Once
again to you, Min
Happy
birthday
***
“Fantaisie-Impromptu”
Juni
2013 di musim panas. Bukan musim kemarau, melainkan musim panas. Senja
berkanvaskan cakrawala. Hapuslah ia oleh bayang hitam langit yang tetap suci.
Konstelasi bintang bak lautan permata yang menghiasi angkasa tanpa batas.
Dekorasi agung tak ternilai. Inikah keindahan? Inikah kenyataan? Tak ada yang
membatasi realitas ketika musim panas tiba. Ya, bukan musim kemarau, melainkan
musim panas—dengan segala mimpi dan fantasi liar yang menjadi alkohol bagi
mereka yang ingin mabuk.
Aku
ingin mabuk. Bila cinta bisa membuat seseorang menjadi mabuk aku ingin memesan
ratusan gelasnya. Aku ingin mabuk dan tak bangun lagi. Aku ingin menari,
segila-gilanya, selepas-lepasnya, bersama puisi tak beraga dan jiwa-jiwa
pemenang. Aku ingin bebas. Bisakah hidup berwarnakan merah, kuning, hijau bukan
hitam dan putih? Ramai nan elok. Mimpi para harimau-harimau muda yang berani
menantang dunia. Naif dengan mata yang berapi-api dan mulut yang meneriakkan
janji-janji konyol tak berisi. Tetapi bukankah semua orang berjanji? Bukankah lalu
semua orang tak menepati? Malu lah sang harimau renta yang tak sanggup berlari
lagi. Gigi yang patah serta semangat yang koyak.
Aku
tak ingin tua.
Aku
ingin bercinta.
***
Kualihkan
pandanganku ke penanda jalan. Klaten, jalan terus. Berarti masih ada satu jam
lagi sebelum tepat mencapai Yogyakarta. Setiap hal sudah dianalisis dengan baik.
Berangkat dari Solo pukul lima sore, sampai Yogyakarta pukul tujuh malam. Mengisi
perut terlebih dahulu dengan satu porsi nasi goreng kambing. Menikmati teh
hangat di salah satu kafe terkenal di Solo. Berangkat sebelum malam terlalu
larut untuk diarungi.
“Semua
baik-baik saja kan, Nat?”
Aku
mengangguk lemah.
“Kemungkinan
kita akan sampai di hotelmu pukul tujuh atau tujuh lebih. Tidak apa-apa?”
Dia
tak menjawabku dengan segera. Kedua matanya menatapku, hati-hati. Seolah dia
sedang memperhatikan seksama sebuah lukisan zaman Renaissance. Bersama goresan
indah nan bertalenta milik Michelangelo, Donatello, atau mungkin Da Vinci—maestro
sejati akan cinta, jiwanya melebur.
“Okay.
Kalau begitu, aku istirahat sebentar,” jawabnya sembari menidurkan kursi mobil.
Kueratkan
genggamanku pada setir mobil. Kufokuskan kembali pikiranku menyusuri jalanan
yang merentang. Kelam, tak berujung. Namun, tak ada ketakutan satu pun yang
menguasai hati. Ada cahaya yang menjamahku, memandu aku. Ia akan mengantarkan
kami selamat sampai tujuan. Setidaknya, begitu harapku.
Aku
menoleh ke arahnya.
“Mungkin...”
***
Malam
sudah terlahir sempurna. Inkarnasi dari segala wujud harap yang berdoa untuk
kebahagiaan esok hari. Namun, betulkah bahagia itu sudah dijanjikan? Serta
merta disajikan cuma-cuma selayaknya hadiah ulang tahun? Tidak ada yang mampu
memberikan jawaban yang benar. Tidak cendekiawan, tidak pujangga. Memuaskan
bisa, tetapi benar? Apa arti benar dan salah jika nilai dari kebenaran dan
kesalahan ialah subjektivitas? Karena justru pertanyaan lah yang sekali lagi
tercipta dari pikiran yang tak sanggup beristirahat.
