Sunday, July 27, 2014

Fantaisie-Impromptu

Once again to you, Min
Happy birthday

***

“Fantaisie-Impromptu”


Juni 2013 di musim panas. Bukan musim kemarau, melainkan musim panas. Senja berkanvaskan cakrawala. Hapuslah ia oleh bayang hitam langit yang tetap suci. Konstelasi bintang bak lautan permata yang menghiasi angkasa tanpa batas. Dekorasi agung tak ternilai. Inikah keindahan? Inikah kenyataan? Tak ada yang membatasi realitas ketika musim panas tiba. Ya, bukan musim kemarau, melainkan musim panas—dengan segala mimpi dan fantasi liar yang menjadi alkohol bagi mereka yang ingin mabuk.
Aku ingin mabuk. Bila cinta bisa membuat seseorang menjadi mabuk aku ingin memesan ratusan gelasnya. Aku ingin mabuk dan tak bangun lagi. Aku ingin menari, segila-gilanya, selepas-lepasnya, bersama puisi tak beraga dan jiwa-jiwa pemenang. Aku ingin bebas. Bisakah hidup berwarnakan merah, kuning, hijau bukan hitam dan putih? Ramai nan elok. Mimpi para harimau-harimau muda yang berani menantang dunia. Naif dengan mata yang berapi-api dan mulut yang meneriakkan janji-janji konyol tak berisi. Tetapi bukankah semua orang berjanji? Bukankah lalu semua orang tak menepati? Malu lah sang harimau renta yang tak sanggup berlari lagi. Gigi yang patah serta semangat yang koyak.

Aku tak ingin tua.
Aku ingin bercinta.

***
           
Kualihkan pandanganku ke penanda jalan. Klaten, jalan terus. Berarti masih ada satu jam lagi sebelum tepat mencapai Yogyakarta. Setiap hal sudah dianalisis dengan baik. Berangkat dari Solo pukul lima sore, sampai Yogyakarta pukul tujuh malam. Mengisi perut terlebih dahulu dengan satu porsi nasi goreng kambing. Menikmati teh hangat di salah satu kafe terkenal di Solo. Berangkat sebelum malam terlalu larut untuk diarungi.
“Semua baik-baik saja kan, Nat?”
Aku mengangguk lemah.
“Kemungkinan kita akan sampai di hotelmu pukul tujuh atau tujuh lebih. Tidak apa-apa?”
Dia tak menjawabku dengan segera. Kedua matanya menatapku, hati-hati. Seolah dia sedang memperhatikan seksama sebuah lukisan zaman Renaissance. Bersama goresan indah nan bertalenta milik Michelangelo, Donatello, atau mungkin Da Vinci—maestro sejati akan cinta, jiwanya melebur.
“Okay. Kalau begitu, aku istirahat sebentar,” jawabnya sembari menidurkan kursi mobil.
Kueratkan genggamanku pada setir mobil. Kufokuskan kembali pikiranku menyusuri jalanan yang merentang. Kelam, tak berujung. Namun, tak ada ketakutan satu pun yang menguasai hati. Ada cahaya yang menjamahku, memandu aku. Ia akan mengantarkan kami selamat sampai tujuan. Setidaknya, begitu harapku.
Aku menoleh ke arahnya.
“Mungkin...”

