Sunday, July 6, 2014

Putri dan Kejora Utara


Ijinkan saya bercerita tentang sang Kejora Utara, Bintang yang jatuh cinta dengan seorang perempuan bernama Nona. Lalu, cerita ini adalah awal mula dari beberapa cerita yang menyusun sebuah dongeng kanak-kanak yang dikemas dalam balutan romansa, satir, dan tragedi. Selamat menikmati.


BAB I
"Putri dan Kejora Utara"
 



Ada sebuah Bintang di angkasa maha raya, terang bagai Kejora Utara. Ia bak malaikat, penolong mereka yang disesatkan kegelapan. Cahaya di tengah kemalangan.
Tidak sedikit yang sudah ia selamatkan. "Oh, Ia sang Messiah! Juru Selamat Dunia!" teriak banyak manusia berkumpul menyembah Bintang. Tetapi, Bintang sungguh baik dan bijaksana. Tidak dimintanya persembahan berlebihan untuk menghormati dirinya. Malahan, diberikannya sebagian dari sari hidupnya. Ya, debu bintang. "Kelak, debu-debu akan berguna bagi kehidupan kalian. Sebarkan segenggamnya ke tanah-tanah kalian, ke ternak-ternak kalian, ke orang-orang yang kalian sayangi. Dengan begitu, kau, kalian, akan selamat." Melesatlah Bintang ke Bimasakti. Kemudian, manusia-manusia berpesta, bersuka cita. Merayakan kebaikan sang Maha Agung. Di atas sana, Bintang tersenyum. Bintang begitu menyayangi manusia seperti Ia menyayangi dirinya sendiri.
Suatu hari, Bintang mengitari Bumi. Saat sedang terbang di atas pepohonan, matanya terpaku pada suatu titik cahaya. Sesosok perempuan. Dari balik awan, hati-hati Bintang mengamati. Bintang terpesona oleh kecantikan sang perempuan. Tidak satin perak sanggup menyaingi lembut senyumnya. Tidak gemerlap intan sanggup menandingi kilau matanya. Tidak ada yang seperti dia.
Turunlah Bintang memijak Bumi. Dihampirinya sang perempuan.
"Siapa kau, wahai gadis? Berulang kali aku mengelilingi Bumi namun aku tak pernah melihatmu."
Sang perempuan terkaget.
"Namaku Nona, Tuan," tutur sang perempuan dengan suara bergetar.
"Ini sudah lewat tengah malam, apa yang sedang kau lakukan di hutan?"
Nona menunduk. Seolah dia sedang menyembunyikan suatu kesedihan.
"Ada apa, Nona?" diangkatnya dagu Nona.
"Maafkan aku, Tuan. Namun ini akan menjadi kisah yang panjang. Ini mungkin akan mengganggu Tuan,” bisik Nona halus.
Bintang tersenyum ramah “Tidak apa-apa. Mungkin aku bisa membantumu.”
Ditatapnya Bintang. Nona melihat ketulusan terpancar dari matanya. Nona tahu, dia bisa mempercayai Bintang. Dan mulailah Nona bercerita.