Tetapi
untuk apa beristirahat jika diperbolehkan untuk menari tak henti-hentinya dan
berpesta sepuas-puasnya? Ini musim panas. Isi cawanmu dengan anggur lalu
menggilalah! Cumbulah! Tukarlah desah dan peluh dengan kekasihmu atau bukan
kekasihmu! Hidup adalah karnaval bagi mereka yang mensyukurinya.
Aku
mensyukuri hidup, dengan segala kelebihan serta kekurangannya. Mengapa aku tak
menari, tanyamu? Aku akan menari, tentu. Hanya saja, biarkan aku menikmati tontonan
akan punahnya kebajikan dan kendali diri. Sebuah kepuasan tertentu bagi mereka
yang bangga mendefinisikan dirinya sebagai si pengamat hidup. Atau menurut
mereka yang sudah lebih dulu berada di atas panggung, si penakut.
Tetapi
sebuah pikiran melintas di kepalaku. Hidup hanya hadir satu kali.
Maka
segera ku beranjak dari dudukku. Berlari, bergabung bersama ramai sorak sorai para
sahabat yang menggema membahana. Aku tak membuang-buang waktu. Kuambil, kutenggak
gelas pertama. Lalu kutenggak gelas kedua, gelas ketiga, gelas keempat, gelas
kelima, gelas keenam. Lagi, lagi, dan lagi; hingga tak mampu lagi mulut
dijejali dosa.
Mabuklah
aku saat tengah malam tiba. Meneteskan air liur, bersiap menjamah berhala dunia.
Harta, tahta, wanita.
“Tujuh
hari tujuh malam kita akan berpesta! Kita akan minum! Kita akan berdansa! Kita
akan bercinta!” teriak sang Tuan Rumah.
Lalu
mengalirlah lebih banyak lagi gelas-gelas maksiat. Lebih banyak lagi warna yang
kehilangan makna. Lebih banyak lagi cinta.
Aku
ingin bercinta. Aku ingin bercinta tujuh hari tujuh malam. Aku ingin bercinta
hingga cinta mencintai aku. Bukankah seluruh manusia berkeinginan mampu
mencintai dan mampu dicintai? Apa yang salah? Apa yang tak benar dari menjadi
bagian dari perayaan cinta? Karena cinta ialah keabadian murni tanpa ada yang sanggup
membunuh cinta selain cinta itu sendiri.
Limbung,
aku melangkah. Dengan bibir untuk menelanjangi dan mata untuk mendesah, aku
mencari-mencari. Mencari cinta.
Dan
bertemulah aku dengan seorang anak perempuan. Putih, polos. Dengan bibir untuk menelanjangi
dan mata untuk mendesah. Serupa.
Dia
pun tengah mabuk.
“Lihat
degradasi moral yang terjadi di sekitar kita! Pembunuhan yang dijustifikasi
sebagai tindakan yang diperlukan. Perampasan hak tanpa ada penegakan hukum.
Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Gila, ini gila!”
Kau juga demikian.
“Kau
tahu siapa yang selalu bermimpi akan kepuasan fana? Hewan berjubah manusia.
Mereka semua, mereka!”
Kau juga demikian.
“Apa
yang akan dikatakan Freud bila melihat semua ini? Apakah manusia ideal
sejujurnya tak lebih dari pemimpi ulung tanpa harapan? Inikah akhir yang tak
sempurna dari ciptaan Sang Maha Sempurna?”
Kau juga demikian.
Pekik
dan tawa memenuhi ruangan. Tidak hanya dia, tetapi juga semua orang. Semua
orang tertawa, menertawakan. Aku, tak terkecuali. Entah apa yang ditertawakan. Tidak
ada yang salah kostum dalam perjamuan tanpa pakaian. Tidak ada yang dengan
serta-merta rela menjadi budak untuk dimaki-maki. Aku menyisir pandanganku ke
sekeliling. Dosa yang tak henti-hentinya mengalir, pemuda-pemudi yang belum
puas berburu kebenaran, dan sang rembulan yang begitu kalem menyaksikan. Tidak,
tidak ada yang lucu.
