Selamat
malam.
Mungkin
ini tulisan non-fiksi pertama saya—atau bahkan, tulisan pertama saya, setelah
berbulan-bulan vakum menulis. Saya tidak menyalahkan sepenuhnya atas kuliah atau
seluruh kegiatan kampus yang menyita waktu saya. Mungkin ini memang karena rasa
malas saya saja—ya, meski kuliah turut menjadi salah satu faktornya.
Ada
hal yang ingin saya perbaiki di hidup saya. Beberapa hal. Isi pikiran, sudut
pandang, kegiatan, lingkungan. Para filsuf itu benar, semua benda di sekitar
turut memberi pengaruh bagi kita. Baik yang bernafas, maupun tidak. Mengapa
saya menggunakan kata bernafas?
Karena saya rasa, sesuatu tidak bisa dikatakan tak bernyawa. Ia memiliki jiwa,
meski tak bernafas. Ia memiliki suatu energi untuk memberikan pengaruhnya
kepada kita. Mungkin, kita yang tak sadar. Atau mungkin, kita yang sebenarnya
tak peka dalam mendengar serta memahami suara-suara di sekitar. Suara-suara
yang tak mewujud. Suara-suara yang hanya mampu memeluk batin. Suara-suara yang hadir
untuk mengingatkan, bukan menjerumuskan.
Lalu,
saya memutuskan untuk jarang mengunggah tulisan di Blog. Saya takut, suara-suara
yang ingin kudengar itu menjadi tak lagi murni. Bisa jadi ia terdistraksi oleh bisik
kemewahan, rayu ketenaraan, atau juga goda kegemerlapan.
Satu
hal yang saya pelajari dalam diam. Kedamaian, tak sanggup dibeli oleh apapun.
Tidak harta, tidak wanita.
Ya,
saya menulis untuk menemukan kedamaian, bukan nama. Saya ingin menulis prosa
yang lugu dan jujur, bukan semata-mata menjual mimpi. Saya ingin merangkai kata
untuk keindahan frasa itu sendiri, bukan dijualbelikan.
Kau
boleh sebut saya naif. Tidak masalah, karena tidak ada suatu apapun yang
bersifat objektif di hidup. Dan ini bentuk subjektivitas saya. Ini bentuk
protes saya terhadap mereka yang terus menuntut sebuah pemuas. Saya rasa
orang-orang ini butuh tamparan keras. Mereka harus diingatkan, hidup tidak pernah
memuaskan.
Begitulah.
Tidak ada yang namanya kebahagiaan abadi karena yang abadi hanyalah
ketidakabadian. Kemudian, pertanyaan selanjutnya adalah ‘Jika tidak ada kebahagiaan abadi, apa kita harus senantiasa bersedih?’
Menurutku, tidak.
Suatu
saat, ada seseorang yang bertanya di ask.fm saya, “Kak, kalau sedih enaknya
ngapain?” Dengan ketusnya--saya adalah tipe orang yang malas menghabiskan
tenaga untuk menerangkan, saya menjawab, “Cari apa yang membuatmu tersenyum dan
tertawa, meski hanya sejenak. Bahagia lah untuk sekedar melupakan sedihnya
hidup karena kebahagiaan serta kesedihan adalah dua hal yang begitu cepat
berakhir (termasuk makanan enak). Sayangnya, kita tidak akan tahu kapan kita
akan mengalami dua hal tersebut. Jadi, bersiaplah.”
Saya
adalah pencari tawa. Dan saya rasa, para penyedia tawa adalah pekerja yang seharusnya
mendapat honorer lebih.
Hal-hal
di atas adalah apa yang saya tangkap setiap kali menonton film-film. (Ya,
sekarang saya lebih gemar menonton film daripada membaca buku). Dengan menonton
film, saya mendapat kedamaian. Saya bisa melupakan kepenatan kuliah, tuntutan
tugas, ketidakakuran dengan seseorang—mungkin beberapa, serta masalah lain di
sekitar. Saya merasa tertolong.
Selain
itu, saya tidak mau menghasilkan karya murahan. Sungguh, saya benci sifat
perfeksionis saya. Tapi setelah saya pikir-pikir, sifat ini lah yang membuat
saya bertahan hidup. Idealis, visionaris, atau kasarannya tukang ngimpi. Saya tidak mau dicap sebagai
penulis galau remaja atau hanya bisa menelurkan karya cinta-cintaan tipikal.
Saya tidak mau menuruti pasar.
Maka
dari itu, saya memulai langkah saya dengan membuat Metamorfosis—yang saya rasa tulisan terbaik saya, meski lebih
banyak orang yang setuju jika Secangkir
Kenangan adalah yang terbaik. Saya ingin menggali lebih potensi yang ada.
Saya belajar dari film-film karya Woody Allen serta film-film lainnya seperti Before trilogy, Eternal Sunshine of The
Spotless Mind, La Dolce Vita, dan 8 ½.
Saya
sendiri sudah menyiapkan dua proyek yang semoga mampu saya selesaikan saat
liburan nanti. Yang pertama adalah kumpulan cerita tentang magisnya malam di
Yogyakarta, lalu yang kedua adalah sebuah cerita tentang seorang perempuan
bernama Rani.
Apapun
itu, saya ingin membuat karya yang jujur, tidak menjual mimpi serta harapan
(bahkan saya harus mengulang kalimat ini dua kali). Dan maaf saja, saya tidak
mau menjadi tukang sajak semi politik atau menjadi penulis yang selalu saja
mempromosikan bukunya, berharap-harap difilmkan, kemudian memamerkan pencapaian
di media sosial.
Semoga,
keinginan saya ini bisa terwujud. Amin.
Terakhir,
saya telah menggunggah tulisan saya yang dibuat tahun 2012 sebagai hadiah untuk
kalian dan juga untuk Blog ini yang tengah berulang tahun bulan ini. Selamat
menikmati.
Bisa ngerti maksud pean. Hal yg juga pernah saya pikirkan dan rasakan. Dan saya akui tulisan2 pean di blog memang berkualitas, bahkn terlalu bagus untuk sebuah blog. saya suka dg keidealisan pean d dunia tulis menulis ini. semoga sukses!
ReplyDelete