“Wih,
gila. Ramalan lo bener bro!” seru laki-laki di depanku. “Lo dulu bilang
hubungan gue sama Nadia bertahan sebentar, dan ternyata bener-bener kejadian.
Buka layanan REG (spasi) Papa Revi deh, pasti laku.” Aku tertawa kecil, sembari
menyesap secangkir coklat yang sedari tadi kudiamkan. Dingin.
“Lo
habis putus malah kelihatan bahagia. Nggak salah?” tanyaku.
“Lha,
buat apa mempertahankan sesuatu yang tidak membahagiakan? Dia bosan, gue bosan.
Dia butuh hal baru, gue juga. And so
we’re done”.
“Semudah
itu?” tanyaku, mendesaknya lebih jauh.
“Iya.
Ini tentang masa depan, Rev. Maksud gue, buat apa melanjutkan apa yang udah
nggak bisa dilanjutkan lagi? Gue sayang sama dia, tapi gue paham bahwa gue sama
dia nggak cocok dan nggak bisa sama-sama. Makanya, gue memilih untuk pisah, biar
dia nyari kebahagiaannya sendi...”
“...Dan
lo, yakin sayang dia?” potongku.
Hening.
Kami sama-sama diam.
“Yakin.
Sayang sama seseorang nggak menjamin membuat diri kita lebih bahagia. Bahagia
itu kita sendiri yang tahu. Ya mungkin suatu saat lo juga akan tahu, Rev.“ Nadanya
meninggi.
“Mungkin.”
Mataku
menerawang. Aku mengaduk-aduk isi cangkir yang sudah habis, jelas aku tidak begitu
memperhatikan kata-katanya. Sejujurnya
aku memang tidak pernah tertarik dengan sesuatu yang berbau roman. Jatuh cinta,
patah hati, rindu tak tersampaikan, atau apalah. Terlalu girly untuk seorang lelaki. Di saat setiap orang berusaha
membahagiakan pasangannya, membelikan dia bunga, menulis sajak-sajak rindu, dan
jatuh cinta terlalu dalam, aku lebih memilih bermain Football Manager ditemani setoples
kastangel di dalam kamar. Sunyi, sepi; cukup bagiku. Mungkin memang dasarnya
aku tidak percaya cinta. Atau cinta yang tidak mempercayakan dirinya kepadaku?
Entahlah.
“Lo
tahu? Lo itu terlalu dingin, Rev. Udah saatnya lo punya pacar lagi,” ujarnya.
“Nggak
nyambung,” balasku cepat, berusaha menjauhkan obrolan cinta-cintaan.
“Lo
kan bisa ngeramal, and “gue bisa ngeramal, coba liatin garis tangan lo deh” is
a great line, dude. You should try it sometimes,” selorohnya diikuti tawa kami
berdua.
Sudut cafe yang sudah sepi seketika ramai
kembali, mengundang mata pengunjung untuk melirik meja kami. Dua orang
laki-laki, tertawa lepas pukul satu malam, ditemani sebungkus rokok, dua cangkir
coklat panas yang sudah habis, dan satu deck
kartu remi; yang sama-sama menertawakan nasib dan tidak peduli dengan kuliah
esok hari. Tidak ada yang spesial.
“Lo...
lo nggak jatuh cinta dengan kesendirian kan?“
Aku terdiam agak lama, sebelum menjawab dengan gelengan. “Lalu?” lanjutnya. “Nggak tahu, mungkin kesendirian yang mencintai gue,” candaku.
Tidak ada tawa, dia hanya menatapku aneh. “You really have some serious issues, dude,” herannya, masih menatapku aneh.
Aku terdiam agak lama, sebelum menjawab dengan gelengan. “Lalu?” lanjutnya. “Nggak tahu, mungkin kesendirian yang mencintai gue,” candaku.
Tidak ada tawa, dia hanya menatapku aneh. “You really have some serious issues, dude,” herannya, masih menatapku aneh.
“Apa
yang lo rasain saat lo masih sama Clara?” tanyanya.
“Ya,
gue sayang sama dia.”
“Dan
lo, yakin sayang dia?” tanyanya lagi, meniru pertanyaanku.
“Iya.”
“Iya?”
“Iya.”
Dia
terdiam. Tatapannya masih sama, aneh. Seolah tidak percaya bahwa teman akrabnya
sejak SMA ini betul-betul manusia. Jika cafe ini sepi, mungkin dia sudah
mengambil pisau dari dapur lalu membedah tubuhku, mencari sekrup yang menempel di
otot-otot lenganku untuk membuktikan bahwa aku benar sebuah robot yang dikirim
dari planet antah-berantah untuk menghapus ajaran cinta kasih di bumi.
Mungkin
khayalanku berlebihan.
“Okay,
gue balik ke kost ya. Besok kuliah pagi jadi harus masuk. Lo gimana?” Ia beranjak dari kursi, mengenakan kembali jaket kulitnya.
“Gue mau cabut Sospol, salah dosennya sendiri ngasih jadwal pagi amat,” jawabku cuek.
“Gila lo. Duluan ya. Jangan lupa jatuh cinta.”
Dia berjalan menuju parkiran, menyalakan Vespa kesayangannya, lalu menghilang bersama malam.
“Gue mau cabut Sospol, salah dosennya sendiri ngasih jadwal pagi amat,” jawabku cuek.
“Gila lo. Duluan ya. Jangan lupa jatuh cinta.”
Dia berjalan menuju parkiran, menyalakan Vespa kesayangannya, lalu menghilang bersama malam.
Aku
merenung. Ada sesuatu yang mengganjal. Ada sesuatu yang tidak kukatakan dengan
jujur. Atau mungkin memang aku saja yang tidak pandai mengungkapkannya. Kukatakan?
Kuungkapkan? Terserah, apa saja bisa. Aku merasa menjadi dua, satu mengikuti
alur logika, satu lagi mengikuti kata hati.
...Tunggu dulu. Hati?
Aku
terhenyak. Sekarang, sesuatu itu seakan menghantamku keras. Ia menerobos pertahanan
terkuatku, memaksaku untuk takluk dan memikir ulang konsep akal sehat -
perasaan.
Dan bagaimana bisa aku
memasukkan apapun yang berhubungan dengan hati ke dalam hipotesisku?
Aku
berpikir keras, mencari-cari penjelasan paling rasional.
Gugup?
Bukan.
Lapar?
Bukan.
Mabuk? Jelas
bukan.
Berbohong?
Hmm... Namun berbohong tentang apa? Berbohong
yang bagaimana? Berbohong karena apa?
Aku mendengus kesal. Aku menyerah.
“Jangan lupa jatuh
cinta.”
Kata-kata
itu terngiang di telinga. Berputar berulang-ulang di kepala seperti kaset rusak.
Aku
melamun.
Mungkin
benar, aku adalah robot pembasmi cinta kasih.
Mungkin
benar, aku dan kesendirian saling mencintai.
Mungkin
benar, aku terlalu dingin hingga tak peduli dengan hangat di sekitar.
Mungkin
benar, aku sudah lupa jatuh cinta.