Kini,
mataku menemukan matanya. Bibirku menemukan bibirnya. Berpagutan, bercumbu
dengan liarnya tanpa menanti aba-aba. Terus, terus, dan terus. Seakan ada haus yang
minta dilegakan. Dan oase itu... matanya, bibirnya, telinganya, lehernya, pundaknya,
dadanya, pinggangnya, jenjang kakinya—seluruhnya. Semakin aku mereguk surga,
semakin aku kehausan. Kutengadahkan kepalaku menatap langit. Inikah cinta?
Inikah kenyataan? Pesona bintang tak pernah sedekat ini. Bergelora, menggoda
musafir yang tengah mempertanyakan jati diri.
Kualihkan
pandanganku kepada dia. Tubuhnya meluruh, menyatu bersama tubuhku. Padu. Utuh. Wujud
cinta sejati yang telah kembali terlahir.
Di
sinilah aku, berada di dalam sekaligus di luar bingkai kehidupan. Aku bisa
melihat diriku yang di dalam mencemooh aku yang tengah duduk sekadar mengamati kami
para penantang dunia. Lalu, diriku yang di luar, menikmati kejenakaan yang dilakonkan
para pemeran teatrikal absurditas.
Aku
tak peduli.
Aku
ingin bercinta. Aku ingin bercinta tujuh hari tujuh malam. Aku ingin bercinta
hingga aku mewujud menjadi cinta.
***
Pukul
19.04. Di Klaten. Tak sesuai perkiraan. Jalanan tak terelakkan dari sesak
kendaraan yang menuju Yogyakarta. Sebagian besar berplat nomor AB, AD, B, H.
Entah untuk pulang atau membuka lembar baru. Tetapi apa arti rumah bila kelak
dipersingkat waktu?
Sudah
setengah jam mobil-mobil berhenti bergerak. Ular-ularan panjang. Alur-aluran bercabang.
Menunggu maju, membuat perbedaan. Se senti yang menjadi harapan.
Aku
terhisap oleh pemandangan di luar jendela. Gemerlap lampu kota begitu
memanjakan mata. Elegan, berlian kota di tengah gelap. Kulihat satu dua warung
kaki lima mulai ramai disesaki orang-orang yang sudah lelah bekerja sejak pagi
hingga ia ditutup tirai sang malam. Bagiku, bagaimana sebuah tempat mampu
menyatukan orang dari berbagai strata, berbagai kalangan, dan berbagai latar
belakang menjadi seragam, bersama-sama mengeluh dan melupakan hidup begitu
menarik. Bersantai yang pura-pura—tak lebih dari persiapan untuk larut dalam putih-hitam
yang sama di esok hari. Monotonitas kehidupan. Mungkin bias cahaya kendaraan
dari arah berlawanan mampu mendengar mereka. Jemari mungil yang berani
menggapai malam. Bintang yang jatuh. Seandainya
ia bisa mengabulkan permohonan.
“Sudah
sampai mana?” celetukan seraknya mengagetkanku.
“Kebangun?
Masih di Klaten. Macet.”
Dia
mengusap kedua matanya. Perlahan, dia menyisir pandangannya ke sekitar.
“Oh,
iya... Air minum di ma—” sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, kusodorkan sebotol
air minum kemasan yang ada di kursi belakang.
Diteguknya
hingga tak menyisakan setetes air pun.
“Haus
banget, nih. Maaf ya. Aku juga belum minum semenjak dari Warung Tiga Tjeret
sore tadi. Biasa karena terburu-buru. Nanti kalau haus, kita mampir Indomaret
atau toko yang paling dekat, ya? Tidak apa-apa, kan?”
Aku
hanya mengangguk sekenanya. Jujur saja, aku tidak mendengarkan ucapannya. Sedari
tadi aku lebih memperhatikan dia minum. Bibirnya yang basah, berkilau. Matanya
memejam, menikmati setiap teguk yang menyejukkan kerongkongan. Pelan, lidahnya
menjilat bibirnya seolah tak ingin kehilangan satu tetes pun. Potongan-potongan
gambar yang bergerak dengan frame rate
yang lebih lambat dari biasanya. Erotis.
Buru-buru
aku kembali berkonsentrasi menyetir.
“Kalau
macet seperti ini, kira-kira butuh berapa jam lagi ya sampai hotel?”
