"Bagaimana kopinya?"
"Harum. Enak."
"Tidak seperti kisah cintamu ya?"
"Hahaha kurang ajar..."
"Tapi iya kan?"
"Sudah, jangan memancingku menyembur kopi ini ke mukamu."
"Coba saja."
"...."
"By the way, tahun 2012 sebentar lagi berakhir. Apa saja yang sudah kamu lakukan?"
"Maksudmu, resolusi 2012 yang sudah tercapai?"
"Dan yang belum tercapai."
"Mau menyindirku lagi?"
"Sudah, sebutkan saja."
"Memulai kebahagiaan, mengakhiri kebahagiaan, kembali jatuh cinta, mengkhianati yang mempercaya, dikhianati yang dipercaya. Lalu, sendiri. Lagi."
"Mellow amat. Siapanya Aurel Hermansyah?"
"Nyet!"
"Bercanda, Tuan."
"Ah, iya. Menulis blog, mengganti isinya dengan berbagai cerpen dan tulisan-tulisan semacamnya."
"Cerpen bercurhat?"
"Berisik. Toh, followers Twitterku dan pembaca Blogku suka."
"Jadi, bercurhat?"
"Hmm..."
"Kamu percaya kan, fiksi ialah separuh dari realita, begitu juga sebaliknya. Tidak ada yang benar-benar utuh fiksi, utuh realita. Mereka bilang, itulah mengapa harapan diciptakan. Agar sesuatu yang tak nyata suatu saat bisa menjadi realita."
"Yep."
"Dan setiap cerpenmu, tidak memiliki akhir. Menggantung tanpa tahu bagaimana akhir perjalanan si tokoh."
"Iya. Lalu?"
"Tidak ada lalu, yang ada hanyalah kini. Kini, kamu jelas-jelas menulis hidupmu menjadi fiksi, namun mengubah beberapa hal menjadi lebih baik, berharap suatu saat akan benar-benar terjadi. Iya, berharap. Kamu berharap bisa hidup di dalam fiksi yang kamu tulis. Kamu berharap tidak lagi sendiri. Kamu berharap bisa hidup lebih bahagia."
"Kamu sok tahu."
"Dan diliat dari tulisanmu akhir-akhir ini, sepertinya kamu sedang berharap kepada seseorang."
"Kamu sangat sok tahu."
"Siapa itu Rena?"
"Teman..."
"...Yang membuatmu tersenyum ketika melihat senyumnya, yang membuat jantungmu berdegup ketika menggenggam tangannya, yang membuat kamu bisa merasa bahagia lagi?"
"Hmm..."
"Kena deh. Hahaha!"
"Dia sudah punya kekasih."
"Lalu?"
"Aku tidak mau macam-macam. Aku tidak mau berbuat dosa lagi."
"Lalu kenapa berharap?"
"Entahlah. Sifat buruk manusia? Mengharapkan sesuatu yang tidak seharusnya diharapkan?"
"Mungkin kamunya saja yang goblok."
"Terus gimana dong?!"
"Yo mbuh. Aku tidak tahu. Aku ini sosok imajiner yang diciptakan oleh otakmu. Jangan tanya aku."
"Tsk."
"Ingat. Jangan memberi cinta pada orang yang tidak sepatutnya menerimanya. Jangan lagi."
"Iya."
"Good."
"Apa pendapatmu tentang Rena?"
"Perjuangkan."
Aku kembali pada kesadaranku. Orang itu sudah menghilang.
Mengharapkan sesuatu yang tidak seharusnya diharapkan?
Benar? Salah? Atau malah tidak ada jawabannya?
Memperjuangkan hal yang entah benar entah salah. Dosa?
Mungkin benar, manusia itu bodoh.
Demi sesuatu, mereka rela melawan.
Demi sesuatu, mereka rela melanggar.
Demi sesuatu, mereka rela memperjuangkan.
Demi seseorang.
Apa pun resikonya. Mereka rela berdosa.
...Atau hanya aku yang bodoh dan membuat teori asal-asalan itu?
Aku mendengus kesal.
Kubuka laptop, lalu mulai mengetik beberapa kalimat pada MS Word. Bercurhat.
***
District, 31 Desember
kesalahan yg sama seperti mmm
ReplyDeleteYa, seperti apa ya?
ReplyDeleteSeperti yang dilakukan kekasih saya meninggalkan yang lama dan memilih saya
ReplyDelete