***

Ada sebuah kerajaan kecil yang terletak di kaki sebuah gunung. Rakyat di kerajaan tersebut hidup berkecukupan, meski semua yang tersedia seadanya. Ternak yang tetap menghasilkan panganan, hasil pertanian yang tidak kurang dan tidak lebih, serta pendidikan juga pelayanan kesehatan yang ala kadarnya. Yang penting bahagia, begitu slogan kerajaan. Raja sangat tegas dalam memimpin kerajaan. Beliau sering turun langsung ke lapangan demi menyelesaikan masalah yang sedang terjadi. Sedangkan sang Ratu, mungkin bisa disebut sebagai wanita tercantik di kerajaan. Tidak hanya itu, sifat keibuan serta kebijaksanaan selayaknya Dewi Athena membuat beliau sangat disegani. Bersama dengan suaminya, ia turut berpartisipasi memimpin kerajaan. Ketika suaminya terlalu tegas dalam memerintah, beliau menjadi kutub negatif yang mengingatkan sang Raja untuk kembali ke titik kesetimbangan. Panas yang disambut dingin. Energi Yang yang dikalemkan oleh energi Yin. Pasangan paling serasi.
Dan Nona... Nona adalah satu-satunya anak dari Raja dan Ratu. Nona sangat mirip dengan kedua orang tuanya. Ketegasan dalam membuat keputusan dan kecerdasan dalam memilah situasi seperti ayahnya. Kecantikan bak mutiara serta kelembutan dalam berperilaku seperti ibunya. Ketika Nona dulu lahir, banyak peramal hadir ke kerajaan. Mereka semua mensyukuri kehadiran Nona ke dunia, menganggap dia lah yang kelak mampu membawa kerajaan ke zaman yang lebih baik. Salah satu tetua mengangkat bayi Nona ke udara, lalu dengan suka cita berteriak, “Oh, betapa beruntungnya hari ini! Seorang Putri telah hadir ke Bumi! Menyinari terang kerajaan ini! Hati yang putih nan murni, kelak kan menuntun kami ke jalan yang suci. Dia tak akan pernah dibenci, karena cinta mewujud dalam dirinya sendiri. Bersyukurlah! Bersyukurlah!” Pada hari itu seluruh warga kerajaan berpesta. Lagu gembira terus dilantunkan, jamuan tak kunjung habis, gelas anggur terisi lagi dan lagi. Bahkan para hewan, baik yang ternak maupun yang liar, turut menari dan menggembirakan suasana. Tak henti-hentinya kebahagiaan mengalir menyambut kelahiran Nona. Syukur yang abadi.
Sebagai putri tunggal, Nona telah diajari cara memasak, menjahit, menari, bertutur kata yang sopan, dan berjalan selayaknya seorang putri sedari kecil. Semua direncanakan matang-matang agar Nona siap menjadi seorang permaisuri, mempelai seorang pangeran yang kelak akan meneruskan tahta kerajaan. Sayang, tak pernah ada gading yang tak retak. Semua rencana yang sudah disusun tersebut masih memiliki cacat. Nona tak pernah diberi tahu.
Bertahun-tahun berlalu, Nona tumbuh menjadi gadis dewasa. Tak hanya parasnya yang kini mampu melumpuhkan lelaki mana pun, sikapnya yang halus tetapi tak mudah rapuh membuat Nona sungguh dikasihi oleh seluruh penghuni kerajaan. Metamorfosis yang sempurna sudah. Dia lah kupu-kupu teranggun tanpa cela. Lalu tibalah sehari sebelum ulang tahun Nona ke delapan belas. Setelah pulang bermain bersama teman-temannya, Nona segera berlari ke kamarnya. Tanpa diduga, Raja dan Ratu sudah menunggunya di dalam. Kebingungan besar tampak dari air muka Nona.
“Nona...” Raja berdiri dari duduknya, “sebentar lagi hari akan beganti dan kau akan berulang tahun, bukan?”
Nona mengangguk lemah.
“Menurut sejarah, delapan belas adalah angka yang sakral. Delapan belas terdiri dari angka satu yang berwujud lurus ditemani angka delapan yang memiliki unsur kestabilan. Raga dan jiwa. Jika disatukan delapan belas memiliki arti kedewasaan—lambang transisi emosi, evolusi di setiap sisi.”
Raja menatap ke luar jendela. “Begitu kau menginjak umur delapan belas, kau bukan lagi anak kecil. Kau sudah sepenuhnya dewasa, Nona. Kau tidak akan punya waktu untuk bermain ke hutan. Kau tidak akan lagi bisa bercanda dengan anak-anak di luar kerajaan hingga petang. Kau tak akan lagi bebas.”
“Maaf, aku tak mengerti apa maksud Ayah,” ucap Nona hati-hati.