Aku
menilik jam tangan. “Ya, kalau begini, sih, sepertinya agak lama. Sudah sebelas
menit berlalu tapi belum ada tanda-tanda mobil bergerak atau macet berakhir.
Ya, mungkin bakal ngaret sampai jam delapan
lebih sedikit. Gimana?”
Dia
terdiam agak lama. Matanya menerawang ke sisi jalan. Merenung, mencari sebuah
jawaban yang menyelamatkan. Menyelamatkan?
Pertanyaan untuk pernyataan. Sesuatu yang dimiliki oleh mereka yang sedari
dulu hidup terprogram. Ketika A, maka B; ketika C, maka D; ketika E, maka F. Tak
memiliki pilihan lain selalu mengikuti alur yang sudah digariskan. Bagi mereka,
mengingkari pernyataan yang sudah diperintahkan sama saja menghancurkan diri
sendiri. Lebih baik aman walau tak nyaman. Eksistensi dilematis.
“Dicurigain
Mas pacar ya?”
Dia
tergelak. Tetapi aku bisa melihatnya. Ada yang tak murni dari tawanya.
Menertawakan derita. Getir.
“Maaf
aku menculik kamu. Ketika aku mendengar kau sedang di Jogja, aku langsung
segera ingin menemuimu. Aku butuh liburan dari semua kesibukan kuliah,” ada sedih
yang meluap sebelum aku merampungkan kalimat, “I don’t think I can make it. Sesuatu yang tidak pernah kau inginkan
tetapi harus kau lakukan. Kau tahu? Perbudakan. Dari jam tujuh pagi sampai
pukul tujuh malam dari Senin sampai Jumat, belum ditambah tambahan praktikum
dan laporan yang belum tuntas. Tiga bulan. Penat yang menyintingkan otak.”
“Aku
tak masalah dengan segala kesibukannya yang menyita waktu tetapi ini semua tak
pernah aku inginkan. Bukan jurusan yang aku mau, bukan mimpi yang ingin aku
capai. Aku tak bisa melawan karena aku mencintai mereka yang mendorongku hingga
saat ini. I hate this passive-aggressive thing.”
“Tapi
sekarang udah selesai, kan?” lembut dia menepuk pundakku.
Aku
mengangguk. “Selesai sementara... Makanya, aku ingin rehat sejenak. Liburan,”
ucapku dengan penekanan, “Engga perlu jauh-jauh, di Solo juga cukup.”
“Dan
sudah kesampaian kan?”
“Ya,
sudah...”
Ada
damai yang menyelimuti hati. Setiap kata yang dia ucapkan menyentuh batinku
lembut. Tak sanggup sutra berkualitas terbaik menandingi. Mungkin ini definisi
kenyamanan sejati. Emas berkarat, pakaian model terkini, istana berfasilitas lengkap
mungkin mampu diusahakan. Tetapi berbagi suka dan duka dengan satu orang yang
bisa kau percaya? Ya, aku bersyukur. Memonetisasi hidup ialah dosa besar bagi
seorang realis seperti aku. Apa adanya, adanya apa. Ya sudah. Terdengar klise,
memang. Sayang, sesungguhnya kalimat itu kehilangan makna sejak manusia tidak
lagi memaknai hidup. Apa yang menjadi masalah? Uang. Sumber masalah merangkap
jawaban. Uang, uang, uang. Mandi untuk uang, makan untuk uang, menangis untuk
uang, bercinta untuk uang—hidup untuk uang. Dewa Pluto di langit sana pasti sedang
girang-girangnya.
“Tunggu
dulu. Jadi, kesalmu ini semacam bentuk justifikasi untuk menganggu jadwalku dan
membawa aku pergi ke Solo?” protesnya sembari mengernyitkan alis.
Mendadak
tenggorokanku tercekat. Kuputar otakku cepat. Segala probabilitas harus
dikalkulasi secara tepat. Resiko dan keuntungan harus ditimbang matang-matang. Respon
logis yang tidak berbasis afeksi. Pembenaran yang tidak menyangkut-pautkan
rasa. Murni dari sirkuit sel abu-abu. Salah sedikit saja bisa menciptakan deviasi
yang melenceng jauh dari harapan. Cari
jawaban, cari jawaban.