***

Malam sudah terlahir sempurna. Inkarnasi dari segala wujud harap yang berdoa untuk kebahagiaan esok hari. Namun, betulkah bahagia itu sudah dijanjikan? Serta merta disajikan cuma-cuma selayaknya hadiah ulang tahun? Tidak ada yang mampu memberikan jawaban yang benar. Tidak cendekiawan, tidak pujangga. Memuaskan bisa, tetapi benar? Apa arti benar dan salah jika nilai dari kebenaran dan kesalahan ialah subjektivitas? Karena justru pertanyaan lah yang sekali lagi tercipta dari pikiran yang tak sanggup beristirahat.
Tetapi untuk apa beristirahat jika diperbolehkan untuk menari tak henti-hentinya dan berpesta sepuas-puasnya? Ini musim panas. Isi cawanmu dengan anggur lalu menggilalah! Cumbulah! Tukarlah desah dan peluh dengan kekasihmu atau bukan kekasihmu! Hidup adalah karnaval bagi mereka yang mensyukurinya.
Aku mensyukuri hidup, dengan segala kelebihan serta kekurangannya. Mengapa aku tak menari, tanyamu? Aku akan menari, tentu. Hanya saja, biarkan aku menikmati tontonan akan punahnya kebajikan dan kendali diri. Sebuah kepuasan tertentu bagi mereka yang bangga mendefinisikan dirinya sebagai si pengamat hidup. Atau menurut mereka yang sudah lebih dulu berada di atas panggung, si penakut.
Tetapi sebuah pikiran melintas di kepalaku. Hidup hanya hadir satu kali.
Maka segera ku beranjak dari dudukku. Berlari, bergabung bersama ramai sorak sorai para sahabat yang menggema membahana. Aku tak membuang-buang waktu. Kuambil, kutenggak gelas pertama. Lalu kutenggak gelas kedua, gelas ketiga, gelas keempat, gelas kelima, gelas keenam. Lagi, lagi, dan lagi; hingga tak mampu lagi mulut dijejali dosa.
Mabuklah aku saat tengah malam tiba. Meneteskan air liur, bersiap menjamah berhala dunia. Harta, tahta, wanita.
“Tujuh hari tujuh malam kita akan berpesta! Kita akan minum! Kita akan berdansa! Kita akan bercinta!” teriak sang Tuan Rumah.
Lalu mengalirlah lebih banyak lagi gelas-gelas maksiat. Lebih banyak lagi warna yang kehilangan makna. Lebih banyak lagi cinta.
Aku ingin bercinta. Aku ingin bercinta tujuh hari tujuh malam. Aku ingin bercinta hingga cinta mencintai aku. Bukankah seluruh manusia berkeinginan mampu mencintai dan mampu dicintai? Apa yang salah? Apa yang tak benar dari menjadi bagian dari perayaan cinta? Karena cinta ialah keabadian murni tanpa ada yang sanggup membunuh cinta selain cinta itu sendiri.
Limbung, aku melangkah. Dengan bibir untuk menelanjangi dan mata untuk mendesah, aku mencari-mencari. Mencari cinta.
Dan bertemulah aku dengan seorang anak perempuan. Putih, polos. Dengan bibir untuk menelanjangi dan mata untuk mendesah. Serupa.
Dia pun tengah mabuk.
“Lihat degradasi moral yang terjadi di sekitar kita! Pembunuhan yang dijustifikasi sebagai tindakan yang diperlukan. Perampasan hak tanpa ada penegakan hukum. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Gila, ini gila!”
Kau juga demikian.
“Kau tahu siapa yang selalu bermimpi akan kepuasan fana? Hewan berjubah manusia. Mereka semua, mereka!”
Kau juga demikian.
“Apa yang akan dikatakan Freud bila melihat semua ini? Apakah manusia ideal sejujurnya tak lebih dari pemimpi ulung tanpa harapan? Inikah akhir yang tak sempurna dari ciptaan Sang Maha Sempurna?”
Kau juga demikian.
Pekik dan tawa memenuhi ruangan. Tidak hanya dia, tetapi juga semua orang. Semua orang tertawa, menertawakan. Aku, tak terkecuali. Entah apa yang ditertawakan. Tidak ada yang salah kostum dalam perjamuan tanpa pakaian. Tidak ada yang dengan serta-merta rela menjadi budak untuk dimaki-maki. Aku menyisir pandanganku ke sekeliling. Dosa yang tak henti-hentinya mengalir, pemuda-pemudi yang belum puas berburu kebenaran, dan sang rembulan yang begitu kalem menyaksikan. Tidak, tidak ada yang lucu.
Kini, mataku menemukan matanya. Bibirku menemukan bibirnya. Berpagutan, bercumbu dengan liarnya tanpa menanti aba-aba. Terus, terus, dan terus. Seakan ada haus yang minta dilegakan. Dan oase itu... matanya, bibirnya, telinganya, lehernya, pundaknya, dadanya, pinggangnya, jenjang kakinya—seluruhnya. Semakin aku mereguk surga, semakin aku kehausan. Kutengadahkan kepalaku menatap langit. Inikah cinta? Inikah kenyataan? Pesona bintang tak pernah sedekat ini. Bergelora, menggoda musafir yang tengah mempertanyakan jati diri.
Kualihkan pandanganku kepada dia. Tubuhnya meluruh, menyatu bersama tubuhku. Padu. Utuh. Wujud cinta sejati yang telah kembali terlahir.
Di sinilah aku, berada di dalam sekaligus di luar bingkai kehidupan. Aku bisa melihat diriku yang di dalam mencemooh aku yang tengah duduk sekadar mengamati kami para penantang dunia. Lalu, diriku yang di luar, menikmati kejenakaan yang dilakonkan para pemeran teatrikal absurditas.