Raja menatap ke luar jendela. “Semakin dewasa kau nanti, semakin tua Ayah dan Ibumu ini. Kegelisahan pasti merundung seluruh negeri bila tidak ada yang meneruskan tahta kerajaan. Delapan belas adalah tanda kesiapan. Ayah dan Ibumu sudah memutuskan jika sekarang kau sudah siap.”
Nona mengernyitkan alisnya. “Aku tetap ti—”
“Biar kusederhanakan,” potong Raja, “di usiamu yang sudah delapan belas ini, kau akan kunikahkan dengan pangeran dari kerajaan negeri seberang.”
Nona seperti tersambar petir mendengarnya.
“Ya, aku telah menjalin sebuah hubungan diplomatis dengan raja dari kerajaan tersebut. Mereka sungguh senang. Setelah kau menikah dengan putranya nanti, kerajaan kita akan bertambah megah, Nona! Rakyat kita tidak lagi hanya berkecukupan tapi akan bergelimangan! Lebih dari bahagia. Dan tak perlu kau takut, pesta pernikahanmu nanti akan lebih mewah daripada pesta pernikahan ayahmu dulu,” Raja berjalan mendekati putrinya seraya memegang erat pundaknya, “Kau harapan kerajaan ini, Nak.”
Segera ditepisnya kedua tangan ayahnya. “Maaf Ayah, Ibu, aku tak bisa.”
Sebelum Raja sempat berkata-kata, dia melanjutkan, “Mungkin aku memang Putri Kerajaan ini, satu-satunya harapan yang membawa Negeri kita menjadi maju, nomer satu bahkan. Tetapi untuk saat ini jujur aku belum siap. Aku masih ingin berkeliling dunia, aku masih punya mimpi yang belum aku wujudkan. Melukis segala pemandangan yang aku temui nanti. Jadi maafkan aku, Ayah, Ibu. Aku belum siap.”
Susah payah Raja menahan marah mendengar ketidaksanggupan putrinya. “Kau tak bisa menolaknya, Nona. Setiap rencana sudah aku susun secara cermat dan teliti. Kau sudah delapan belas tahun! Kau sudah siap!”
Nona menggeleng tegas. “Tidak Ayah, saya belum siap, aku belum mau untuk meninggalkan mimpi-mimpiku. Nanti pasti ada wak—”
“Tidak, Nona!” emosi Raja sudah meledak-ledak, “Aku sudah membuat kesepakatan dan itu tidak mungkin ditunda apalagi dibatalkan. Kau akan menikah dengan putra mahkota kerajaan seberang. Itu yang akan terjadi. Kau. Akan. Menikah!!”
“Tidak! Aku ingin bebas, Ayah! Ayah seharusnya mengerti keinginan aku. Begitu banyak hutan serta danau yang belum aku jelajahi. Petualangan tanpa batas. Lagipula aku ingin menikah karena jatuh cinta, bukan dijod—”
“Kau kurang ajar!!” Raja mengangkat tangannya hendak menampar putrinya.
“Raja! Sudahlah, jangan kau kerasi anakmu seperti ini!” bujuk Ratu sambil menahan tangan suaminya.
Nona terisak-isak menangis. Jatuh berlutut di depan kedua orang tuanya. Seolah memohon agar mereka mau mengembalikan sesuatu yang baru saja direnggut darinya. Kebebasan.
Raja menggeleng-geleng tak puas. “Kau ini tak tahu diuntung... Dari kecil sudah ayah manjakan dengan berbagai fasilitas. Sudah ayah beri makanan, pakaian, harta, berlian, serta kemewahan yang tak dimiliki orang lain. Hanya demi kau, Nak.”
Raja merunduk, mengelus rambut putrinya lembut. “Tolong, sekali saja. Pikirkan masa depan kerajaan.”
Hati kecil Nona begitu pilu. Selama ini dia tak pernah mengharapkan kegemerlapan apapun dari kedua orang tuanya. Disayangi sepenuh hati sudah lebih dari cukup baginya. Yang penting bahagia. Dia tahu pelajaran memasak, menjahit, menari, bertutur kata, hingga cara berjalan adalah persiapan kelak menjadi Ratu, penerus kerajaan ini. Namun setelah semua kelas itu selesai, dia merasakan kebebasan yang lepas. Total. Seperti burung yang terbang di langit bebas. Dia melihat ke bawah, memahami jika dunia begitu luas. Tak sabar dia menjelajahi isinya satu demi satu. Namun, sesaat dia akan memulai perjalanannya, tubuhnya terperangkap jaring-jaring realitas, memaksa dia kembali ke sangkar monotoni kehidupan. Penjara jiwa.
“Biarkan aku sendiri dulu, Ayah, Ibu...” isak Nona.
Raja dan Ratu saling melirik. Mereka mengecup kening Nona kemudian meninggalkannya di kamarnya sendiri. Ya, sendiri. Merenungi nasibnya yang tak ubahnya seperti dua sisi mata koin. Satu sisinya menyajikan mimpi kebahagiaan tak bersyarat, sisi lain ialah realitas kejam yang tak bisa ditolerir. Dilematis.  

