Ijinkan
saya bercerita tentang sang Kejora Utara, Bintang yang jatuh cinta dengan seorang
perempuan bernama Nona. Lalu, cerita ini adalah awal mula dari beberapa cerita
yang menyusun sebuah dongeng kanak-kanak yang dikemas dalam balutan romansa,
satir, dan tragedi. Selamat menikmati.
BAB I
"Putri
dan Kejora Utara"
Ada
sebuah Bintang di angkasa maha raya, terang bagai Kejora Utara. Ia bak
malaikat, penolong mereka yang disesatkan kegelapan. Cahaya di tengah
kemalangan.
Tidak
sedikit yang sudah ia selamatkan. "Oh, Ia sang Messiah! Juru Selamat
Dunia!" teriak banyak manusia berkumpul menyembah Bintang. Tetapi, Bintang
sungguh baik dan bijaksana. Tidak dimintanya persembahan berlebihan untuk
menghormati dirinya. Malahan, diberikannya sebagian dari sari hidupnya. Ya,
debu bintang. "Kelak, debu-debu akan berguna bagi kehidupan kalian.
Sebarkan segenggamnya ke tanah-tanah kalian, ke ternak-ternak kalian, ke
orang-orang yang kalian sayangi. Dengan begitu, kau, kalian, akan
selamat." Melesatlah Bintang ke Bimasakti. Kemudian, manusia-manusia
berpesta, bersuka cita. Merayakan kebaikan sang Maha Agung. Di atas sana, Bintang
tersenyum. Bintang begitu menyayangi manusia seperti Ia menyayangi dirinya
sendiri.
Suatu
hari, Bintang mengitari Bumi. Saat sedang terbang di atas pepohonan, matanya terpaku pada suatu titik cahaya.
Sesosok perempuan. Dari balik awan, hati-hati Bintang mengamati. Bintang
terpesona oleh kecantikan sang perempuan. Tidak satin perak sanggup menyaingi
lembut senyumnya. Tidak gemerlap intan sanggup menandingi kilau matanya. Tidak
ada yang seperti dia.
Turunlah
Bintang memijak Bumi. Dihampirinya sang perempuan.
"Siapa
kau, wahai gadis? Berulang kali aku mengelilingi Bumi namun aku tak pernah
melihatmu."
Sang
perempuan terkaget.
"Namaku
Nona, Tuan," tutur sang perempuan dengan suara bergetar.
"Ini
sudah lewat tengah malam, apa yang sedang kau lakukan di hutan?"
Nona
menunduk. Seolah dia sedang menyembunyikan suatu kesedihan.
"Ada
apa, Nona?" diangkatnya dagu Nona.
"Maafkan
aku, Tuan. Namun ini akan menjadi kisah yang panjang. Ini mungkin akan
mengganggu Tuan,” bisik Nona halus.
Bintang
tersenyum ramah “Tidak apa-apa. Mungkin aku bisa membantumu.”
Ditatapnya
Bintang. Nona melihat ketulusan terpancar dari matanya. Nona tahu, dia bisa
mempercayai Bintang. Dan mulailah Nona bercerita.
***
Ada
sebuah kerajaan kecil yang terletak di kaki
sebuah gunung. Rakyat di kerajaan tersebut hidup berkecukupan, meski semua yang
tersedia seadanya. Ternak yang tetap menghasilkan panganan, hasil pertanian
yang tidak kurang dan tidak lebih, serta pendidikan juga pelayanan kesehatan
yang ala kadarnya. Yang penting bahagia, begitu slogan kerajaan. Raja sangat
tegas dalam memimpin kerajaan. Beliau sering turun langsung ke lapangan demi
menyelesaikan masalah yang sedang terjadi. Sedangkan sang Ratu, mungkin bisa
disebut sebagai wanita tercantik di kerajaan. Tidak hanya itu, sifat keibuan
serta kebijaksanaan selayaknya Dewi Athena membuat beliau sangat disegani. Bersama
dengan suaminya, ia turut berpartisipasi memimpin kerajaan. Ketika suaminya
terlalu tegas dalam memerintah, beliau menjadi kutub negatif yang mengingatkan sang
Raja untuk kembali ke titik kesetimbangan. Panas yang disambut dingin. Energi
Yang yang dikalemkan oleh energi Yin. Pasangan paling serasi.
