Untuk perempuan
yang telah menghabiskan waktu bersama, terimakasih.
***
“Surat
Cinta”
Kau tahu? Ini surat pertamaku
setelah hampir dua tahun aku tak lagi menulis surat. Mengagetkan melihat penaku
yang kini tumpul tetapi masih bisa menuliskan sesuatu abstrak yang mereka sebut
itu cinta. Aku rasa tak semua orang berubah seperti yang mereka kira. Setiap peristiwa
akan menempa ruh yang mengisi setiap relung tubuh.
Pukul 11.11 tepat saat aku menuliskan kalimat ini. Mungkin
hanya kau dan aku yang bisa memahami. Satu sama lain. Untuk setiap canda yang
tak juga menua, untuk setiap rahasia yang kita sembunyikan dari dunia.
“Dunia. Untuk apa takut kepada
dunia? Sekarang atau tidak sama sekali. Cinta tidak akan menanti,” janjiku
meyakinkanmu dulu. Dua kali. Dan dua kali pula kau tak mengizinkan aku masuk ke
duniamu, sekadar menyusuri isi pikiran serta berkunjung ke sudut-sudut kecil di
ruang hatimu.
Apa yang kau pikirkan?
Bagaimana perasaanmu? Apa kau memikirkan aku juga?
“Akhir ialah apa yang telah
menanti,” tegasmu meruntuhkan seluruh mimpiku. Mimpi yang kubangun dengan
namamu berada di pusatnya.
Namun, sebelum mimpi itu betul-betul
mati, aku berjuang sekali lagi. Berteriak lebih keras lagi. Lagi, dan lagi. Agar
suaraku sanggup mencapaimu, membangunkanmu dari tidur panjang bernama
kesendirian.
Detik sebelum pita suaraku betul-betul robek, kau terbangun. Kau
mendengar dan menerima aku. Kau memberi kesempatan bagi ‘kita’ untuk ada. Sekali
lagi, kau membuatku bermimpi. Cinta ialah penawar bagi pahitnya realitas.
“Sekarang adalah sekarang. Nanti
adalah nanti. Lalu, kebahagiaan adalah apa yang ada sekarang, bukan?” ucap kita
bersamaan sembari tertawa.
Malaikat,
L’amour est la poésie des
sens.
Kau ialah hangat yang pernah mampir di setiap cangkir.
Kau ialah bahagia yang mampu membuat air mata tertawa.
Kau ialah segala baik yang pernah aku alami.
Namun, seperti kisah dongeng yang lain, kita tidak akan
pernah memiliki selamanya. Kau bukanlah putri yang sanggup mengangkat kutukanku
dan aku bukan pangeran yang sanggup membuatmu tetap terjaga. Waktu itu telah
habis. Menjadi labu dan tikus, kita kembali.
Kini aku menemukan bayangmu dalam tiap langkahku. Hantu di
setiap sudut hati yang telah mati; memori.
Lucunya, aku menulis kata demi kata sambil membayangkan kau dan
aku tengah berdiri bersama. Teman-temanmu serta teman-temanku akan datang.
Mereka akan menyantap makanan yang sudah disediakan sembari melontarkan gurauan-gurauan
yang memutar kembali ingatan. Lalu, mereka akan mendatangi kita, tersenyum
bangga. “Selamat,” ucap mereka tulus sebelum beranjak pergi.
Mungkin mimpi ialah bara api, mewujud pada setiap baris yang
menjadikanmu abadi.
Sudah pukul satu pagi, dan surat ini akan berakhir sebentar
lagi.
Aku ingin mengakhirinya seperti apa yang sudah seharusnya.
Untuk setiap luka yang kita toreh satu sama lain, untuk
setiap beban yang aku tumpahkan padamu, aku meminta maaf.
Aku bersyukur, kau lah orang yang pernah bersamaku.
Tidak dia. Tidak imaji terbaikmu dalam anganku. Tidak yang
lain.