“It sounds stupid, tapi aku kangen kamu.”
....
Sebentar.
....
Sebentar.
Sebentar.
Sebentar.
Apa.
Yang.
Baru.
Saja.
Aku.
Katakan?
“Tapi
Bos, masa Anda mau membohongi nurani sendiri?” Ada yang berbicara. Aku bisa mendengarnya.
Entah dari mana. Lebih pasnya, aku pura-pura tak tahu berasal dari mana. Gila. Susah-susah
kukembangkan metode sistematis merasionalkan cinta, sekarang diambrukannya ia
oleh sebuah aplikasi kejujuran. Logika macam apa yang didasari perasaan?
Tawanya
yang meledak mengembalikan kesadaranku.
“Maksudku
kangen sebagai sahabat,” potongku dengan suara bergetar. Segera kunyalakan
ulang sirkuit sel abu-abu. Aku tak mau mempermalukan diriku lebih lanjut.
“I know... You are my lovely best friend,” desisnya.
Aku
berdehem. “Jadi, ada masalah sama Ruben?”
Raut
mukanya kembali muram. Pertanyaanku seperti kunci yang tepat membuka ruang kepedihan
yang bertahun-tahun dia kunci. Belum ada jawaban yang keluar dari bibirnya. Malah,
dia menggumam tak jelas kemudian mengalihkan pandangan ke luar mobil. Sempat
aku ingin tertawa melihat dramatisasi tindakannya, tetapi aku tahan.
“Akhir-akhir
ini hidupku kurang berwarna,” dia menghela napas, “bahkan bukan hitam dan putih
lagi, Nat. Cuman ada satu warna. Abu-abu.”
“Nata,
aku bukan orang yang suka mencari kesuksesan dan kebahagiaan secara instan. Usaha
adalah gravitasi yang menarik kilau-kilau itu ke bumi. Kini, mereka sudah di genggamanku.
Kau tahu, karir yang terus naik, status sosial yang semakin disegani, kemudian
pacar yang sukses dan...,” ada aksentuasi pada ucapan selanjutnya, “betul-betul
baik.”
“Lalu
kau tahu apa yang lucu? Aku merasa abu-abu. Aku sudah bekerja keras, jatuh
bangun membangun masa depan, dan yang kudapat hanya sesuatu yang abu-abu.”
Dia
menggigit bibirnya, “Aku belum ingin pulang...”
“Kemacetan
ini mengabulkan doamu.”
Bukannya
tertawa, dia malah menundukkan mukanya. Aku merasa bersalah.
“Anita...,”
aku memanggil namanya, “Kamu lebih tua daripada aku. Kamu sudah dewasa, tentu
lebih tahu apa yang terbaik buat kamu. Apa kesuksesan yang terwujud ini mau
kamu buang begitu saja?”
“Tetapi,
Nat,” dia menggeleng lunglai, “kalau aku tahu kesuksesan malah memprogramku
menjadi robot, belum tentu aku memilih jalan ini.”
“Tidak
pernah ada yang salah. Klien yang aku tangani selalu tak merepotkan, berbagai
biaya dan akomodasi kerja sudah ditanggung oleh kantor. Ya, aku diberi supir
dan mobil pribadi di Jakarta. Ketika sampai di apartemen, aku disambut dengan senyum
hangat dan pijatan mesra Ruben...”
“Ruben
betul-betul baik, Nat,” Anita melanjutkan, “Ruben selalu meluangkan waktunya
menemaniku makan siang di sela-sela jam kantor. Dia jauh-jauh pulang dari business trip nya di Jepang untuk
menjengukku ketika badanku drop bulan
lalu. Dia mengirimi aku satu bouquet Camellia
merah dan gaun setelah kami bertengkar... ya kami sempat bertengkar kecil
tentang gaun apa yang sebaiknya aku
pakai di acara ulang tahun ibunya minggu depan. Dan gaunnya, a sophisticated Versace cocktail dress. Nat,
Ruben betul-betul romantis.”
Entah
dari mana, namun ada emosi yang tetiba
hadir di benak mendengar penjelasannya. “Mengapa tidak jujur saja kepada Ruben?
