Friday, June 6, 2014

Coffee Gets Cold... Well, So Does Love


“Wih, gila. Ramalan lo bener bro!” seru laki-laki di depanku. “Lo dulu bilang hubungan gue sama Nadia bertahan sebentar, dan ternyata bener-bener kejadian. Buka layanan REG (spasi) Papa Revi deh, pasti laku.” Aku tertawa kecil, sembari menyesap secangkir coklat yang sedari tadi kudiamkan. Dingin.

“Lo habis putus malah kelihatan bahagia. Nggak salah?” tanyaku.  
Lha, buat apa mempertahankan sesuatu yang tidak membahagiakan? Dia bosan, gue bosan. Dia butuh hal baru, gue juga. And so we’re done”.
“Semudah itu?” tanyaku, mendesaknya lebih jauh.
“Iya. Ini tentang masa depan, Rev. Maksud gue, buat apa melanjutkan apa yang udah nggak bisa dilanjutkan lagi? Gue sayang sama dia, tapi gue paham bahwa gue sama dia nggak cocok dan nggak bisa sama-sama. Makanya, gue memilih untuk pisah, biar dia nyari kebahagiaannya sendi...”
“...Dan lo, yakin sayang dia?” potongku.

Hening. Kami sama-sama diam.

“Yakin. Sayang sama seseorang nggak menjamin membuat diri kita lebih bahagia. Bahagia itu kita sendiri yang tahu. Ya mungkin suatu saat lo juga akan tahu, Rev.“ Nadanya meninggi.
“Mungkin.”
Mataku menerawang. Aku mengaduk-aduk isi cangkir yang sudah habis, jelas aku tidak begitu memperhatikan kata-katanya.  Sejujurnya aku memang tidak pernah tertarik dengan sesuatu yang berbau roman. Jatuh cinta, patah hati, rindu tak tersampaikan, atau apalah. Terlalu girly untuk seorang lelaki. Di saat setiap orang berusaha membahagiakan pasangannya, membelikan dia bunga, menulis sajak-sajak rindu, dan jatuh cinta terlalu dalam, aku lebih memilih bermain Football Manager ditemani setoples kastangel di dalam kamar. Sunyi, sepi; cukup bagiku. Mungkin memang dasarnya aku tidak percaya cinta. Atau cinta yang tidak mempercayakan dirinya kepadaku? Entahlah.

“Lo tahu? Lo itu terlalu dingin, Rev. Udah saatnya lo punya pacar lagi,” ujarnya.
“Nggak nyambung,” balasku cepat, berusaha menjauhkan obrolan cinta-cintaan.
“Lo kan bisa ngeramal, and “gue bisa ngeramal, coba liatin garis tangan lo deh” is a great line, dude. You should try it sometimes,” selorohnya diikuti tawa kami berdua.
            Sudut cafe yang sudah sepi seketika ramai kembali, mengundang mata pengunjung untuk melirik meja kami. Dua orang laki-laki, tertawa lepas pukul satu malam, ditemani sebungkus rokok, dua cangkir coklat panas yang sudah habis, dan satu deck kartu remi; yang sama-sama menertawakan nasib dan tidak peduli dengan kuliah esok hari. Tidak ada yang spesial.
“Lo... lo nggak jatuh cinta dengan kesendirian kan?“
Aku terdiam agak lama, sebelum menjawab dengan gelengan. “Lalu?” lanjutnya. “Nggak tahu, mungkin kesendirian yang mencintai gue,” candaku.
Tidak ada tawa, dia hanya menatapku aneh. “You really have some serious issues, dude,” herannya, masih menatapku aneh.

“Apa yang lo rasain saat lo masih sama Clara?” tanyanya.
“Ya, gue sayang sama dia.”
“Dan lo, yakin sayang dia?” tanyanya lagi, meniru pertanyaanku.
“Iya.”
“Iya?”
“Iya.”

Dia terdiam. Tatapannya masih sama, aneh. Seolah tidak percaya bahwa teman akrabnya sejak SMA ini betul-betul manusia. Jika cafe ini sepi, mungkin dia sudah mengambil pisau dari dapur lalu membedah tubuhku, mencari sekrup yang menempel di otot-otot lenganku untuk membuktikan bahwa aku benar sebuah robot yang dikirim dari planet antah-berantah untuk menghapus ajaran cinta kasih di bumi.
Mungkin khayalanku berlebihan.

“Okay, gue balik ke kost ya. Besok kuliah pagi jadi harus masuk. Lo gimana?” Ia beranjak dari kursi, mengenakan kembali jaket kulitnya.
“Gue mau cabut Sospol, salah dosennya sendiri ngasih jadwal pagi amat,” jawabku cuek.
“Gila lo. Duluan ya. Jangan lupa jatuh cinta.”
Dia berjalan menuju parkiran, menyalakan Vespa kesayangannya, lalu menghilang bersama malam.
Aku merenung. Ada sesuatu yang mengganjal. Ada sesuatu yang tidak kukatakan dengan jujur. Atau mungkin memang aku saja yang tidak pandai mengungkapkannya. Kukatakan? Kuungkapkan? Terserah, apa saja bisa. Aku merasa menjadi dua, satu mengikuti alur logika, satu lagi mengikuti kata hati.

...Tunggu dulu. Hati?
Aku terhenyak. Sekarang, sesuatu itu seakan menghantamku keras. Ia menerobos pertahanan terkuatku, memaksaku untuk takluk dan memikir ulang konsep akal sehat - perasaan.
Dan bagaimana bisa aku memasukkan apapun yang berhubungan dengan hati ke dalam hipotesisku?

Aku berpikir keras, mencari-cari penjelasan paling rasional.
Gugup? Bukan.
Lapar? Bukan.
Mabuk? Jelas bukan.
Berbohong? Hmm... Namun berbohong tentang apa? Berbohong yang bagaimana? Berbohong karena apa?
Aku mendengus kesal. Aku menyerah.

“Jangan lupa jatuh cinta.”
Kata-kata itu terngiang di telinga. Berputar berulang-ulang di kepala seperti kaset rusak.

Aku melamun.
Mungkin benar, aku adalah robot pembasmi cinta kasih.
Mungkin benar, aku dan kesendirian saling mencintai.
Mungkin benar, aku terlalu dingin hingga tak peduli dengan hangat di sekitar.
Mungkin benar, aku sudah lupa jatuh cinta.

3 comments:

  1. tulisannya bagus, gak pandai komentarin tulisan sih, yang jelas gue suka banget bahasanya.

    ReplyDelete
  2. Bahasanya nyantai, jdi ceritanya asik ga bkin boring. Seru, gue suka .

    ReplyDelete