu lalang di langit kemudian sebagian dari mereka berubah menjadi Autobot, serta bagaimana Doraemon diciptakan dan membantu manusia dengan alat-alat ajaibnya." jelasku makin asal.
Jujur saja, aku tidak tahu kami berdua akan ke mana. Sedari siang, kami hanya berputar-putar Jogja tanpa ada tujuan. Snack, minuman, diikuti obrolan-obrolan ringan. Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama dia.

"Kalau kamu diberi kesempatan ke masa depan, kamu mau ngapain?"
"Nggak ngapa-ngapain."
"Nggak ngapa-ngapain?"
"Nggak ngapa-ngapain."

Aku tertawa heran.
"Jadi, menurutmu tidak ada hal menarik di masa depan?"
"Bukan begitu, justru ada banyak hal menarik di masa depan. Begini Radit, masa depan itu seperti beberapa kotak yang di dalamnya terdapat banyak mainan. Namun kotak itu tertutup, kita tidak tahu apa isinya, dan kita hanya boleh memilih satu," terang Rena, "Rasa penasaran itu yang menurutku lebih menarik daripada isinya. Bukankah yang paling penting itu proses untuk menuju masa depan?"
"Hmm..."
"Seperti masa lalu, masa depan tak perlu dibuka, dan memang tak seharusnya dibuka. Biarkan saja menjadi misteri. Dan masa kini, jembatan menuju masa depan, kita bangun baik-baik supaya kita tahu pada akhirnya di mana kita akan berhenti melangkah." tambahnya.
"Dit, Radit. Kamu dengerin aku kan?"

Aku tersadar dari sekian detik yang kugunakan untuk mengagumi betapa cantiknya dia sore ini. Sekali lagi, senja menunjukkan magisnya. Jika saja aku mempunyai nyali lebih, mungkin aku sudah mengecup bibirnya.

"Ren."
"Ya?"
"Kamu mau jadi masa depanku?"
"Hah?"
"Nggak apa-apa. Ah, itu senjanya bagus."

***

Entah di mana, 1 Januari