Dan
Nona... Nona adalah satu-satunya anak dari Raja dan Ratu. Nona sangat mirip
dengan kedua orang tuanya. Ketegasan dalam membuat keputusan dan kecerdasan
dalam memilah situasi seperti ayahnya. Kecantikan bak mutiara serta kelembutan dalam
berperilaku seperti ibunya. Ketika Nona dulu lahir, banyak peramal hadir ke
kerajaan. Mereka semua mensyukuri kehadiran Nona ke dunia, menganggap dia lah
yang kelak mampu membawa kerajaan ke zaman yang lebih baik. Salah satu tetua
mengangkat bayi Nona ke udara, lalu dengan suka cita berteriak, “Oh, betapa
beruntungnya hari ini! Seorang Putri telah hadir ke Bumi! Menyinari terang kerajaan
ini! Hati yang putih nan murni, kelak kan menuntun kami ke jalan yang suci. Dia
tak akan pernah dibenci, karena cinta mewujud dalam dirinya sendiri. Bersyukurlah!
Bersyukurlah!” Pada hari itu seluruh warga kerajaan berpesta. Lagu gembira
terus dilantunkan, jamuan tak kunjung habis, gelas anggur terisi lagi dan lagi.
Bahkan para hewan, baik yang ternak maupun yang liar, turut menari dan
menggembirakan suasana. Tak henti-hentinya kebahagiaan mengalir menyambut
kelahiran Nona. Syukur yang abadi.
Sebagai
putri tunggal, Nona telah diajari cara memasak, menjahit, menari, bertutur kata
yang sopan, dan berjalan selayaknya seorang putri sedari kecil. Semua direncanakan
matang-matang agar Nona siap menjadi seorang permaisuri, mempelai seorang pangeran
yang kelak akan meneruskan tahta kerajaan. Sayang, tak pernah ada gading yang
tak retak. Semua rencana yang sudah disusun tersebut masih memiliki cacat. Nona
tak pernah diberi tahu.
Bertahun-tahun
berlalu, Nona tumbuh menjadi gadis dewasa. Tak hanya parasnya yang kini mampu
melumpuhkan lelaki mana pun, sikapnya yang halus tetapi tak mudah rapuh membuat
Nona sungguh dikasihi oleh seluruh penghuni kerajaan. Metamorfosis yang
sempurna sudah. Dia lah kupu-kupu teranggun tanpa cela. Lalu tibalah sehari
sebelum ulang tahun Nona ke delapan belas. Setelah pulang bermain bersama
teman-temannya, Nona segera berlari ke kamarnya. Tanpa diduga, Raja dan Ratu
sudah menunggunya di dalam. Kebingungan besar tampak dari air muka Nona.
“Nona...”
Raja berdiri dari duduknya, “sebentar lagi hari akan beganti dan kau akan berulang
tahun, bukan?”
Nona
mengangguk lemah.
“Menurut
sejarah, delapan belas adalah angka yang sakral. Delapan belas terdiri dari
angka satu yang berwujud lurus ditemani angka delapan yang memiliki unsur
kestabilan. Raga dan jiwa. Jika disatukan delapan belas memiliki arti
kedewasaan—lambang transisi emosi, evolusi di setiap sisi.”
Raja
menatap ke luar jendela. “Begitu kau menginjak umur delapan belas, kau bukan
lagi anak kecil. Kau sudah sepenuhnya dewasa, Nona. Kau tidak akan punya waktu
untuk bermain ke hutan. Kau tidak akan lagi bisa bercanda dengan anak-anak di luar
kerajaan hingga petang. Kau tak akan lagi bebas.”
“Maaf,
aku tak mengerti apa maksud Ayah,” ucap Nona hati-hati.
Raja
menatap ke luar jendela. “Semakin dewasa kau nanti, semakin tua Ayah dan Ibumu
ini. Kegelisahan pasti merundung seluruh negeri bila tidak ada yang meneruskan
tahta kerajaan. Delapan belas adalah tanda kesiapan. Ayah dan Ibumu sudah
memutuskan jika sekarang kau sudah siap.”
Nona
mengernyitkan alisnya. “Aku tetap ti—”
“Biar
kusederhanakan,” potong Raja, “di usiamu yang sudah delapan belas ini, kau akan
kunikahkan dengan pangeran dari kerajaan negeri seberang.”
Nona
seperti tersambar petir mendengarnya.
