Nona
Naya,
Sungguh
tak terbayang aku bisa mengobrol sekali lagi bersamamu, Menikmati sore dengan
seseorang yang aku kagumi di tempat dan waktu yang tepat, kau tahu? Tidak pernah
kubayangkan, bahkan di fantasi terliarku sekalipun. Jujur, aku senyum-senyum
sendiri menulis surat ini. Di kepalaku masih teringat jelas bagaiman kau mengaduk-ngaduk
cangkir kopi, membahas lukisan demi lukisan, lalu di tengah-tengah pembicaraan
serius, kau tertawa. Maaf jika reaksiku yang berlebihan, tetapi aku bersungguh-sungguh
saat mengatakannya.
Nona
Naya,
Bagaimana
kafenya? Kau suka kan? Keahlianku dalam memilih tempat yang sesuai dan sophisticated memang sudah teruji. (Percayalah,
sebentar lagi akan bersertifikat). Dan bagaimana dengan kopinya? Menurutku, kopi
di kafe itu adalah satu kopi terbaik yang ada di Yogyakarta. Sore yang mendung,
musik yang lembut, ditemani kopi terbaik serta seseorang yang aku kagumi. Apa yang
bisa lebih baik dari ini?
Nona
Naya,
Aku
kagum dengan kemampuanmu memahami seni. Ya, kalimatku ini merujuk pada
bagaimana kau memberi arti dari lukisan-lukisan yang kutunjukkan. Misalnya,
lukisan Sunset in Venice oleh Claude Monet.
Kau mengartikannya sebagai bentuk cinta Monet kepada Venice serta dualisme hidup
yang dilukiskan dengan fajar yang menyerupai senja. Dan lucunya, aku satu pehamaman
denganmu. Lebih lucunya lagi, kita sama-sama memiliki lukisan favorit yang
sama. The Starry Night, oleh Vincent Van
Gogh. Lukisan yang menggambarkan keanggunan malam serta esensi kultural Prancis
yang harmoni. Di setiap goresannya, Van Gogh seolah ingin mengungkapan sebuah impermanensi.
Kau tahu, delusi, Nona. Delusi dari setiap peristiwa yang kita alami dalam
setiap harinya. Keindahan adalah distraksi—validitas semu yang diciptakan oleh
pikiran kita atas respon dari barbarnya kenyataan. Lukisan ini mengaburkan
indra kita, memberi persepsi yang salah tentang keindahan abadi. Abadi karena
ia adalah lukisan. Dan lukisan tak akan pernah berubah. Sayangnya, tidak ada
keindahan yang abadi. Cinta, sekalipun. Betul bukan, Nona?
Nona
Naya,
Aku
sungguh-sungguh menikmati menghabiskan sore bersamamu. Pernah mendengar tentang
relativitas waktu? Bagaimana satu jam terasa seperti seribu tahun di neraka dan
seribu tahun terasa seperti satu jam di surga kini terbukti kebenarannya. (Tentu,
kau yang surga). Senyummu—ada sesuatu pada senyum itu. Entahlah. Seakan-akan ia
mampu menyatukan seluruh kekuatan kosmik di satu titik. Ia membuatku membeku,
membatu. Dan sesaat, aku bisa merasa abadi. Satu,
satu detik saja. Aku tak bisa melupakannya. Begitu pun dengan apa yang terjadi
setelah kita berjalan keluar kafe.
Nona
Naya,
Aku
ingin membaca balasanmu sebelum aku kembali melanjutkan cerita.
Kutunggu
suratmu, Nona.
No comments:
Post a Comment