Artwork by Rafika Anggraeny
Aku
selalu menyukai sesuatu yang baru. Entah itu baju, entah itu sepatu. Entah itu makanan, entah itu pengalaman. Aku selalu
membanggakan setiap hal yang baru di depan sahabat-sahabatku. Aku akan
memulainya dengan bercerita bagaimana aku bisa mendapatkannya. Kemudian
kulanjutkan dengan menyebut detil-detil yang baik dari hal itu. Tak perlu
banyak, asal menyakinkan. Dan sebagai penutup, aku akan membandingan sesuatu
yang baru itu dengan sesuatu yang lama. Kalimat-kalimat seperti "Hey,
sepatu ini lebih keren daripada yang dulu kan?", "Yuk ke kafe yang
baru dibuka dekat kantor. Gue denger tempat itu jauh lebih sophisticated",
atau "Lo udah lihat sekretaris baru si Bos? Sekretaris yang lama kalah
cantik, bro!" akan meluncur begitu saja. Setelahnya, aku akan menunggu
reaksi mereka. Aku hanya akan merasa puas bila mereka berhasil tersedot ke
duniaku. Tentu dengan mata berbinar, dengan mimik muka kagum bercampur senang.
Mereka tahu betul, bagaimana
aku akan memparafrase pemikiran konyolku, bagaimana aku akan sesekali memberi
jeda untuk tertawa, bagaimana gestur tubuhku ketika tak sabar menanti jawaban mereka. Tak
jarang mereka bosan dan tak lagi tertarik. Baris kata yang kususun megah
sekadar masuk ke telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri, atau bahkan mental begitu
saja. Seperti mendongengkan roman klasik kepada para remaja yang melabeli diri
mereka modern. Ya, hanya disambut dengan senyum yang, kau tahu...
semu. Tapi tak masalah. Aku masih sanggup bercerita.
Aku
begitu mengagungkan teori evolusi. Tak perlu terpaku pada jurnal-jurnal yang
dipublis para ahli, aku rasa setiap hal yang menyusun semesta tak bisa mati.
Materi ini kemudian bermutasi, bertransisi, bertransformasi menjadi unsur baru
dengan struktur kompleks dan distingtif tanpa kehilangan esensi. Mereka
terlahir kembali.
Indah
bukan? Konsep yang abstrak namun sungguh substansial.
Kita,
manusia, adalah pondasi utamanya. Selayaknya matahari, kita adalah pusat kosmik
kehidupan, diitari oleh puluhan hingga tak berhingga tawa, tangis, marah,
dengki, ceria, dan pilu. Akan tetapi, tidak ada satu hal pun yang akan tetap
statis. Semua kembali berevolusi, mengikuti arus agung sang waktu yang dinamis.
Cinta,
tak terkecuali.
***
“Sudah
menunggu lama?”
Aku
menoleh, mendapati sesosok perempuan berdiri di depanku. Ia tersenyum. Manis. Mungkin sudah berpuluh kali
aku melihatnya. Namun ada sesuatu pada
senyuman itu yang membuat organ
di dada kiriku bekerja tak ritmis, tak lagi sistematis.
Spontan
kupeluk tubuhnya. Ada rindu yang tumpah ruah. Ada hangat yang begitu dekat.
Pada detik pertama, aku bisa mendengar riuh tawanya, tawa kami berdua. Tawa kemenangan
terhadap segala penantian dan perjuangan atas nama cinta yang terbayar sudah. Kami
betul-betul larut dalam perayaan yang kami ciptakan sendiri. Kepuasan memenangkan
undian milyaran rupiah pun tak mampu melebihi. Ya, dia sungguh tak ternilai. Pada
detik kedua, aku bisa merasakan lukanya. Luka yang ia simpan dalam kotak kecil
yang tak pernah ditunjukkan pada siapapun. Luka yang ia gores karena mempertentangkan
definisi cinta dengan idealismenya sendiri. Semakin kurekatkan pelukku semakin
aku bisa menyelinap masuk ke
kotak kecil itu. Pedih—tak kurasakan apapun selain
perih yang sedemikian pedih dan sakit yang sedemikian pahit. Ia merintih. Luka
itu sudah ia pendam terlalu lama hingga
membusuk dan kadaluarsa. Kuulurkan lenganku. Kugapai tubuhnya.
