“Tik.
Tok.”
oleh Aditya Adinata
(Untuk yang sedang dirindu)
***
Tik. Tok.
Jam menunjukkan pukul 16.30. Lima
belas menit lebih cepat dari waktu yang dijanjikan. Tak masalah. Aku memang
begitu memuja konsep agung sang Waktu. Bagiku, membuang satu mili sekon sama
saja dengan membuang berjuta-juta probabilitas. Aku takkan bisa menebak apa
yang terjadi kemudian. Mungkin aku akan jatuh tergelincir. Mungkin aku akan menemukan
sebuah tas berisi uang milyaran rupiah. Atau mungkin aku akan tak sengaja menubruk
seseorang, menolongnya berdiri, berkenalan, luruh bersama dalam tawa dan secangkir
kopi hangat. Entahlah. Namun, untuk detik ini saja, biarkan aku membangkang prinsipku.
Percayalah, waktu ialah musuh bagi mereka yang tengah menunggu. Rasa-rasanya,
aku ingin menemukan tas berisi uang milyaran rupiah itu dan segera menukarnya untuk
sembilan ratus detik lebih cepat.
Tik. Tok.
Detik berdetak. Orang berlalu lalang. Langkah
bergerak bak sekelebat bayang. Delapan menit. Delapan menit lagi sebelum aku
betul-betul menyaksikan sendiri pipi yang tak ubahnya seperti pipi ikan
kembung. (Ya, ikan kembung. Memang sebesar itu). Aku tersenyum kecil. Sejenak,
kuingat obrolanku dengan dia baru-baru ini. Kami tengah membicarakan sebuah
lagu The Smiths favoritku setelah aku mengirimkannya video musiknya. Dia tertawa
melihat bagaimana Jim Morrisey, sang vokalis, menggerakkan tubuhnya dengan anggun
di atas panggung. “Lagunya bagus tetapi kenapa narinya harus begitu, sih?” ucapnya seraya tergelak. Jujur saja,
aku hanya menganggap obrolan itu sebagai angin lalu—transisi dari satu momen ke
satu momen yang lain. Namun, aku melihat suatu makna di baliknya. Hal-hal bodoh
yang kau lakukan juga tertawakan bersama menjaga sebuah interaksi tetap kontinu.
Mereka menciptakan keterkaitan dan keterkaitan menciptakan rasa. Dan aku
menemukan keterkaitan bersama dia.
Aku ingat betul. Bagaimana aku yang
hanya bercanda, betul-betul mendapat nomor kontak dia. Bagaimana dia dengan
spontan menertawakan logat khas daerahku saat pertama kali mengobrol. Bagaimana
obrolan selanjutnya membawa aku dan dia menyanyikan Fly Me to The Moon bersama. Bagaimana aku tak henti-hentinya
mencibir saat dia menceritakan kisah cinta dengan mantan-mantan kekasihnya.
Kenyamanan. Dia bagaikan rumah dan aku
tak ingin beranjak.
Tik. Tok.
Sebuah pengumuman disampaikan oleh
pihak stasiun. Taksaka Pagi tujuan Yogyakarta baru saja tiba pukul 15.45 di
peron no. 4. Ya, kereta yang dia naiki. Bergegas aku menuju ke pintu
kedatangan.
Aku sudah
datang. Lalu, tugasku selanjutnya adalah memerhatikan penumpang satu demi satu,
mencari satu perempuan dengan muka yang paling bisa dikempiskan.
Pesan terkirim. Saatnya untuk betul-betul
memerhatikan penumpang satu demi satu, mencari satu dengan muka yang paling bisa
dikempiskan. Lucunya, aku tak pernah melihat mukanya secara langsung selain
dari foto-foto yang diunggah di media sosial (itupun tidak banyak—entah dia
yang memang pemalu atau aku yang tidak pandai menguntit). Aku menerka-nerka.
Apakah ada yang pernah melakukannya? Jatuh pada lembut suara di seberang
telepon. Jatuh pada semesta pikirannya. Jatuh pada eksistensi yang tak beraga.
Jatuh pada seseorang yang belum pernah
ditemui.
Dia atau ilusi tentang dia.
Atau mungkin, keduanya.
“Hai!”
Tepat sebelum aku larut dalam
pikiranku sendiri, seseorang menepuk pundakku.
“Sudah menunggu lama, ya? Maaf, kereta
memang sempat berhenti agak lama di Klaten.”
Di depanku, berdiri seorang perempuan.
Rambut sebahu, kemeja bercorak hitam-merah, tas di punggung, dan mata yang
nampak lelah namun menyiratkan kebahagiaan.
“Maaf ya!”
Seperti gadis kecil, tangannya dia
pautkan seraya memasang muka ceria.
Kuanggukan kepalaku. Kupahami satu hal.
Ada satu yang takkan membeku dalam
kuasa sang Waktu. Rasa. Hati ialah hilir
dari setiap rasa yang saling mencari. Takkan ia hanyut selama nadi masih berdenyut.
Rasa akan terus mengalir dalam deras arus kehidupan, dari satu persinggahan ke
persinggahan lain, hingga sampai pada akhirnya, ia jatuh, melebur, dan menyatu
dengan Samudra, tempat penantian terakhir.
Kini, rasaku telah menemukan Samudranya.
Dia.
***
Tik. Tok.
Detik masih berdetak. Aku dan dia
tengah berada dalam kendaraan menuju warung makan favoritku. Tanpa diduga,
sekali lagi, sang Waktu bermain-main denganku. Di antara jutaan probabilitas
yang tersebar acak dalam satu satuan infinit, tangannya memilih menggenggam
tanganku.
Tik. Tok. Tik. Tik. Tok. Tik. Tok.
Tok. Tik. Tok.
Dan detak itu, menjadi tak karuan.