“Ya,
aku telah menjalin sebuah hubungan diplomatis dengan raja dari kerajaan
tersebut. Mereka sungguh senang. Setelah kau menikah dengan putranya nanti,
kerajaan kita akan bertambah megah, Nona! Rakyat kita tidak lagi hanya
berkecukupan tapi akan bergelimangan! Lebih dari bahagia. Dan tak perlu kau
takut, pesta pernikahanmu nanti akan lebih mewah daripada pesta pernikahan
ayahmu dulu,” Raja berjalan mendekati putrinya seraya memegang erat pundaknya,
“Kau harapan kerajaan ini, Nak.”
Segera
ditepisnya kedua tangan ayahnya. “Maaf Ayah, Ibu, aku tak bisa.”
Sebelum
Raja sempat berkata-kata, dia melanjutkan, “Mungkin aku memang Putri Kerajaan
ini, satu-satunya harapan yang membawa Negeri kita menjadi maju, nomer satu
bahkan. Tetapi untuk saat ini jujur aku belum siap. Aku masih ingin berkeliling
dunia, aku masih punya mimpi yang belum aku wujudkan. Melukis segala pemandangan
yang aku temui nanti. Jadi maafkan aku, Ayah,
Ibu. Aku belum siap.”
Susah
payah Raja menahan marah mendengar ketidaksanggupan putrinya. “Kau tak bisa
menolaknya, Nona. Setiap rencana sudah aku susun secara cermat dan teliti. Kau
sudah delapan belas tahun! Kau sudah siap!”
Nona
menggeleng tegas. “Tidak Ayah, saya belum siap, aku belum mau untuk
meninggalkan mimpi-mimpiku. Nanti pasti ada wak—”
“Tidak,
Nona!” emosi Raja sudah meledak-ledak, “Aku sudah membuat kesepakatan dan itu
tidak mungkin ditunda apalagi dibatalkan. Kau akan menikah dengan putra mahkota
kerajaan seberang. Itu yang akan terjadi. Kau. Akan. Menikah!!”
“Tidak!
Aku ingin bebas, Ayah! Ayah seharusnya mengerti keinginan aku. Begitu banyak hutan
serta danau yang belum aku jelajahi. Petualangan tanpa batas. Lagipula aku
ingin menikah karena jatuh cinta, bukan dijod—”
“Kau
kurang ajar!!” Raja mengangkat tangannya hendak menampar putrinya.
“Raja!
Sudahlah, jangan kau kerasi anakmu seperti ini!” bujuk Ratu sambil menahan
tangan suaminya.
Nona
terisak-isak menangis. Jatuh berlutut di depan kedua orang tuanya. Seolah memohon
agar mereka mau mengembalikan sesuatu yang baru saja direnggut darinya.
Kebebasan.
Raja
menggeleng-geleng tak puas. “Kau ini tak tahu diuntung... Dari kecil sudah ayah
manjakan dengan berbagai fasilitas. Sudah ayah beri makanan, pakaian, harta, berlian,
serta kemewahan yang tak dimiliki orang lain. Hanya demi kau, Nak.”
Raja
merunduk, mengelus rambut putrinya lembut. “Tolong, sekali saja. Pikirkan masa
depan kerajaan.”
Hati
kecil Nona begitu pilu. Selama ini dia tak pernah mengharapkan kegemerlapan
apapun dari kedua orang tuanya. Disayangi sepenuh hati sudah lebih dari cukup
baginya. Yang penting bahagia. Dia
tahu pelajaran memasak, menjahit, menari, bertutur kata, hingga cara berjalan
adalah persiapan kelak menjadi Ratu, penerus kerajaan ini. Namun setelah semua kelas
itu selesai, dia merasakan kebebasan yang lepas. Total. Seperti burung yang
terbang di langit bebas. Dia melihat ke bawah, memahami jika dunia begitu luas.
Tak sabar dia menjelajahi isinya satu demi satu. Namun, sesaat dia akan memulai
perjalanannya, tubuhnya terperangkap jaring-jaring realitas, memaksa dia
kembali ke sangkar monotoni kehidupan. Penjara jiwa.
“Biarkan
aku sendiri dulu, Ayah, Ibu...” isak Nona.
Raja
dan Ratu saling melirik. Mereka mengecup kening Nona kemudian meninggalkannya
di kamarnya sendiri. Ya, sendiri. Merenungi nasibnya yang tak ubahnya seperti dua
sisi mata koin. Satu sisinya menyajikan mimpi kebahagiaan tak bersyarat, sisi
lain ialah realitas kejam yang tak bisa ditolerir. Dilematis.
