Friday, June 6, 2014

Kata Pengantar




Selamat malam.
Mungkin ini tulisan non-fiksi pertama saya—atau bahkan, tulisan pertama saya, setelah berbulan-bulan vakum menulis. Saya tidak menyalahkan sepenuhnya atas kuliah atau seluruh kegiatan kampus yang menyita waktu saya. Mungkin ini memang karena rasa malas saya saja—ya, meski kuliah turut menjadi salah satu faktornya.
Ada hal yang ingin saya perbaiki di hidup saya. Beberapa hal. Isi pikiran, sudut pandang, kegiatan, lingkungan. Para filsuf itu benar, semua benda di sekitar turut memberi pengaruh bagi kita. Baik yang bernafas, maupun tidak. Mengapa saya menggunakan kata bernafas? Karena saya rasa, sesuatu tidak bisa dikatakan tak bernyawa. Ia memiliki jiwa, meski tak bernafas. Ia memiliki suatu energi untuk memberikan pengaruhnya kepada kita. Mungkin, kita yang tak sadar. Atau mungkin, kita yang sebenarnya tak peka dalam mendengar serta memahami suara-suara di sekitar. Suara-suara yang tak mewujud. Suara-suara yang hanya mampu memeluk batin. Suara-suara yang hadir untuk mengingatkan, bukan menjerumuskan.
Lalu, saya memutuskan untuk jarang mengunggah tulisan di Blog. Saya takut, suara-suara yang ingin kudengar itu menjadi tak lagi murni. Bisa jadi ia terdistraksi oleh bisik kemewahan, rayu ketenaraan, atau juga goda kegemerlapan.
Satu hal yang saya pelajari dalam diam. Kedamaian, tak sanggup dibeli oleh apapun. Tidak harta, tidak wanita.
Ya, saya menulis untuk menemukan kedamaian, bukan nama. Saya ingin menulis prosa yang lugu dan jujur, bukan semata-mata menjual mimpi. Saya ingin merangkai kata untuk keindahan frasa itu sendiri, bukan dijualbelikan.
Kau boleh sebut saya naif. Tidak masalah, karena tidak ada suatu apapun yang bersifat objektif di hidup. Dan ini bentuk subjektivitas saya. Ini bentuk protes saya terhadap mereka yang terus menuntut sebuah pemuas. Saya rasa orang-orang ini butuh tamparan keras. Mereka harus diingatkan, hidup tidak pernah memuaskan.
Begitulah. Tidak ada yang namanya kebahagiaan abadi karena yang abadi hanyalah ketidakabadian. Kemudian, pertanyaan selanjutnya adalah ‘Jika tidak ada kebahagiaan abadi, apa kita harus senantiasa bersedih?’ Menurutku, tidak.
Suatu saat, ada seseorang yang bertanya di ask.fm saya, “Kak, kalau sedih enaknya ngapain?” Dengan ketusnya--saya adalah tipe orang yang malas menghabiskan tenaga untuk menerangkan, saya menjawab, “Cari apa yang membuatmu tersenyum dan tertawa, meski hanya sejenak. Bahagia lah untuk sekedar melupakan sedihnya hidup karena kebahagiaan serta kesedihan adalah dua hal yang begitu cepat berakhir (termasuk makanan enak). Sayangnya, kita tidak akan tahu kapan kita akan mengalami dua hal tersebut. Jadi, bersiaplah.”
Saya adalah pencari tawa. Dan saya rasa, para penyedia tawa adalah pekerja yang seharusnya mendapat honorer lebih.
Hal-hal di atas adalah apa yang saya tangkap setiap kali menonton film-film. (Ya, sekarang saya lebih gemar menonton film daripada membaca buku). Dengan menonton film, saya mendapat kedamaian. Saya bisa melupakan kepenatan kuliah, tuntutan tugas, ketidakakuran dengan seseorang—mungkin beberapa, serta masalah lain di sekitar. Saya merasa tertolong.
Selain itu, saya tidak mau menghasilkan karya murahan. Sungguh, saya benci sifat perfeksionis saya. Tapi setelah saya pikir-pikir, sifat ini lah yang membuat saya bertahan hidup. Idealis, visionaris, atau kasarannya tukang ngimpi. Saya tidak mau dicap sebagai penulis galau remaja atau hanya bisa menelurkan karya cinta-cintaan tipikal. Saya tidak mau menuruti pasar.
Maka dari itu, saya memulai langkah saya dengan membuat Metamorfosis—yang saya rasa tulisan terbaik saya, meski lebih banyak orang yang setuju jika Secangkir Kenangan adalah yang terbaik. Saya ingin menggali lebih potensi yang ada. Saya belajar dari film-film karya Woody Allen serta film-film lainnya seperti Before trilogy, Eternal Sunshine of The Spotless Mind, La Dolce Vita, dan 8 ½.
Saya sendiri sudah menyiapkan dua proyek yang semoga mampu saya selesaikan saat liburan nanti. Yang pertama adalah kumpulan cerita tentang magisnya malam di Yogyakarta, lalu yang kedua adalah sebuah cerita tentang seorang perempuan bernama Rani.
Apapun itu, saya ingin membuat karya yang jujur, tidak menjual mimpi serta harapan (bahkan saya harus mengulang kalimat ini dua kali). Dan maaf saja, saya tidak mau menjadi tukang sajak semi politik atau menjadi penulis yang selalu saja mempromosikan bukunya, berharap-harap difilmkan, kemudian memamerkan pencapaian di media sosial.
Semoga, keinginan saya ini bisa terwujud. Amin.
Terakhir, saya telah menggunggah tulisan saya yang dibuat tahun 2012 sebagai hadiah untuk kalian dan juga untuk Blog ini yang tengah berulang tahun bulan ini. Selamat menikmati.

1 comment:

  1. Bisa ngerti maksud pean. Hal yg juga pernah saya pikirkan dan rasakan. Dan saya akui tulisan2 pean di blog memang berkualitas, bahkn terlalu bagus untuk sebuah blog. saya suka dg keidealisan pean d dunia tulis menulis ini. semoga sukses!

    ReplyDelete