Kuuobati ia perlahan. “Tak apa,”
bisikku, meski kutahu bahwa tak ada yang
selamanya baik-baik saja. Lalu pada detik berikutnya, aku memohon kepada semesta
supaya tak ada lagi detik-detiknya berikutnya. Biarlah momen ini berhenti,
abadi. Waktu adalah musuh bagi dua yang saling rindu. Tidak ada yang bisa
melawan kuasanya memenjarakan mimpi. Tidak juga aku, tidak juga dirinya. Dan seperti dongeng
yang pernah kau baca, setelah jarum jam kembali berdetik, aku dan dia akan kembali
pada realita, menjadi sebuah
labu dan seekor tikus.
Kulonggarkan
pelukku. Ia masih tersenyum. Manis. Tak buru-buru ia duduk, seolah memberiku
waktu untuk memperhatikan penampilannya. Ia mengenakan jaket hitam dipadukan dengan boots
coklat yang menawan. Riasan
di mukanya tak berlebihan, justru senada dengan rambutnya
yang basah oleh hujan. Dan bibirnya... bibir itu dipulas warna merah menyala. Elegan,
sensual. Aku menelan ludah.
“Do I look bad?” tanyanya takut-takut.
Aku
menggeleng. Kamu luar biasa.
***
Cinta
adalah evolusi. Ketika kau mencintai seseorang, zona subkonsius dalam kepala
mencoba mengubah beberapa detil pada dirimu. Kau akan berdandan lebih rapi,
menyemprot lebih banyak parfum sebelum pergi. Kau akan menjadi suka mendengar lagu-lagu
berlirik sentimental yang dulu kau hindari. Kau akan tertawa lebih sering bahkan
karena sebab yang tak lucu sekalipun. Kau akan menata dirimu lebih baik—caramu
bertutur kata, caramu bersikap berada sekitarnya—agar ia bangga padamu. Dan tentu,
kau akan lebih rentan terluka.
Perlahan jiwamu terkikis. Dinding kokoh bernamakan logika
meruntuh bersama dengan ego yang selalu kau junjung tinggi. Kau berusaha kabur
dari jeratannya, tetapi tak kau temukan tempat berlindung. Kembali kau mencoba
berlari, berlari, dan berlari. Hingga kau temukan dirimu berdiri di ujung
tebing. Tersudut, kau putuskan untuk berhenti. Kau relakan dirimu menjadi
tawanan dalam duniamu sendiri. Kau yakin kau bisa lolos suatu hari nanti. Namun,
perhitunganmu salah. Keseimbangan eksistensimu terusik. Kau tak mengira sesuatu
yang kasat mata bisa sedemikian destruktif namun tetap memiliki sifat konstruktif.
Dan kau ikhlaskan dirimu terlahir kembali. Hingga di suatu pagi, kau bangun dan
berdiri di depan cermin, terperanjat. “Siapa
dia?!” teriakmu. Dia adalah kamu, kuberitahu. Dengan segala kebaikan dan
kekurangan, dia tetaplah kamu. Tak mengherankan jika manusia yang hanya tahu cara
berburu dan bercocok tanam mampu menulis sebuah prosa romantis.
Kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan baru. Bukankah cinta
itu pengorbanan? Bukankah cinta itu memerdekakan? Mengapa sesuatu yang tak
mewujud bisa disahihkan eksistensinya? Dan mengapa banyak orang menderita
karenanya? Plato, Khalil Gibran, ataupun mereka yang sok tahu tentang cinta tak
bisa menjawabnya. Tentu aku pun. Kita sebagai manusia hanya bisa membuat isu
ini semakin kompleks. Kaitkan cinta dengan agama, kau dapatkan masalah pernikahan
beda keyakinan. Kaitkan cinta dengan politik, dan kau dapatkan konspirasi di
antara para petinggi. Kaitkan cinta dengan budaya, kau dapatkan pandangan buruk
mengenai cinta sejenis. Lalu satu saja pertanyaanku. Bermoral kah seseorang
yang memiliki kekasih mencintai orang lain?
***
“Maaf ya bikin kamu nunggu. Abis di luar hujan.”