Aku tak peduli.
Aku ingin bercinta. Aku ingin bercinta tujuh hari tujuh malam. Aku ingin bercinta hingga aku mewujud menjadi cinta.

***

Pukul 19.04. Di Klaten. Tak sesuai perkiraan. Jalanan tak terelakkan dari sesak kendaraan yang menuju Yogyakarta. Sebagian besar berplat nomor AB, AD, B, H. Entah untuk pulang atau membuka lembar baru. Tetapi apa arti rumah bila kelak dipersingkat waktu?
Sudah setengah jam mobil-mobil berhenti bergerak. Ular-ularan panjang. Alur-aluran bercabang. Menunggu maju, membuat perbedaan. Se senti yang menjadi harapan.
Aku terhisap oleh pemandangan di luar jendela. Gemerlap lampu kota begitu memanjakan mata. Elegan, berlian kota di tengah gelap. Kulihat satu dua warung kaki lima mulai ramai disesaki orang-orang yang sudah lelah bekerja sejak pagi hingga ia ditutup tirai sang malam. Bagiku, bagaimana sebuah tempat mampu menyatukan orang dari berbagai strata, berbagai kalangan, dan berbagai latar belakang menjadi seragam, bersama-sama mengeluh dan melupakan hidup begitu menarik. Bersantai yang pura-pura—tak lebih dari persiapan untuk larut dalam putih-hitam yang sama di esok hari. Monotonitas kehidupan. Mungkin bias cahaya kendaraan dari arah berlawanan mampu mendengar mereka. Jemari mungil yang berani menggapai malam. Bintang yang jatuh. Seandainya ia bisa mengabulkan permohonan.
“Sudah sampai mana?” celetukan seraknya mengagetkanku.
“Kebangun? Masih di Klaten. Macet.”
Dia mengusap kedua matanya. Perlahan, dia menyisir pandangannya ke sekitar.
“Oh, iya... Air minum di ma—” sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, kusodorkan sebotol air minum kemasan yang ada di kursi belakang.
Diteguknya hingga tak menyisakan setetes air pun.
“Haus banget, nih. Maaf ya. Aku juga belum minum semenjak dari Warung Tiga Tjeret sore tadi. Biasa karena terburu-buru. Nanti kalau haus, kita mampir Indomaret atau toko yang paling dekat, ya? Tidak apa-apa, kan?”
Aku hanya mengangguk sekenanya. Jujur saja, aku tidak mendengarkan ucapannya. Sedari tadi aku lebih memperhatikan dia minum. Bibirnya yang basah, berkilau. Matanya memejam, menikmati setiap teguk yang menyejukkan kerongkongan. Pelan, lidahnya menjilat bibirnya seolah tak ingin kehilangan satu tetes pun. Potongan-potongan gambar yang bergerak dengan frame rate yang lebih lambat dari biasanya. Erotis.
Buru-buru aku kembali berkonsentrasi menyetir.
“Kalau macet seperti ini, kira-kira butuh berapa jam lagi ya sampai hotel?”
Aku menilik jam tangan. “Ya, kalau begini, sih, sepertinya agak lama. Sudah sebelas menit berlalu tapi belum ada tanda-tanda mobil bergerak atau macet berakhir. Ya, mungkin bakal ngaret sampai jam delapan lebih sedikit. Gimana?”
Dia terdiam agak lama. Matanya menerawang ke sisi jalan. Merenung, mencari sebuah jawaban yang menyelamatkan. Menyelamatkan? Pertanyaan untuk pernyataan. Sesuatu yang dimiliki oleh mereka yang sedari dulu hidup terprogram. Ketika A, maka B; ketika C, maka D; ketika E, maka F. Tak memiliki pilihan lain selalu mengikuti alur yang sudah digariskan. Bagi mereka, mengingkari pernyataan yang sudah diperintahkan sama saja menghancurkan diri sendiri. Lebih baik aman walau tak nyaman. Eksistensi dilematis.