***
Bintang
mengelus dagunya perlahan.
“Lalu,
sekarang kau kabur dari kerajaan?”
Nona
mengangguk datar. Disenderkan punggungnya ke pohon untuk beristirahat. Lelah
raga tak sebanding dengan lelah batin yang tengah dia rasakan.
“Tuan,
harus kuapakan lagi hidupku? Mungkin kau akan menyebutku bodoh karena telah lari
dari kenyataan. Tetapi bila harus menjual kemerdekaanku demi kebahagiaan yang
bukan untukku, itu sama saja dengan membunuhku.”
Nona
menghela napas, “Egois memang. Tetapi hidup ialah sebuah pesta kebahagiaan. Aku
ingin merayakannya.”
“Salah,”
tegas Bintang sambil duduk di samping Nona, “Hidup memang sebuah perayaan, tetapi
tak selamanya kita merayakan kebahagiaan. Ada si gemuk, ada si kurus. Ada si
cantik, ada si jelek. Ada si kaya, ada si miskin. Ada suka, ada duka. Kau tak
bisa meminta sesuai kehendakmu karena hidup tak pernah mengenal kata adil.
Semua begini adanya.”
Nona
menunduk pilu. Dia merasa sangat bersalah terhadap masa depan kerajaan yang
kini di belakangnya.
“Tetapi
kau tak sepenuhnya salah, No... Nona kan ya?” Bintang tersenyum, “Bahagia memang
tak datang dengan sendirinya. Bahagia ada karena ia diusahakan. Yah... Seperti memasak
makanan favoritmu. Apa makanan favoritmu?”
Nona
mengerutkan alisnya, “Sapi panggang?”
“Sapi
panggang? Baik...,” Bintang mengelus-elus dagunya, “Ringkasnya saja, ya? Tentu
pertama-pertama kau kumpulkan bahan dan alatnya. Lalu, kau potong-potong bahannya
menggunakan pisau sebelum kau pindahkan ke panggangan, kan? Mungkin jarimu
teriris ketika sedang melakukannya. Ada rasa sakit yang mendera, tetapi kau
tahan demi mengejar
tujuan
yang kau kejar; sapi panggang. Jari yang teriris, kepanasan saat memegang ujung
besi panggangan, rasa letih, akan terlupakan ketika kau sudah mendapatkan
hasilnya. Sapi panggang terlezat yang akan mendarat di perutmu”
“Pun
juga saat ini. Keberanianmu yang mampu membawamu hingga ke tengah hutan tidak
akan terbayar cuma-cuma. Sedihmu ini kelak berakhir saat kau mau mengusahakan
mimpi menjadi tak sebatas mimpi. Dan itu...,” ada bobot yang ditambahkan
Bintang pada penjelasan terakhirnya, “kebahagiaanmu.”
Kalimat-kalimat
Bintang menjadi obor yang membakar semangat Nona. Dia sadar, dia tak lari hanya
karena takut. Dia ingin mengejar mimpinya. Mengelilingi dunia sesambil melukiskan
setiap pemandangan yang dia temui di sebuah kanvas putih. Sehingga kanvas itu
menjadi dunia yang berwarna, lebih indah dari yang tampak sebenarnya. Dunia
yang lebih bahagia.
“Kau
lebih baik beristirahat di sini malam ini.”
Bintang
mengambil segenggam debu dari dalam tubuhnya.
“Inilah
sari hidupku,” jelasnya, “Debu ini bisa menyelamatkanmu dari bahaya yang
mendatangimu.”
Disebarnya
debu-debu itu ke permukaan tanah.
“Coba
kau pijakkan kakimu ke tanah,” suruh Bintang.
Nona
memijak-mijakkan kakinya. Seketika, tanah yang sebelumnya keras, menjadi empuk bak
kasur istana.
“Akan
saya buatkan kamar yang nyaman untukmu.”
Disebarnya
lagi debu-debu di sekitar pepohonan. Tak berapa lama, pepohonan itu tumbuh
rimbun hingga daun-daunnya berguguran beberapa. Tak hanya itu, beberapa pohon
lainnya berbuah lebat.
“Daun
ini akan menjadi bantal ternyaman yang pernah kau rasakan. Kalau lapar, kau
bisa memetik buah-buah yang ada di sana.”
Nona
melongo melihat hal yang belum pernah dia saksikan selama ini.
“Kau
ini penyihir?” tanyanya terheran-heran.
