Soekarno-Hatta International Airport, Jakarta, 25 Desember 2012.
"It's Christmas and we walk alone. Two strangers with no one to miss us..."
Suara musik berdentum keras dari headset seseorang. Pemiliknya sibuk menggumamkan lagu, seakan tidak peduli dengan situasi di sekelilingnya. Deras hujan yang turun tidak mengganggu keasikannya, malah menambah ramai melodi-melodi yang mengalun. Beberapa orang mulai menatapnya geli. Seorang lelaki, dengan tubuh tinggi dan rambut berponi seperti kebanyakan bintang Korea, dengan hoodie hitam dan skinny jeans hitam yang terlihat kusut, dengan headset yang terpasang di telinga dan gumaman lagu yang sedikit lebih keras dari yang sebelumnya.
Dengan kesendiriannya.
Sepertinya, mereka sedikit terganggu. Namun dasarnya keras kepala, dia benar-benar masa bodoh. Di dunianya kini, hanya ada dia dan headsetnya.
Tidak lebih.
***
"Pesawatnya delay ya?"
"Iya nih, Ma. Sekarang lagi hujan deres banget di Jakarta."
"Yaudah, kamu nunggu di dalem aja ya. Nanti kalau udah di pesawat hubungin Mama."
"Okay..."
"Urusanmu di Jakarta udah selesai semua, kan?"
Aku terdiam.
"Halo? Dit?"
"Iya, udah selesai semua, Ma. Kerjaan, ketemu temen-temen, semuanya. Semua yang ada di sini sudah selesai."
"Yaudah, Mama belanja dulu ya. Jangan lupa nanti ngabarin."
"Okay... Hati-hati, Ma."
"Semua yang ada di sini sudah selesai."
Aku mengulangi kalimat itu dalam hati.
Hmpft. Aku tersenyum. Kecut.
Sudah tiga hari aku berada di Jakarta. Tuntutan klien memaksaku membatalkan rencana berkumpul bersama keluarga besar. Seharusnya aku bisa beristirahat dengan tenang tanpa perlu lagi memikirkan presentasi dan meeting. Seharusnya aku bisa berlibur dengan keluarga, menemani keponakan berwisata di sekitar Malioboro dan tentunya mengunjungi Sekaten. Seharusnya aku bisa menghabiskan malam Natal bersama hangat dan secangkir coklat. Seharusnya.
Namun, tidak ada yang kusesali.
Dua hal. Ada dua hal yang membuatku ingin ke Jakarta selain memenuhi permohonan klien brengsek itu. Pertama, berkumpul dengan teman-teman lama. Kepala dan rinduku menagih canda, tawa, rokok, dan bir bersama mereka lagi. Lalu yang kedua, wanita itu.
Wanita itu.
Wanita yang dikenalkan kepadaku 6 bulan yang lalu. Wanita yang senyumnya mampu membuat waktu terpaku. Wanita yang peluknya bisa mendamaikan ragu. Wanita yang membuat aku tak sanggup menahan untuk mengecup lembut bibirnya. Wanita yang membuat aku lebih memilihnya daripada dia yang sudah aku punya.
Singkat cerita, kami saling jatuh cinta.
Kami bahagia, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang kami punya.
Aku memiliki hatinya, dia memiliki cintaku. Aku merasa hidup.
Detik berlalu, masalah muncul. Kesibukan, kesalahpahaman, keegoisan.
Dan, jarak. Kami semakin jauh.
Aku selalu berusaha agar tetap dekat, tetap erat. Menghubungi, menanyakan kabar, mengingatkan makan siang, membantu mengerjakan presentasi, menemani hingga ia terlelap.
Aku selalu bertanya, "Kapan kamu ada? Aku rindu." Dia selalu membalas, "Nanti, jika ada waktunya nanti." Aku hanya takut. Hingga suatu malam, ia mengirim pesan. "Aku jenuh". Ia merasa, tidak menemukan lagi rasa untukku. Ia merasa kosong.
Entah, mungkin inilah alasan utama aku mengiyakan permintaan klien dan
membatalkan rencana bersama keluarga. Aku ingin bertemu dengannya,
menyelesaikan masalah, lalu kembali mendekapnya seperti sedia kala.
-----
"Jadi, apa kabar?"