***

Bintang mengelus dagunya perlahan.
“Lalu, sekarang kau kabur dari kerajaan?”
Nona mengangguk datar. Disenderkan punggungnya ke pohon untuk beristirahat. Lelah raga tak sebanding dengan lelah batin yang tengah dia rasakan.
“Tuan, harus kuapakan lagi hidupku? Mungkin kau akan menyebutku bodoh karena telah lari dari kenyataan. Tetapi bila harus menjual kemerdekaanku demi kebahagiaan yang bukan untukku, itu sama saja dengan membunuhku.”
Nona menghela napas, “Egois memang. Tetapi hidup ialah sebuah pesta kebahagiaan. Aku ingin merayakannya.”
“Salah,” tegas Bintang sambil duduk di samping Nona, “Hidup memang sebuah perayaan, tetapi tak selamanya kita merayakan kebahagiaan. Ada si gemuk, ada si kurus. Ada si cantik, ada si jelek. Ada si kaya, ada si miskin. Ada suka, ada duka. Kau tak bisa meminta sesuai kehendakmu karena hidup tak pernah mengenal kata adil. Semua begini adanya.”
Nona menunduk pilu. Dia merasa sangat bersalah terhadap masa depan kerajaan yang kini di belakangnya.
“Tetapi kau tak sepenuhnya salah, No... Nona kan ya?” Bintang tersenyum, “Bahagia memang tak datang dengan sendirinya. Bahagia ada karena ia diusahakan. Yah... Seperti memasak makanan favoritmu. Apa makanan favoritmu?”
Nona mengerutkan alisnya, “Sapi panggang?”
“Sapi panggang? Baik...,” Bintang mengelus-elus dagunya, “Ringkasnya saja, ya? Tentu pertama-pertama kau kumpulkan bahan dan alatnya. Lalu, kau potong-potong bahannya menggunakan pisau sebelum kau pindahkan ke panggangan, kan? Mungkin jarimu teriris ketika sedang melakukannya. Ada rasa sakit yang mendera, tetapi kau tahan demi mengejar tujuan yang kau kejar; sapi panggang. Jari yang teriris, kepanasan saat memegang ujung besi panggangan, rasa letih, akan terlupakan ketika kau sudah mendapatkan hasilnya. Sapi panggang terlezat yang akan mendarat di perutmu”
“Pun juga saat ini. Keberanianmu yang mampu membawamu hingga ke tengah hutan tidak akan terbayar cuma-cuma. Sedihmu ini kelak berakhir saat kau mau mengusahakan mimpi menjadi tak sebatas mimpi. Dan itu...,” ada bobot yang ditambahkan Bintang pada penjelasan terakhirnya, “kebahagiaanmu.”
Kalimat-kalimat Bintang menjadi obor yang membakar semangat Nona. Dia sadar, dia tak lari hanya karena takut. Dia ingin mengejar mimpinya. Mengelilingi dunia sesambil melukiskan setiap pemandangan yang dia temui di sebuah kanvas putih. Sehingga kanvas itu menjadi dunia yang berwarna, lebih indah dari yang tampak sebenarnya. Dunia yang lebih bahagia.
“Kau lebih baik beristirahat di sini malam ini.”
Bintang mengambil segenggam debu dari dalam tubuhnya.
“Inilah sari hidupku,” jelasnya, “Debu ini bisa menyelamatkanmu dari bahaya yang mendatangimu.”
Disebarnya debu-debu itu ke permukaan tanah.
“Coba kau pijakkan kakimu ke tanah,” suruh Bintang.
Nona memijak-mijakkan kakinya. Seketika, tanah yang sebelumnya keras, menjadi empuk bak kasur istana.
“Akan saya buatkan kamar yang nyaman untukmu.”
Disebarnya lagi debu-debu di sekitar pepohonan. Tak berapa lama, pepohonan itu tumbuh rimbun hingga daun-daunnya berguguran beberapa. Tak hanya itu, beberapa pohon lainnya berbuah lebat.
“Daun ini akan menjadi bantal ternyaman yang pernah kau rasakan. Kalau lapar, kau bisa memetik buah-buah yang ada di sana.”
Nona melongo melihat hal yang belum pernah dia saksikan selama ini.
“Kau ini penyihir?” tanyanya terheran-heran.
“Bisa dibilang seperti itu,” tawa Bintang.
 Nona menggeleng tak percaya. “Tuan, siapakah kau?”
“Namaku Bintang, si Kejora Utara, cahaya yang menuntun mereka yang sedang tersesat.”
Dikeluarkannya lagi segenggam debu dari dalam tubuhnya. “Ini debu bintang, zat yang menjadi sumber hidupku. Seperti yang sudah kau lihat barusan, debu bintang memiliki daya magis bagi apapun yang menyentuhnya. Debu bintang bisa menyelamatkan, bahkan mengabulkan sebuah permohonan.
“Tetapi jika kau memakainya berulang kali, kau akan mati!”
Bintang tergelak mendengarnya. “Aku takkan mati hingga seribu tahun lagi.”
“Dan maaf aku tak bisa menemanimu lebih lama, Nona. Aku akan pulang. Jika kau membutuhkan aku lagi, cukup teriakkan saja namaku. Bintang,” ucapnya sebelum melesat kembali ke angkasa.