“Bisa
dibilang seperti itu,” tawa Bintang.
Nona menggeleng tak percaya. “Tuan, siapakah kau?”
“Namaku
Bintang, si Kejora Utara, cahaya yang menuntun mereka yang sedang tersesat.”
Dikeluarkannya
lagi segenggam debu dari dalam tubuhnya. “Ini debu bintang, zat yang menjadi
sumber hidupku. Seperti yang sudah kau lihat barusan, debu bintang memiliki
daya magis bagi apapun yang menyentuhnya. Debu bintang bisa menyelamatkan,
bahkan mengabulkan sebuah permohonan.
“Tetapi
jika kau memakainya berulang kali, kau akan mati!”
Bintang
tergelak mendengarnya. “Aku takkan mati hingga seribu tahun lagi.”
“Dan
maaf aku tak bisa menemanimu lebih lama, Nona. Aku akan pulang. Jika kau
membutuhkan aku lagi, cukup teriakkan saja namaku. Bintang,” ucapnya sebelum
melesat kembali ke angkasa.
***
Di
angkasa sana, Bintang sedang tersenyum-senyum. Keping-keping memori melesat
bagai peluru. Tersusun, mencipta satu gambar yang mendamaikan hatinya; Nona. Bintang
tahu, pertemuan dengan Nona bukan lah pertemuan yang terakhir. Pertemuan
barusan ialah awal dari perjalanan yang kelak menuntunnya pada kebahagiaan
sejati, Kejora Utara jatuh cinta kepada seorang manusia? Tak dipikirkan resiko
besar yang kelak dihadapinya. Bimasakti pasti menentangnya. Teman-temannya
pasti akan menertawakannya. Namun, detik itu Bintang tak lagi peduli. Ia telah
jatuh cinta—jatuh sejatuh-sejatuhnya, cinta secinta-cintanya. Ia berjanji pada
dirinya sendiri, ia akan menjaga sang Putri hingga ajal merenggutnya.
***
Nona
membatin. Kebetulan? Dia menggeleng. Dalam
satu hari sudah terlalu banyak keanehan yang dialaminya. Kabur dari kerajaan,
tersesat di hutan, hingga bertemu dengan seorang penyihir, atau menyerupai
penyihir. Tidak mungkin semua kejadian ini didasari oleh kebetulan, batinnya. Sel
abu-abu di kepalanya berpikir keras, mencari alasan paling tepat untuk
menafsikran ini semua. Ditambah dengan fakta jika dia telah menyaksikan sesuatu
yang selalu dia anggap sebagai mitos, cerita tanpa bukti nyata; sihir. Skeptis
ialah sifat Nona sedari kecil. Selama dia tak melihatnya sendiri, dia takkan
mau mempercayai. Maka dari itulah dia tak pernah percaya dengan kebetulan dan
keberuntungan. Karena mereka tak berwujud, abstrak.
Tetapi,
konsep itu sudah diruntuhkan oleh kehadiran Bintang. Kali ini, logikanya
percaya jika semua yang terjadi di hari ulang tahunnya ke delapan belas ini adalah
suatu tanda dari semesta. Delapan belas tahun, lambang transisi emosi, evolusi
di setiap sisi.
Dan
Bintang... Ada sesuatu yang tak bisa Nona pungkiri ketika dia menghabiskan
waktu bersama Bintang. Nona merasa nyaman. Tatapan Bintang sehangat peluk pada
hatinya yang mulai membeku. Setiap nasihat yang Bintang ucapkan terdengar halus
namun sanggup mengobarkan api di dalam jiwanya. Bintang, sang Kejora Utara.
“Mungkin,
kamu kejoraku...”
Nona,
Aku begitu kecil di tengah kau yang
sangat luas
Samudera rindu tanpa batas
Jemariku menari-nari
Menulis namamu di sudut galaksi
Apa kau melihatnya?
Tak perlu kau mencariku
Karena kau ialah Bumi
Dengan segala gravitasi yang
menarik hati
Cintaku berlutut slalu di hadapmu
Pejamlah
Dan lihatlah
Satu titik cahaya dalam megah
Andromeda
Menjagamu, mencintamu
Itu aku, Sang Kejora
I'm waiting for the next chapter. It's pretty.
ReplyDeleteLove it!! I wish I could have the mind to write like yours
ReplyDeleteI notice the allegory you're trying to convey through this piece. The concept kind of reminds me of that book, Stardust by the way. Keep it up man
ReplyDelete