"Cukup baik tanpamu."
"Baiklah... Apa yang kamu rasakan? Apa yang kamu pikirkan?"
"Aku merasa kosong. Aku berpikir jika, sendiri ialah jawabannya. Lebih baik kita..."
"Lebih baik kita apa? Aku merasa masih ada yang bisa kita pertahankan, perjuangkan. Bukankah kita bahagia?"
"Tidak, tidak ada lagi yang bisa dipertahankan, diperjuangkan. Kita tidak bahagia. Kita pernah bahagia."
"Aku sayang kamu."
"Aku pun, dulu. Maaf. Aku tidak menemukannya lagi. Aku..."
"Apa karena jarak? Waktu? Apa aku kurang menyayangi kamu? Apa ada orang lain? Atau apa?"
"Bukan semua itu. Tapi kita, Dit. Aku yang terlalu takut, dan kamu yang terlalu anak kecil."
"Aku? Anak kecil? Tunggu dulu..."
"Iya, kamu seperti anak kecil. Kamu selalu mengharapkan aku ada, kamu selalu sedih saat berpikir suatu saat kita berpisah, kamu selalu meminta supaya kita selalu bersama."
"Aku tidak seperti anak kecil. Aku tidak aneh. Aku hanya terlalu jatuh cinta kepadamu."
"Dan aku terlalu takut. Aku belum siap. Aku mencoba berlari mengejarmu, namun kamu terlalu cepat. Aku tidak bisa menjangkaumu. Ditambah lagi, kelakuanmu yang selalu mengharapkan aku ada di tengah kesibukanmu. Dan setiap kamu susah dan pincang, kamu selalu mencari aku. Pertamanya aku tidak apa-apa, namun kelamaan aku tidak sanggup. Aku bukan kakimu, Dit. Aku tidak butuh anak kecil dalam hidupku."
"...."
"Maaf."
"Tidak apa-apa. Bisakah aku menghubungi kamu lagi?"
"Maaf, semua yang ada di sini sudah selesai. Selamat tinggal, Dit."
----
Aku tersadar dari lamunan. Lagu di headset sudah berganti, bukan lagi The Christmas Song - Owl City. Orang-orang terlihat sibuk mencari tempat duduk di sekitar terminal yang semakin padat. Hujan di luar sudah lumayan reda, sepertinya pesawat sudah boleh diberangkatkan sebentar lagi.
Kurebahkan punggungku. Kucoba menenangkan hati sebelum aku benar-benar beranjak dari kota ini.
"Kamu seperti anak kecil"
Kalimat itu kembali terngiang di telinga.
Aku terdiam. Tidak, aku tidak seperti anak kecil. Mengharapkan dia ialah benar, karena setiap orang patut untuk merindu. Maksudku, apa yang salah dari orang yang terlalu jatuh cinta?
Mungkin, kami memang tidak cocok. Mungkin, kami tidak bahagia. Mungkin, hanya aku yang bahagia. Mungkin, aku bukanlah kebahagiaannya.
Atau mungkin, jarak. Jarak tidak selalu berarti berbeda tempat atau waktu. Berbeda ide, berbeda paham, dan berbeda cinta juga termasuk jarak. Seberapa dekat kalian dengan pasangan, jika tetap merasa jauh, berarti benar hati kalian berjarak. Dan mungkin ini yang terjadi pada aku dan dia. Kita berbeda paham dalam mendefinisikan bahagia.
Kita kalah telak, pada kekal jarak.
***
"Kepada para penumpang QZ7525 tujuan Jogjakarta diharap segera mempersiapkan diri untuk memasuki pesawat"
Orang-orang berkerumun menuju Gate 1 untuk mengantri. Mereka terlihat senang dan tidak sabar untuk segera pulang. Seorang laki-laki, dengan headset dan hoodie hitam, melangkah mendekati penjaga gate. Sambil tersenyum, ia menyerahkan tiket dan berjalan menuju pesawat.
"Semoga tidak ada yang lagi yang tertinggal." gumamnya.
*****
Kata-katanya touchable banget. Tapi kalo boleh saya saranin, coba ditambahin deskripsi atau sedikit detail suasana dalam percakapannya. Biar pembaca bisa ikut merasakan keadaan dlm cerita :)
ReplyDelete