Dia kan anak dari bosmu sendiri. Lagipula dia yang juga membantu karirmu
meningkat pesat,” suaraku meninggi.
“Tidak,
Nat... Tidak bisa. I can’t hurt him. Maka
dari itu pula aku meminta cuti. Di Jogja, aku bisa menjernihkan pikiran. Kota
yang tak pernah bisa aku benci. Lagipula di Jogja ada kamu. I know you can help me.”
Jemarinya
menggenggam tanganku.
Bisiki
aku
Melalui
celah-celah kelabu
Selimut
bagi mimpi laksana hantu
Sementara
aku makin salah tingkah. Dadaku berdebar hebat. Tak pernah kubayangkan sebuah sentuhan
kecil mampu membuat sebuah organ menjadi lebih hidup dari yang seharusnya.
Biarlah
kaki mungilnya menginjak Bumi
Jatuh
menjadi jutaan engkau
Tetes
yang menggoda
Genggamannya
semakin erat. Entah apa yang sekarang Anita pikirkan. Keheningan ini begitu
mengusik. Kami larut dalam imajinasi yang kami ciptakan sendiri.
Mengalir
hingga ke sudut bibir sang perawan
Menghanyutkan
rindu tak bertuan
Menyesatkan
dahaga dalam cinta tak bermuara
Matanya
menemukan mataku. Sayu yang merajuk, seolah memohon kepadaku untuk berhenti memastikan
aktualitas momen yang terasa ilusif. Segala
yang terjadi, biarlah terjadi. Dinding kokoh berpondasikan nilai-nilai
moral serta intergritas sebuah individu ideal ambruk, tak sanggup lagi menjadi
sekat di antara dua raga yang mulai gila. Spasi itu habis digerogoti gelora yang
menyalak bagai percik bara yang tiada habis. Yang tersisa dari semua hanyalah sebuah
kubus hitam kecil. Pandora’s box,
episode terakhir sang nestapa.
Kau,
ilusi
Fantasi
dalam sebuah delusi
Di
sinilah aku. Seinci dari Nirwana. Tak perlu sayap untuk menggapainya. Karena justru
kenikmatan sejati telah diturunkan-Nya. Dalam wujud yang tak sekali pun manusia
mengerti. Kita hanyalah fragmen kecil dari roh Agung yang tunggal. Terus berjalan,
mencari untuk saling menemukan satu sama lain. Kurasa, aku dan dia telah saling
menemukan. Dengan kecupan yang saling melengkapkan.
Izinkan
aku memilikimu
Melucuti
baju dan ragu yang tak perlu
Menelanjangimu
dari segala malu
Menyentuh
rasa
Meniadakan
kata
Tak
ada lagi mimpi, tak ada lagi realitas. Semua berfusi dalam sebuah momen percintaan
abadi. Arus sang Waktu membeku kelu ditelan nafsu anak Adam. Dua manusia yang dibuang
dari Eden, dijerembabkan ke tanah terjanji, dipekerjakan sebagai budak Eros. Namun,
bukankah manusia ada dan tiada karena cinta? Aku sebagai hamba setianya, membutuhkan
cinta. Bibir yang saling melumat, lidah yang saling menjilat, tangan yang
saling meremas. Bercumbu dan berpagut tiada henti. Darah berdesir dari nadi
hingga ke ujung jemari. Peluh mengalir dari dahi hingga ke sudut bibir. Air
mata Lilith.
Dan
oleh setiap detil yang kunikmati, dia membawa pikiranku mengawang kembali.
Jiwamu
dan jiwaku
Dibalut
dua tubuh yang berbeda
Namun
berbagi bahasa yang serupa
Aksara
cinta
“Kamu...”
desahnya berat.
“Anita,
apa daritadi kau menggodaku?”
Pertanyaanku
tak diacuhkannya. Malahan, bibirku digigitnya sebelum kembali mencumbuku liar.
“Bawa
aku, ke mana saja... Malam ini..,” bibirnya berbisik di telingaku, “Aku belum
ingin pulang...”