“Dicurigain Mas pacar ya?”
Dia tergelak. Tetapi aku bisa melihatnya. Ada yang tak murni dari tawanya. Menertawakan derita. Getir.
“Maaf aku menculik kamu. Ketika aku mendengar kau sedang di Jogja, aku langsung segera ingin menemuimu. Aku butuh liburan dari semua kesibukan kuliah,” ada sedih yang meluap sebelum aku merampungkan kalimat, “I don’t think I can make it. Sesuatu yang tidak pernah kau inginkan tetapi harus kau lakukan. Kau tahu? Perbudakan. Dari jam tujuh pagi sampai pukul tujuh malam dari Senin sampai Jumat, belum ditambah tambahan praktikum dan laporan yang belum tuntas. Tiga bulan. Penat yang menyintingkan otak.”
“Aku tak masalah dengan segala kesibukannya yang menyita waktu tetapi ini semua tak pernah aku inginkan. Bukan jurusan yang aku mau, bukan mimpi yang ingin aku capai. Aku tak bisa melawan karena aku mencintai mereka yang mendorongku hingga saat ini. I hate this passive-aggressive thing.
“Tapi sekarang udah selesai, kan?” lembut dia menepuk pundakku.
Aku mengangguk. “Selesai sementara... Makanya, aku ingin rehat sejenak. Liburan,” ucapku dengan penekanan, “Engga perlu jauh-jauh, di Solo juga cukup.”
“Dan sudah kesampaian kan?”
“Ya, sudah...”
Ada damai yang menyelimuti hati. Setiap kata yang dia ucapkan menyentuh batinku lembut. Tak sanggup sutra berkualitas terbaik menandingi. Mungkin ini definisi kenyamanan sejati. Emas berkarat, pakaian model terkini, istana berfasilitas lengkap mungkin mampu diusahakan. Tetapi berbagi suka dan duka dengan satu orang yang bisa kau percaya? Ya, aku bersyukur. Memonetisasi hidup ialah dosa besar bagi seorang realis seperti aku. Apa adanya, adanya apa. Ya sudah. Terdengar klise, memang. Sayang, sesungguhnya kalimat itu kehilangan makna sejak manusia tidak lagi memaknai hidup. Apa yang menjadi masalah? Uang. Sumber masalah merangkap jawaban. Uang, uang, uang. Mandi untuk uang, makan untuk uang, menangis untuk uang, bercinta untuk uang—hidup untuk uang. Dewa Pluto di langit sana pasti sedang girang-girangnya.
“Tunggu dulu. Jadi, kesalmu ini semacam bentuk justifikasi untuk menganggu jadwalku dan membawa aku pergi ke Solo?” protesnya sembari mengernyitkan alis.
Mendadak tenggorokanku tercekat. Kuputar otakku cepat. Segala probabilitas harus dikalkulasi secara tepat. Resiko dan keuntungan harus ditimbang matang-matang. Respon logis yang tidak berbasis afeksi. Pembenaran yang tidak menyangkut-pautkan rasa. Murni dari sirkuit sel abu-abu. Salah sedikit saja bisa menciptakan deviasi yang melenceng jauh dari harapan. Cari jawaban, cari jawaban.
It sounds stupid, tapi aku kangen kamu.”
....
Sebentar.
....
Sebentar.
Sebentar.
Sebentar.
Apa.
Yang.
Baru.
Saja.
Aku.
Katakan?
“Tapi Bos, masa Anda mau membohongi nurani sendiri?” Ada yang berbicara. Aku bisa mendengarnya. Entah dari mana. Lebih pasnya, aku pura-pura tak tahu berasal dari mana. Gila. Susah-susah kukembangkan metode sistematis merasionalkan cinta, sekarang diambrukannya ia oleh sebuah aplikasi kejujuran. Logika macam apa yang didasari perasaan?