Kau, utuh, nyata, apa adanya.
Kau dan aku tumbuh bersama hingga kita menjadi seperti sekarang
ini. Berdiri dengan kaki sendiri-sendiri, bahagia dengan kebahagiaan
masing-masing.
Pada setiap detik yang terus berdetak, aku akan selalu
mendoakanmu.
Kau adalah sahabatku hingga akhir.
Kita adalah salah satu
semoga yang tak diizinkan Semesta.
Kelak saat aku menutup mata, aku akan menjadi salah seorang temanmu
yang hadir. Menyantap makanan yang sudah disediakan dan menanti giliran untuk
mengambil gambar bersama. Seperti apa yang sudah seharusnya.
***
Diletakkannya pulpen yang sedari
tadi dipakainya menulis. Dibacanya kata demi kata yang telah disusunnya rapi. Dimasukkannya
surat itu dalam amplop kecil yang telah dia siapkan. “Selesai sudah,” lega
perempuan itu. Dia berdiri seraya mengendurkan otot-ototnya. Sejurus kemudian,
tatapannya diarahkan pada sesuatu yang menarik perhatiannya, tubuh seorang
laki-laki yang tengah menggantung. Kedua mata itu saling bertemu. Kosong yang
sama. Dingin yang serupa.
“Persiapan yang lain sudah beres.
Kamu sudah selesai, Lana?” seorang lelaki lain masuk dari pintu belakang. Tanpa
menghiraukan pertanyaan lelaki itu, perempuan bernama Lana itu mengamati
seksama tempat dia berdiri. Buku-buku yang tertata baik di rak, Tender Is The Night karya F. Scott
Fitzgerald yang terbuka tak terbaca, mesin tik yang berdebu, sebuah foto pemuda
dan pemudi tersenyum bahagia yang terbingkai cantik, sepucuk surat, kursi yang
terjatuh, dan seutas tali yang menjerat erat leher tubuh yang tak lagi bernapas.
Lelaki lain itu menatap lama Lana. “Aku tak menyangka kau tega
melakukan ini kepada mantan kekasihmu sendiri.”
“Aku sudah menceritakan alasannya,
bukan?” Lana menatap tajam lawan bicarannya. “Bukunya tak laku di pasaran
sementara ia terjerat utang. Ia datang kepadaku memohon agar aku mau meminjamkan
uang dan betul aku pinjamkan karena aku menyayanginya, tetapi...,” dia menyentuh
jasad itu, “Semakin lama ia semakin tamak. Ia terobsesi dengan apa yang ada di
dunia, bukan apa yang membentuk dunia. Bahkan ia mengancam akan menyebarkan
foto dan video amoral yang aku dan dia pernah rekam dulu demi benda yang sifatnya
sementara belaka.”
Dahi lelaki itu berkerut mendengarnya. “Tetapi, pembunuhan?”
Lana menggeleng.
“Bunuh diri, Sayang. Ia sungguh
mencintai aku dan tak sanggup melihat mantan kekasihnya ini menikah dengan lelaki
lain, kamu.”
Dengan anggun, Lana berjalan
mengitari tubuh itu. “Semua sudah aku kalkulasikan secara matang. Jadwal ia
berada di rumah untuk menulis. Pukul berapa jalanan di sekitar rumahnya mulai
sepi. Duplikat kunci rumahnya. Gloves dan
sarung kaki agar sidik jari kita tak terdeteksi. Bekas luka di tangannya
beserta silet dengan percikan darah untuk memperkuat dugaan bunuh diri. Lalu
yang paling penting, aku ahli dalam meniru tulisannya.”
Berjalan mendekat, bibir menggoda Lana ditempelkannya ke telinga
tunangannya. “Dan terimakasih untukmu yang berprofesi sebagai dokter, aku bisa
memberi dosis Diazepam yang tepat untuk membuatnya tertidur tanpa bisa
terdeteksi di plasma,” bisik perempuan itu sambil menjilat telinga pelan.
