Aku tahu, ada sesuatu yang menunggu
di balik pintu kaca itu. Dunia yang terang dan luas, seperti yang dikatakan
para musafir. Mereka bilang, aku bisa belajar tentang hidup di luar sana. Tawa
dan tangis, gembira dan sedih. Semua yang ingin kutahu ada di balik pintu kaca
itu.
Perlahan, kuturun dari kasur.
Kulangkahkan kaki menuju pintu kaca. Jantungku berdegub. Inilah saatnya melihat dunia luar, batinku. Kusibakkan gorden pintu.
Dan seketika mataku berbinar. Jadi... ini
dunia luar... Kulihat anak-anak kecil berlarian sambil membawa bola. Dari
belakang, seorang wanita tergesa-gesa mengejar mereka. Sepertinya itu ibu
mereka. Di tengah taman, sebuah keluarga sedang mengadakan piknik. Mereka semua
terlihat akrab dan bahagia. Lalu di sudut taman, tampak sepasang kakek-nenek sedang
berjalan-jalan sore. Si kakek menggenggam tangan si nenek. Keduanya tersenyum
satu sama lain. Romantis.
Samar,
cahaya matahari menembus pintu kaca. Ia lembut dan hangat. Seolah mengajakku
keluar dari ruang sempit yang terus mengurungku.
Ya,
aku ingin! seruku.
Dengan terburu-buru, aku membuka pintu
itu. Terkunci.
Segera
kukeluarkan kunci dari dalam saku. Kucoba sekali lagi membukanya. Tak bisa.
Aku
mulai panik. Dengan sekuat tenaga aku menendangnya, memukulnya, mendobraknya.
Masih tak bisa.
Kenapa? Kenapa?! Kutabrakkan
diriku ke pintu kaca. Dan seketika, aku terpelanting ke lantai. Jatuh tersungkur.
Kucoba untuk bangkit namun tak bisa. Tak ada tenaga lagi untukku mencoba.
Oh ya Tuhan...
Kenapa... Air mata perlahan jatuh dari kedua mataku. Dalam
hitungan detik aku menangis sejadi-jadinya. Kuteriakkan sumpah serapah dan
segala makian yang entah kutujukan pada siapa. Aku terus menangis sampai tak
ada lagi air mata yang lagi keluar. Aku tersungkur, lelah dan pasrah.
“Kau
tak akan keluar... Karena apa? Karena kau takut hidup di luar sana...” bisik
seseorang di telinga.
Aku
tersontak kaget. Siapa itu?! Tunjukkan
dirimu! Aku menoleh ke kanan dan kiri namun tidak menemukan siapapun.
“Aku?
Aku adalah dirimu...” bisiknya lagi, “Kau takkan pernah bisa keluar. Karena kau
takut. Kau takut akan pedih yang kelak mampir di tubuhmu. Kau takut akan sakit
yang kelak mampir di hatimu. Dan kau... Kau terlalu pengecut untuk sekedar
menjalani hidup. Hahaha... Hahahahaha...”
Perlahan
bisikan itu menghilang. Begitu pula dengan suara di luar. Teriakkan anak-anak.
Celotehan keluarga. Tawa kakek-nenek. Hening. Tak ada suara lagi yang aku
dengar.
Kusenderkan
tubuhkku pada dinding. Dalam diam, kucoba mencerna kata-katanya. Ia benar. Aku
ingin pergi ke luar sana. Aku ingin berjalan, berlari, menikmati mentari dan
apapun yang ada di luar sana. Namun jauh di dalam hati, aku sebenarnya tak mau.
Aku
takut. Aku takut dengan cobaan. Aku takut dengan rintangan yang kelak
menghadang. Aku takut dengan segala sakit dan perih yang pasti akan kurasa. Aku
takut dengan apa yang mungkin terjadi di depan sana. Lagipula aku merasa nyaman
di sini. Aku merasa bahagia meski hidupku dibatasi oleh ruangan 3x3 meter
persegi. Aku merasa tak butuh sesuatu yang baru di hidupku.
Mungkin
ini yang terbaik untukku. Mungkin ini yang seharusnya aku jalani.
Hidupku,
memang di sini.
***
Senja
berganti menjadi malam. Cahaya bulan menembus pintu kaca itu. Cantik, juga
indah. Kuintip dunia luar. Sepasang
kekasih tengah berjalan-jalan menikmati malam. Sejenak si lelaki memeluk
pasangannya erat. Mereka saling berpandangan. Dan entah siapa yang memulai,
mereka berciuman.
Aku
tersenyum kecil. Kulangkahkan kaki ke tempat tidur. Kurebahkan tubuhku lalu
memejam. Aku berdoa, supaya aku bisa tertidur dan bermimpi. Karena aku hanya
bisa bermimpi. Tanpa pernah tahu, apa itu hidup.