Tawanya yang meledak mengembalikan kesadaranku.
“Maksudku kangen sebagai sahabat,” potongku dengan suara bergetar. Segera kunyalakan ulang sirkuit sel abu-abu. Aku tak mau mempermalukan diriku lebih lanjut.
I know... You are my lovely best friend,” desisnya.
Aku berdehem. “Jadi, ada masalah sama Ruben?”
Raut mukanya kembali muram. Pertanyaanku seperti kunci yang tepat membuka ruang kepedihan yang bertahun-tahun dia kunci. Belum ada jawaban yang keluar dari bibirnya. Malah, dia menggumam tak jelas kemudian mengalihkan pandangan ke luar mobil. Sempat aku ingin tertawa melihat dramatisasi tindakannya, tetapi aku tahan.
“Akhir-akhir ini hidupku kurang berwarna,” dia menghela napas, “bahkan bukan hitam dan putih lagi, Nat. Cuman ada satu warna. Abu-abu.”
“Nata, aku bukan orang yang suka mencari kesuksesan dan kebahagiaan secara instan. Usaha adalah gravitasi yang menarik kilau-kilau itu ke bumi. Kini, mereka sudah di genggamanku. Kau tahu, karir yang terus naik, status sosial yang semakin disegani, kemudian pacar yang sukses dan...,” ada aksentuasi pada ucapan selanjutnya, “betul-betul baik.”
“Lalu kau tahu apa yang lucu? Aku merasa abu-abu. Aku sudah bekerja keras, jatuh bangun membangun masa depan, dan yang kudapat hanya sesuatu yang abu-abu.”
Dia menggigit bibirnya, “Aku belum ingin pulang...”
“Kemacetan ini mengabulkan doamu.”
Bukannya tertawa, dia malah menundukkan mukanya. Aku merasa bersalah.
“Anita...,” aku memanggil namanya, “Kamu lebih tua daripada aku. Kamu sudah dewasa, tentu lebih tahu apa yang terbaik buat kamu. Apa kesuksesan yang terwujud ini mau kamu buang begitu saja?”
“Tetapi, Nat,” dia menggeleng lunglai, “kalau aku tahu kesuksesan malah memprogramku menjadi robot, belum tentu aku memilih jalan ini.”
“Tidak pernah ada yang salah. Klien yang aku tangani selalu tak merepotkan, berbagai biaya dan akomodasi kerja sudah ditanggung oleh kantor. Ya, aku diberi supir dan mobil pribadi di Jakarta. Ketika sampai di apartemen, aku disambut dengan senyum hangat dan pijatan mesra Ruben...”
“Ruben betul-betul baik, Nat,” Anita melanjutkan, “Ruben selalu meluangkan waktunya menemaniku makan siang di sela-sela jam kantor. Dia jauh-jauh pulang dari business trip ­nya di Jepang untuk menjengukku ketika badanku drop bulan lalu. Dia mengirimi aku satu bouquet Camellia merah dan gaun setelah kami bertengkar... ya kami sempat bertengkar kecil tentang gaun apa yang sebaiknya aku pakai di acara ulang tahun ibunya minggu depan. Dan gaunnya, a sophisticated Versace cocktail dress. Nat, Ruben betul-betul romantis.”
Entah dari mana, namun ada emosi  yang tetiba hadir di benak mendengar penjelasannya. “Mengapa tidak jujur saja kepada Ruben? Dia kan anak dari bosmu sendiri. Lagipula dia yang juga membantu karirmu meningkat pesat,” suaraku meninggi.
“Tidak, Nat... Tidak bisa. I can’t hurt him. Maka dari itu pula aku meminta cuti. Di Jogja, aku bisa menjernihkan pikiran. Kota yang tak pernah bisa aku benci. Lagipula di Jogja ada kamu. I know you can help me.”