***

Di angkasa sana, Bintang sedang tersenyum-senyum. Keping-keping memori melesat bagai peluru. Tersusun, mencipta satu gambar yang mendamaikan hatinya; Nona. Bintang tahu, pertemuan dengan Nona bukan lah pertemuan yang terakhir. Pertemuan barusan ialah awal dari perjalanan yang kelak menuntunnya pada kebahagiaan sejati, Kejora Utara jatuh cinta kepada seorang manusia? Tak dipikirkan resiko besar yang kelak dihadapinya. Bimasakti pasti menentangnya. Teman-temannya pasti akan menertawakannya. Namun, detik itu Bintang tak lagi peduli. Ia telah jatuh cinta—jatuh sejatuh-sejatuhnya, cinta secinta-cintanya. Ia berjanji pada dirinya sendiri, ia akan menjaga sang Putri hingga ajal merenggutnya.

***

Nona membatin. Kebetulan? Dia menggeleng. Dalam satu hari sudah terlalu banyak keanehan yang dialaminya. Kabur dari kerajaan, tersesat di hutan, hingga bertemu dengan seorang penyihir, atau menyerupai penyihir. Tidak mungkin semua kejadian ini didasari oleh kebetulan, batinnya. Sel abu-abu di kepalanya berpikir keras, mencari alasan paling tepat untuk menafsikran ini semua. Ditambah dengan fakta jika dia telah menyaksikan sesuatu yang selalu dia anggap sebagai mitos, cerita tanpa bukti nyata; sihir. Skeptis ialah sifat Nona sedari kecil. Selama dia tak melihatnya sendiri, dia takkan mau mempercayai. Maka dari itulah dia tak pernah percaya dengan kebetulan dan keberuntungan. Karena mereka tak berwujud, abstrak.
Tetapi, konsep itu sudah diruntuhkan oleh kehadiran Bintang. Kali ini, logikanya percaya jika semua yang terjadi di hari ulang tahunnya ke delapan belas ini adalah suatu tanda dari semesta. Delapan belas tahun, lambang transisi emosi, evolusi di setiap sisi.
Dan Bintang... Ada sesuatu yang tak bisa Nona pungkiri ketika dia menghabiskan waktu bersama Bintang. Nona merasa nyaman. Tatapan Bintang sehangat peluk pada hatinya yang mulai membeku. Setiap nasihat yang Bintang ucapkan terdengar halus namun sanggup mengobarkan api di dalam jiwanya. Bintang, sang Kejora Utara.
“Mungkin, kamu kejoraku...”


Nona,
Aku begitu kecil di tengah kau yang sangat luas
Samudera rindu tanpa batas
Jemariku menari-nari
Menulis namamu di sudut galaksi
Apa kau melihatnya?
Tak perlu kau mencariku
Karena kau ialah Bumi
Dengan segala gravitasi yang menarik hati
Cintaku berlutut slalu di hadapmu
Pejamlah
Dan lihatlah
Satu titik cahaya dalam megah Andromeda
Menjagamu, mencintamu
Itu aku, Sang Kejora

3 comments:

  1. I'm waiting for the next chapter. It's pretty.

    ReplyDelete
  2. Love it!! I wish I could have the mind to write like yours

    ReplyDelete
  3. I notice the allegory you're trying to convey through this piece. The concept kind of reminds me of that book, Stardust by the way. Keep it up man

    ReplyDelete