Wednesday, February 5, 2014

Abadi




Nona Naya,
Sungguh tak terbayang aku bisa mengobrol sekali lagi bersamamu, Menikmati sore dengan seseorang yang aku kagumi di tempat dan waktu yang tepat, kau tahu? Tidak pernah kubayangkan, bahkan di fantasi terliarku sekalipun. Jujur, aku senyum-senyum sendiri menulis surat ini. Di kepalaku masih teringat jelas bagaiman kau mengaduk-ngaduk cangkir kopi, membahas lukisan demi lukisan, lalu di tengah-tengah pembicaraan serius, kau tertawa. Maaf jika reaksiku yang berlebihan, tetapi aku bersungguh-sungguh saat mengatakannya.

Nona Naya,
Bagaimana kafenya? Kau suka kan? Keahlianku dalam memilih tempat yang sesuai dan sophisticated memang sudah teruji. (Percayalah, sebentar lagi akan bersertifikat). Dan bagaimana dengan kopinya? Menurutku, kopi di kafe itu adalah satu kopi terbaik yang ada di Yogyakarta. Sore yang mendung, musik yang lembut, ditemani kopi terbaik serta seseorang yang aku kagumi. Apa yang bisa lebih baik dari ini?

Nona Naya,
Aku kagum dengan kemampuanmu memahami seni. Ya, kalimatku ini merujuk pada bagaimana kau memberi arti dari lukisan-lukisan yang kutunjukkan. Misalnya, lukisan Sunset in Venice oleh Claude Monet. Kau mengartikannya sebagai bentuk cinta Monet kepada Venice serta dualisme hidup yang dilukiskan dengan fajar yang menyerupai senja. Dan lucunya, aku satu pehamaman denganmu. Lebih lucunya lagi, kita sama-sama memiliki lukisan favorit yang sama. The Starry Night, oleh Vincent Van Gogh. Lukisan yang menggambarkan keanggunan malam serta esensi kultural Prancis yang harmoni. Di setiap goresannya, Van Gogh seolah ingin mengungkapan sebuah impermanensi. Kau tahu, delusi, Nona. Delusi dari setiap peristiwa yang kita alami dalam setiap harinya. Keindahan adalah distraksi—validitas semu yang diciptakan oleh pikiran kita atas respon dari barbarnya kenyataan. Lukisan ini mengaburkan indra kita, memberi persepsi yang salah tentang keindahan abadi. Abadi karena ia adalah lukisan. Dan lukisan tak akan pernah berubah. Sayangnya, tidak ada keindahan yang abadi. Cinta, sekalipun. Betul bukan, Nona?

Nona Naya,
Aku sungguh-sungguh menikmati menghabiskan sore bersamamu. Pernah mendengar tentang relativitas waktu? Bagaimana satu jam terasa seperti seribu tahun di neraka dan seribu tahun terasa seperti satu jam di surga kini terbukti kebenarannya. (Tentu, kau yang surga). Senyummu—ada sesuatu pada senyum itu. Entahlah. Seakan-akan ia mampu menyatukan seluruh kekuatan kosmik di satu titik. Ia membuatku membeku, membatu. Dan sesaat, aku bisa merasa abadi. Satu, satu detik saja. Aku tak bisa melupakannya. Begitu pun dengan apa yang terjadi setelah kita berjalan keluar kafe.

Nona Naya,
Aku ingin membaca balasanmu sebelum aku kembali melanjutkan cerita.
Kutunggu suratmu, Nona.

No comments:

Post a Comment