Liana mengusap kepalanya lembut, mencoba mengeringkan
rambutnya.
“Engga apa-apa. Udah aku pesenin cappuccino buat
kamu.”
Liana tertawa. Aku sudah tahu kebiasaan Liana.
“Secangkir untuk memulai malam yang panjang“ ucapnya selalu. Walau terkadang
aku heran dengan mereka yang menganggap cappuccino sebagai kopi. Maksudku, kopi
tapi tak pahit? Menyalahi kodrat dan nasibnya sebagai kopi.
“Emm... pacar kamu?” tanya Liana takut-takut.
“Oh, dia di rumah. Katanya mau ngerjain tulisan buat
majalah. Deadline nya besok”
Liana menghela napas. Aku bisa merasakan beban yang sedikit
terangkat di pundaknya.
Lucu bila melihat ke belakang. Bagaimana dua orang
asing bertemu di waktu dan situasi yang tak tepat, namun mereka tak sanggup
menahan diri untuk tidak saling jatuh cinta. Selayaknya buronan, aku dan Liana
hidup dalam gelap—pertemuan sembunyi-sembunyi dan cinta diam-diam.
Kugenggam tangannya. “Tenang. Di sini kita aman. Kafe
ini sepi, jauh dari kota. Jadi gak bakal ada kenalanku atau dia di sekitar
sini. Lagipula...” kukedipkan sebelah mataku, “...udah kupesan juga kamar hotel
dekat sini. So...”
Ia hanya membalasnya dengan senyuman. Manis. Tapi aku
bisa menangkap sendu di wajahnya. Ada kekecewaan yang terbersit dari matanya.
Aku tak berani bertanya. Biarlah kami sama-sama larut dalam diam. Menyelami
mimpi, menduga apa yang terjadi nanti.
“Kamu engga capek seperti ini?” tanya Liana mengagetkanku.
“Maksudnya?”
“Ya begini. Bertemu diam-diam. Apa-apa harus engga
boleh ketahuan.”
Aku menatapnya heran. “Bukannya kita setuju untuk menerima
resikonya? Kenapa tiba-tiba kamu kayak gini?”
“Aku mau
seperti perempuan normal,” ia melepas genggamanku, “Aku juga mau disayang,
diutamakan”
“Bukannya sudah kulakukan? Aku selalu support kerjaan
kamu. Kapan pun kamu butuh, aku ada buat kamu. Aku sayang kamu.”
Kuusap pipinya lembut. Aku tahu, tidak mudah berjalan
dalam penuh ketakutan. Tapi apa lagi yang bisa dilakukan? Kabur? Berlari dan
kabur?
Liana menggeleng. “Engga... kamu engga sepenuhnya
sayang aku.”
Bulir air menumpuk di pelupuknya. Ia berusaha tetap
tenang. Disesapnya kopi yang sedari tadi didiamkan. Pelan-pelan, Liana mencoba bicara.
“Kamu ingat pertama kali kita ketemu?”
Kata-kata Liana memutar kembali memori itu. Aku
bertemu Liana awal November lalu di sebuah pameran temporer fotografi yang
kuhadiri tanpa kekasihku. Liana adalah salah satu fotografernya. Ia sangat
cantik, brilian, dan bertalenta. Mataku tak bisa lepas darinya. Malam itu, kami
sempatkan berkenalan dan basa-basi mengobrol. Seusai acara, kucoba peruntunganku.
Kuajak Liana menghabiskan malam di sebuah lounge
tengah kota. Tak kusangka, ia mengiyakan. Kami melanjutkan basa-basi tak
penting. Tawa, pujian, serta denting anggur. Kami benar-benar menikmati malam.
Paginya, aku terbangun di sebuah kamar hotel. Liana
tidur di sampingku, tak berbusana. Tentu aku sudah menduga apa yang terjadi.
Aku menggigit bibir. Aku sudah memiliki kekasih dan kini baru saja tidur dengan
seseorang yang baru kukenal. Mendadak kepalaku migrain. Aku baru saja menambah
panjang daftar masalah. Kubangunkan Liana, kuberitahu siapa sebenarnya aku dan
bagaimana kondisiku yang sudah memiliki kekasih.
“Oh, oke,” katanya santai.