Seperti
mantra, kata-katanya menyihir hidup menjadi sinema hitam-putih yang berdenyut
dalam sensualitas melodi saksofon Sidney Bechet. Tidak ada tokoh utama dalam
stensil yang kami tulis sendiri. Aku, dia, kita, mereka, semua sama—tenggelam
untuk saling mereguk kepuasan dan kehancuran dalam gairah tanpa batas. Abadi. Karena
cinta ialah karya seni terbaik yang tak mampu ditebas detik.
Aku
ingin hidup seribu tahun lagi.
Aku
ingin bercinta dengan cinta.
***
Selesai
sudah pesta tujuh hari tujuh malam. Gelaran fantasi liar di musim panas akan
segera ditutup oleh sebuah pertanyaan tanpa jawaban.
“Apa yang menanti
setelah mimpi berakhir?”
Mimpi
merupakan materi esensial yang menyusun setiap jiwa. Ialah pusat kosmik kehidupan,
kreasi yang mencambuk manusia untuk berjuang mempertahankan hidup. Karena hidup
adalah manisfestasi mimpi. Dan mimpi takkan mati selama manusia mau berambisi.
Kau
tahu, kenyataan itu menyesatkan. Tak ada yang resmi absolut di dunia yang serba
bias. Ambiguitas lahir dalam intensitas tak terhingga. Miskonsepsi menjadi hal
wajar di kalangan pandai maupun tak pandai. Titik bifurkasi tercipta dalam
setiap momen—entah ia membawa order, entah
ia membawa chaos.
Lalu,
siapa yang mampu menyelamatkan?
Mimpi.
Mimpi
menyediakan satu-satunya wadah untuk menjagamu tetap waras dalam kegilaan
realitas. Ialah sang kejora, memandu langkahmu menuju keteraturan.
Namun,
semesta bukan berarti tanpa batas. Keluasan-Nya justru kadang menyempitkan mata
hingga tak mampu lagi merengkuh makna di balik perkara. Hanya demi
merealisasikan asa, seseorang tega menciptakan delusi bagi dirinya. Nilai-nilai
salah diinterpretasikan. Berkah orang lain dirampas semena-mena. Intergritas
diperjualbelikan atas nama nafsu semata.
Mimpi
adalah dua mata pisau bagi orang yang tak bisa menerima kenyataan.
Setengah
sadar, aku terbangun. Namun, aku tak mau membuka mata. Aku terlalu larut dalam
takut. Lemas, kugerakkan tanganku—mencari-cari, meyakinkan aku bila mimpi belum
berakhir. Saat aku mulai cemas, jemariku merasakan dia, dingin yang lembut. Kuresapi
setiap sentuhnya, naik, hingga sampailah aku pada rambutnya, sutra yang
membelai tangan. Dia masih ada di sana. Kubuka
mataku perlahan. Kutatap nanar punggungnya yang sebening embun. Di sana, aku
melihat aku. Dan selamanya aku bisa tenggelam dalam bayangku yang tersenyum mensyukuri
cinta. Cinta.
Tak
ada lagi bimbang yang mengurung hati. Tak ada lagi ruh gersang yang hendak
mati. Aku percaya cinta yang riil mampu menyingkirkan kematian. Pengecut ada
karena dia tak mampu mencintai dan dicintai dengan baik—yang sebenarnya adalah
satu definisi yang sama. Hingga kematian kembali lagi, seperti halnya untuk
semua orang. Maka, seseorang harus mencintai dan dicintai lagi dengan baik.
Ya...
Bukankah semua orang ingin mencintai dan dicintai dengan baik?
Kurengkuh
tubuhnya. Kukecup tengkuknya. Kupahat perasaan ini dengan tepat, di dahi, di
hati, dan di seluruh nadi. Agar aku tak lupa bila aku pernah senekat, segila
ini. Aku berserah kepada cinta yang amoral.
Tak
kupikirkan konsekuensi yang menanti di akhir hari. Karena aku dan dia, hidup detik
ini. Tak akan mati. Ia kejoraku, dan aku adalah kejora untuknya. Saling
menemukan untuk saling menyelamatkan. Mimpiku, cintaku. Selalu.
Aku
tak mau berhenti memimpikan cinta.
Aku,
cinta, nyata.