Jemarinya menggenggam tanganku.

Bisiki aku
Melalui celah-celah kelabu
Selimut bagi mimpi laksana hantu

Sementara aku makin salah tingkah. Dadaku berdebar hebat. Tak pernah kubayangkan sebuah sentuhan kecil mampu membuat sebuah organ menjadi lebih hidup dari yang seharusnya.

Biarlah kaki mungilnya menginjak Bumi
Jatuh menjadi jutaan engkau
Tetes yang menggoda

Genggamannya semakin erat. Entah apa yang sekarang Anita pikirkan. Keheningan ini begitu mengusik. Kami larut dalam imajinasi yang kami ciptakan sendiri.

Mengalir hingga ke sudut bibir sang perawan
Menghanyutkan rindu tak bertuan
Menyesatkan dahaga dalam cinta tak bermuara

Matanya menemukan mataku. Sayu yang merajuk, seolah memohon kepadaku untuk berhenti memastikan aktualitas momen yang terasa ilusif. Segala yang terjadi, biarlah terjadi. Dinding kokoh berpondasikan nilai-nilai moral serta intergritas sebuah individu ideal ambruk, tak sanggup lagi menjadi sekat di antara dua raga yang mulai gila. Spasi itu habis digerogoti gelora yang menyalak bagai percik bara yang tiada habis. Yang tersisa dari semua hanyalah sebuah kubus hitam kecil. Pandora’s box, episode terakhir sang nestapa.

Kau, ilusi
Fantasi dalam sebuah delusi

Di sinilah aku. Seinci dari Nirwana. Tak perlu sayap untuk menggapainya. Karena justru kenikmatan sejati telah diturunkan-Nya. Dalam wujud yang tak sekali pun manusia mengerti. Kita hanyalah fragmen kecil dari roh Agung yang tunggal. Terus berjalan, mencari untuk saling menemukan satu sama lain. Kurasa, aku dan dia telah saling menemukan. Dengan kecupan yang saling melengkapkan.


Izinkan aku memilikimu
Melucuti baju dan ragu yang tak perlu
Menelanjangimu dari segala malu
Menyentuh rasa
Meniadakan kata

Tak ada lagi mimpi, tak ada lagi realitas. Semua berfusi dalam sebuah momen percintaan abadi. Arus sang Waktu membeku kelu ditelan nafsu anak Adam. Dua manusia yang dibuang dari Eden, dijerembabkan ke tanah terjanji, dipekerjakan sebagai budak Eros. Namun, bukankah manusia ada dan tiada karena cinta? Aku sebagai hamba setianya, membutuhkan cinta. Bibir yang saling melumat, lidah yang saling menjilat, tangan yang saling meremas. Bercumbu dan berpagut tiada henti. Darah berdesir dari nadi hingga ke ujung jemari. Peluh mengalir dari dahi hingga ke sudut bibir. Air mata Lilith.

Dan oleh setiap detil yang kunikmati, dia membawa pikiranku mengawang kembali.

Jiwamu dan jiwaku
Dibalut dua tubuh yang berbeda
Namun berbagi bahasa yang serupa
Aksara cinta

“Kamu...” desahnya berat.
“Anita, apa daritadi kau menggodaku?”
Pertanyaanku tak diacuhkannya. Malahan, bibirku digigitnya sebelum kembali mencumbuku liar.
“Bawa aku, ke mana saja... Malam ini..,” bibirnya berbisik di telingaku, “Aku belum ingin pulang...”

Seperti mantra, kata-katanya menyihir hidup menjadi sinema hitam-putih yang berdenyut dalam sensualitas melodi saksofon Sidney Bechet. Tidak ada tokoh utama dalam stensil yang kami tulis sendiri. Aku, dia, kita, mereka, semua sama—tenggelam untuk saling mereguk kepuasan dan kehancuran dalam gairah tanpa batas. Abadi. Karena cinta ialah karya seni terbaik yang tak mampu ditebas detik.
Aku ingin hidup seribu tahun lagi.
Aku ingin bercinta dengan cinta.