Kuangkat sebelah alisku.
“Ya oke. Kamu udah punya pacar. Tapi aku suka kamu,
kamu suka aku. Terus? Apa yang perlu dipermasalahkan jika kita menikmatinya?”
Aku termenung. Ini salah. Ini tidak boleh dilanjutkan.
Namun satu sisiku menginginkan sebuah pengalaman baru yang menantang. Sesuatu yang
liar, sesuatu seperti Liana. Aku tak bisa menolaknya.
“Ya. Dan aku tetap sayang kamu.”
“Bohong!” bentak Liana. “Kalau kamu sayang aku, kamu
pasti udah ninggalin pacar kamu buat aku!”
Aku menggaruk kepala. Ada sesuatu yang tak beres.
“Sebentar... Kerjaan kamu lagi ada masalah? Kamu lagi
PMS? Atau apa?”
Liana menatapku tajam. Ia mungkin sudah menusukku jika
ada pisau di dekat kami.
“Kamu berubah... Kamu udah engga sayang aku lagi...”
“Oke. Aku berubah. Kamu berubah. Power Ranger berubah.
Semua orang berubah. Lalu kamu mau apa?”
Air mata yang sekuat tenaga dibendungnya jatuh juga. Liana
menangis sejadi-jadinya. Dengan susah payah, ia coba mengatur nafas. Ia sukses
membuatku merasa makin berdosa.
Kuisi spasi kosong di sisinya. “You are being ridiculous, okay?”
“Kamu... sayang aku... engga?” isaknya tertahan.
“Iya, sayang.”
“Kamu... pilih aku... atau pacar kamu?”
Jangan
dijawab.
“Sayang...?”
Tetap
tersenyum dan jangan dijawab.
“Kamu pilih aku atau pacar kamu?”
Tersenyum.
Pasang muka tak bersalah. Kamu memang tidak tahu jawabannya.
“Aku tahu, kamu sebenarnya lebih sayang pacar kamu
kan?!”
Tenang.
Jangan terpancing emosi.
“Brengsek emang kamu! Brengsek!”
Tetap
tenang. Tetap tersenyum. Psikoanalis terbaik saja tidak pernah tahu apa yang
diinginkan perempuan, apalagi kamu. Biarkan ia meledak. Biarkan orang di meja
sebelah terus melirik. Tetap tenang.
“Kamu engga pernah tahu susahnya jadi aku! Tiap hari harus
bersikap sewajarnya. Tiap hari harus disembunyikan. Aku muda dan cantik. Engga
seharusnya aku menghabiskan waktu buat main-main. Dan mungkin sekarang aku sudah
bertemu jodohku!”
Oke.
Ia sudah mabuk.
“Kamu tahu? aku rasa tidak ada yang perlu dilanjut
lagi.”
Ia tercekat. “Maksud kamu?”
“Kita... tidak, aku dan kamu sebaiknya jalan
sendiri-sendiri,” aku menarik nafas, “Kamu butuh mimpi. Aku butuh kembali ke
dunia nyata.”
Liana terheran-heran. “Bercandaan kamu kali ini sama
sekali engga lucu.”
“Aku serius. Aku rasa, hubungan ini engga bermoral.”
“Moral?!” Ia terbahak. “Kamu tidur sama orang yang
bukan pacarmu dan kamu masih bisa ngomong tentang moral?!”
Aku mengangguk. “Kamu benar. Aku brengsek, sama
seperti yang lain. Tapi justru itu lucunya. Hidup berubah. Engga semua berjalan
sesuai keinginanmu. Kita perlu sedikit menderita, atau kita kehilangan
maknanya.”
Kupeluk tubuhnya. “Aku minta maaf.”
Pelupuk matanya kembali basah.
“Aku sayang kamu,” ucap Liana sesenggukkan.
“Aku juga.”
“Tapi aku benar-benar sayang kamu,” rajuk Liana.
Aku tersenyum. “Sayang selalu engga pernah cukup.”
Air mata mengalir deras di pipinya. Ia mendekatkan
tubuhnya padaku. Sesaat kurasakan hal yang sama seperti saat aku melihatnya
malam ini. Bahagia yang juga getir. Mungkin ini para penyair itu ada benarnya.