Raut muka lelaki itu berubah serius.
Didorongnya bahu Lana menjauh. “Aku tahu rencanamu sangat sempurna. Kau dan aku
memang sudah setuju melakukannya dan kita sukses melakukannya. Mungkin polisi
akan datang ke rumahmu untuk menanyakan beberapa hal meski mereka tak akan
mencurigaimu. Hanya sa...,” Sebelum lelaki itu sempat menyelesaikan kalimatnya,
lidahnya telah beradu dengan milik Lana. Begitu panas, begitu puas. Seolah,
Lana masih ingin memberikan hukuman terakhir bagi mantan kekasihnya. Percumbuan
yang disaksikan oleh raga yang tak bernyawa. Mata hampa yang Maha melihat.
“Sayang...”, Lana menyentuh bibir lelaki itu, “kau masih saja
menganggap tindakan kita lebih amoralnya? Aku tak menyalahkanmu untuk berpikir
demikian.”
Mencekam. Sentuhan lembut jemari itu membangkitkan ketakutan
amat sangat dalam diri lelaki itu. Seakan, jemari itu tak segan untuk mencekik
lehernya hingga napas yang ia tarik bak pisau yang menghujam dadanya berulang.
“Surga... Neraka... adalah istilah yang diciptakan manusia
dengan tujuan untuk mengklarifikasi tindakan seseorang pada seorang yang lain. Jika
kau baik terhadap sesama kau mendapat anugrah, jika kau jahat terhadap sesama
kau akan dihukum. Tetapi, hidup adalah paradoks. Seluruh zat yang merumuskan
hidup takkan mengalir sesuai pun semurni teorinya. Bagaimana kau menjelaskan para
pemerkosa masih terbebas di luar sana sedangkan orang baik yang ingin membantu
sahabatnya justru terkhianati pun tertindas hidupnya? Takdir? Jawaban terbodoh
yang pernah aku dengar. Istilah-istilah itu fana, Sayang.”
Lana menghembuskan napas. “Kita adalah cendekiawan. Tak
seharusnya kita percaya hal tanpa pondasi rasional seperti doa dan dosa. Kalau
pun kita harus mempercayainya, aku di sini hanya berbuat kebaikan. Aku
menyayangi mantan kekasihku. Aku membebaskannya dari realitas yang membelenggu sukmanya.”
“Kita memang bukan makhluk yang sempurna, fakta itu jelas
tercetak di setiap kromosom manusia. Tugas kita yang sekadar berkunjung sejenak
ini adalah mencari jawaban untuk segala pertanyaan yang kita jumpai. Aku tak
bisa melakukannya sendiri, maka dari itu aku mempercayai kamu, Sayang. Jika kau
mulai meragukan aku, bahkan kita... aku tak segan untuk menghukummu juga,” tutup
Lana seraya memeluk tunangannya.
Lelaki itu menelan ludah. Ia sadar, ia tidak sedang
berhadapan dengan perempuan biasa.
“Ah, sebentar,” dengan cepat, Lana mengeluarkan surat itu lalu
kembali menulis beberapa kata.
Untuk tak pernah dilahirkan,
mungkin adalah anugrah terindah.
Lelaki itu membaca sekilas. “Sophocles?”
“Inilah alasan mengapa aku lebih memilih kamu daripada orang yang
mengaku-ngaku sebagai penulis tapi tak mengerti apa-apa ini,” tawa Lana.
Dikaitkan lengan Lana ke lengan tunangannya. “Lagipula, jatuh
cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri, bukan?”
Keduanya melangkah keluar, menembus malam yang dinginnya menusuk
tulang.
Tak sepatah kata terucap dari bibir sang pembunuh dan si
terbunuh.
Tragedi yang berakhir dengan tragedi.
Dan Lana, tersenyum manis.
***