"Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta... kepadaku..."
"Heh, suaramu itu jelek, diem aja deh." potong Rena seraya menutup mulutku. "Nah, begini kan bagus. Lantunan melodi Once dan suasana sunyi ketika senja. Bukan suara nggak jelas dari kamu." lanjutnya. Aku mengangguk pasrah. Sekian detik, aku bisa melihat senyumnya yang tipis mengembang. Manis. Aku ingat perkataan para ilmuwan baru-baru ini. Mereka menjelaskan, saat senja, langit membiaskan dua gelombang cahaya, merah dan jingga, yang kemudian ditangkap dan diproses oleh otak menjadi sesuatu yang membuat kita merasa lebih tenang, merasa lebih nyaman. Dan jika cahaya jatuh pada suatu benda lalu dipantulkan masuk ke dalam mata, benda itu akan terasa lebih indah. Entah, aku sendiri tidak begitu paham. Namun Rena terlihat sangat cantik sore itu. Aku tidak bisa berhenti mengaguminya.
"Sebenarnya, kita mau ke mana sih?"
"Kita mau ke masa depan" jawabku asal. Rena tertawa kecil sambil mencubitku pelan. "Lho, serius ini, kita mau ke masa depan. Kita akan melihat bagaimana manusia akhirnya bertemu dengan alien-alien Bulan atau bahkan berdamai dan chatting via WhatsApp dengan mereka, bagaimana mobil-mobil terbang itu berlalu lalang di langit kemudian sebagian dari mereka berubah menjadi Autobot, serta bagaimana Doraemon diciptakan dan membantu manusia dengan alat-alat ajaibnya." jelasku makin asal.
Jujur saja, aku tidak tahu kami berdua akan ke mana. Sedari siang, kami hanya berputar-putar Jogja tanpa ada tujuan. Snack, minuman, diikuti obrolan-obrolan ringan. Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama dia.
"Kalau kamu diberi kesempatan ke masa depan, kamu mau ngapain?"
"Nggak ngapa-ngapain."
"Nggak ngapa-ngapain?"
"Nggak ngapa-ngapain."
Aku tertawa heran.
"Jadi, menurutmu tidak ada hal menarik di masa depan?"
"Bukan begitu, justru ada banyak hal menarik di masa depan. Begini Radit, masa depan itu seperti beberapa kotak yang di dalamnya terdapat banyak mainan. Namun kotak itu tertutup, kita tidak tahu apa isinya, dan kita hanya boleh memilih satu," terang Rena, "Rasa penasaran itu yang menurutku lebih menarik daripada isinya. Bukankah yang paling penting itu proses untuk menuju masa depan?"
"Hmm..."
"Seperti masa lalu, masa depan tak perlu dibuka, dan memang tak seharusnya dibuka. Biarkan saja menjadi misteri. Dan masa kini, jembatan menuju masa depan, kita bangun baik-baik supaya kita tahu pada akhirnya di mana kita akan berhenti melangkah." tambahnya.
"Dit, Radit. Kamu dengerin aku kan?"
Aku tersadar dari sekian detik yang kugunakan untuk mengagumi betapa cantiknya dia sore ini. Sekali lagi, senja menunjukkan magisnya. Jika saja aku mempunyai nyali lebih, mungkin aku sudah mengecup bibirnya.
"Ren."
"Ya?"
"Kamu mau jadi masa depanku?"
"Hah?"
"Nggak apa-apa. Ah, itu senjanya bagus."
***
Entah di mana, 1 Januari