Perpisahan adalah bayang dari pertemuan. Tidak ada yang absolut. Semua akan
terus berganti mengikuti irama yang dimainkan semesta. Hari, tanggal, musim, buku,
lagu favorit, tren pakaian, sahabat, dan tentu, rasa. Namun bukankah karenanya hidup
menjadi lebih menarik?
Liana menengadah. Sendu, ia menatapku.
“Do you love me?”
***
Waktu menunjukkan pukul satu pagi. Aku masih belum
beranjak dari kursiku. Lebih tepatnya, belum ingin. Liana? Ia sudah pergi sejak
dua jam lalu. Tak apa. Lagipula saat ini aku tak ingin ditemani. Suasana kafe
yang sepi membuatku nyaman, aman. Mungkin saking sepinya, aku bisa mendengar
suara hatiku sendiri. Suara hati? Aku
menahan tawa. Beruntung bagiku, kafe ini buka 24 jam. Kata sahabatku, aku ini
spesies unik. Di saat sebagian manusia tak sanggup menahan rindu dengan kasur,
aktivitas otakku malah bekerja gila-gilanya. Aku tak mau beristirahat. Aku tak
mau berhenti berpikir. Bagaimana aku bisa tenang jika lima ribu kilometer dari
sini ada perang sedang terjadi? Lalu bagaimana dengan kemiskinan dan
penderitaan mereka yang tak segera ditangani? Semesta meluas. Dan sesuatu yang
meluas, pasti hancur suatu saat. Aku tahu itu bukan masalahku. Tetapi bukankah
kita harus bersiap? Terlalu banyak sudah problematika hidup hadir tanpa
disertai solusi yang definit. Dan seperti yang sudah aku katakan, kita sebagai manusia
hanya bisa membuat masalah semakin kompleks.
“Kamu terlalu cerebral”, ucapnya. Aku tak membantah.
Ia benar. Tapi tindakanku cukup beralasan. Aku takut dengan apa yang tidak aku
ketahui. Sayangnya, hidup terlalu misterius. Kau tidak akan tahu apa yang sudah
menunggumu di ujung jalan. Kebahagiaan atau kematian.
Kuaduk cangkirku yang sudah habis. Mataku menerawang.
Aku bisa melihat Liana di depanku. Ia tersenyum. Manis. Tetiba sesosok bayangan
menyeret tubuhnya. Ia meronta, berusaha melawan gaya tarik yang begitu kuat. Tapi
usahanya sia-sia. Ia semakin menjauh... menjauh... dan menjauh...
Aku menghela nafas. Liana tidak bersalah. Ia adalah
korban dari kejamnya kompleksitas hidup. Apa yang salah dari seseorang yang
mencintai terlalu dalam? Perempuan ini bermimpi jika suatu saat akan datang pangeran
yang mampu memberinya kenyamanan, kasih sayang, dan bahagia. Sayangnya, fantasi
bukan lah rumah kita. Realita, sepahit apapun dia, kita harus bersedia menerima.
Semoga Liana mengerti. Aku tak mungkin bisa memuaskan
semua pihak. Aku mencintai Liana. Dan seni tertinggi dari mencintai adalah
merelakan, bukan? Jawaban yang tak adil memang. Tapi apalah arti keadilan di
dunia yang serba bias. Lagipula manusia itu lucu. Suatu hari ia berbuat dosa, esoknya
ia bertingkah bak malaikat kemudian menghakimi sesamanya.
Faktanya, semua orang berubah. Pertanyaan kuncinya
adalah, menjadi baik atau menjadi buruk? Di tengah zaman yang semakin absurd, merasionalkan
identitas sudah menjadi suatu masalah tersendiri. Aku rasa, yang kita butuhkan
adalah berpegang pada cinta dan moralitas. Tapi hati-hati. Sepasang mereka
menuntunmu, sendiri-sendiri mereka membunuhmu. Moralitas tanpa cinta adalah
pahatan tak berjiwa, sedangkan cinta tanpa moralitas hanyalah subjektivitas ego
sesaat.
Kini, yang perlu kulakukan adalah memberi sedikit kepercayaan
kepada waktu. Bukankah setiap ulat ingin menjadi kupu-kupu?