***

Selesai sudah pesta tujuh hari tujuh malam. Gelaran fantasi liar di musim panas akan segera ditutup oleh sebuah pertanyaan tanpa jawaban.
“Apa yang menanti setelah mimpi berakhir?”
Mimpi merupakan materi esensial yang menyusun setiap jiwa. Ialah pusat kosmik kehidupan, kreasi yang mencambuk manusia untuk berjuang mempertahankan hidup. Karena hidup adalah manisfestasi mimpi. Dan mimpi takkan mati selama manusia mau berambisi.
Kau tahu, kenyataan itu menyesatkan. Tak ada yang resmi absolut di dunia yang serba bias. Ambiguitas lahir dalam intensitas tak terhingga. Miskonsepsi menjadi hal wajar di kalangan pandai maupun tak pandai. Titik bifurkasi tercipta dalam setiap momen—entah ia membawa order, entah ia membawa chaos.

Lalu, siapa yang mampu menyelamatkan?
Mimpi.

Mimpi menyediakan satu-satunya wadah untuk menjagamu tetap waras dalam kegilaan realitas. Ialah sang kejora, memandu langkahmu menuju keteraturan.
Namun, semesta bukan berarti tanpa batas. Keluasan-Nya justru kadang menyempitkan mata hingga tak mampu lagi merengkuh makna di balik perkara. Hanya demi merealisasikan asa, seseorang tega menciptakan delusi bagi dirinya. Nilai-nilai salah diinterpretasikan. Berkah orang lain dirampas semena-mena. Intergritas diperjualbelikan atas nama nafsu semata.

Mimpi adalah dua mata pisau bagi orang yang tak bisa menerima kenyataan.

Setengah sadar, aku terbangun. Namun, aku tak mau membuka mata. Aku terlalu larut dalam takut. Lemas, kugerakkan tanganku—mencari-cari, meyakinkan aku bila mimpi belum berakhir. Saat aku mulai cemas, jemariku merasakan dia, dingin yang lembut. Kuresapi setiap sentuhnya, naik, hingga sampailah aku pada rambutnya, sutra yang membelai tangan. Dia masih ada di sana. Kubuka mataku perlahan. Kutatap nanar punggungnya yang sebening embun. Di sana, aku melihat aku. Dan selamanya aku bisa tenggelam dalam bayangku yang tersenyum mensyukuri cinta. Cinta.
Tak ada lagi bimbang yang mengurung hati. Tak ada lagi ruh gersang yang hendak mati. Aku percaya cinta yang riil mampu menyingkirkan kematian. Pengecut ada karena dia tak mampu mencintai dan dicintai dengan baik—yang sebenarnya adalah satu definisi yang sama. Hingga kematian kembali lagi, seperti halnya untuk semua orang. Maka, seseorang harus mencintai dan dicintai lagi dengan baik.

Ya... Bukankah semua orang ingin mencintai dan dicintai dengan baik?

Kurengkuh tubuhnya. Kukecup tengkuknya. Kupahat perasaan ini dengan tepat, di dahi, di hati, dan di seluruh nadi. Agar aku tak lupa bila aku pernah senekat, segila ini. Aku berserah kepada cinta yang amoral.
Tak kupikirkan konsekuensi yang menanti di akhir hari. Karena aku dan dia, hidup detik ini. Tak akan mati. Ia kejoraku, dan aku adalah kejora untuknya. Saling menemukan untuk saling menyelamatkan. Mimpiku, cintaku. Selalu.
           
Aku tak mau berhenti memimpikan cinta.
Aku, cinta, nyata.

5 comments:

  1. bukan sekedar asal nulis. bener2 hasil curahan perasaan & pikiran. gradiasi antara hitam dan putih-mu. abuabu yang terlukiskan dengan indah.

    i love enjoying chopin's impromptu
    and reading yours.

    ReplyDelete
  2. ngerasa beruntung banget nemu blog ini. tulisannya cerdas dan engga malu-malu. memang hidup begitu tidak jelas sekaligus begitu jelas. abu-abu yang membelenggu.
    ditunggu postingan selanjutnya ya... senang mengenalmu lewat tulisan2 hebat ini :)))

    ReplyDelete
  3. Jadi... adegannya nggak ada yang grafis? It could sell more, y'know.

    ReplyDelete
  4. I envy your talent. I love the words. Pembawaanya. Keep writing bro

    ReplyDelete